Dasawarsa silam, Jeremy Bentham melahirkan konsep panopticon yang merujuk pada rancangan arsitektur penjara untuk mengoptimalkan fungsi-fungsinya. Adapun bangunan tersebut berbentuk lingkaran yang di bagian tengahnya terdapat menara pusat.
Dalam sketsanya, tiap kurungan sel yang terletak di pinggir lingkaran memiliki jendela yang memungkinkan menara pusat untuk megawasi. Namun, sang tahanan penjara tak dapat mengetahui apakah ia sedang diawasi atau tidak. Dengan demikian, mereka akan selalu bertindak seakan-akan tengah diamati.
Menanggapi hal itu, Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of The Prison (1975) menuturkan bahwa dengan perasaan selalu diawasi, kuasa (power) akan bekerja secara otomatis sehingga subjek akan berperilaku sesuai dengan apa yang diperintah.
“Tapi yang nulis (kritik) tentang skena itu pengetahuannya sekenanya aja!” demikian teriak penggawa Morfem, Jimi Multhazam saat menggelar konser di Musicverse beberapa waktu lalu.
Pernyataan (atau umpatan?) vokalis kelahiran 1974 ini menjelma respons konkret atas perkembangan budaya pop yang belakangan ini disesaki oleh istilah skena. Mendengar term ini, Anda mungkin akan membayangkan seseorang yang gemar mengenakan kaus band, cincin, kalung, atau celana cargo loose yang serbahitam. Lengkap dengan es kopi di salah satu tangan.
Di sejumlah platform media sosial, khususnya Twitter dan TikTok, puluhan bahkan ratusan konten menyajikan topik terkait fenomena anak skena ini. Apabila menaruh stereotipe yang lebih jauh, kelompok ini menggandrungi band macam Efek Rumah Kaca, White Shoes & The Couples, The Upstairs, dan lain-lain.
Seiring berjalannya tren, sebagian orang lalu bertindak sebagai “polisi” skena—yang bertugas untuk menutup diskursus secara spontan—bagi kelompok yang kemudian dicap poseur atau poser. Tupoksinya justru kian nyata dengan memberikan “surat tilang” secara sporadis di dalam gigs.
Dengan adanya “pengawasan”, stereotipe, serta relasi kuasa (power relation) atas pelaku budaya ini, panopticon model Bentham dan teori Foucault di atas sekiranya berhasil menggambarkan fenomena yang terjadi secara garis besar.
Skena Banget Sih, Kak!
Secara definisi, apa yang sebetulnya dimaksud dengan anak skena ini? Dari beberapa sumber, kelas sosial ini merujuk pada para pegiat musik band independen atau kerap disapa indie. Namun, artinya masih terlalu luas.
Dikutip dari publicpeople.org, skena atau scenester adalah istilah slang yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dengan sengaja mencoba masuk ke dalam konsep budaya tertentu berdasarkan seni, musik, film, atau genre lainnya.
Skena—atau secara harfiah disebut kancah—biasa digunakan untuk mengidentifikasi komunitas seni yang lain, seperti film atau musik yang hanya terbatas pada genre tertentu antara lain rock, punk, dan hardcore. Intinya, berseberangan dengan industri mainstream.
Muncul pada awal 2000-an, skena di sektor musik Indonesia sukses melahirkan grup-grup seperti The Panturas, SORE, hingga The Adams. Ditarik lebih jauh lagi, nama-nama seperti PAS Band, God Bless, sampai Superkid sebetulnya sudah lebih dulu menghiasi beragam festival musik indie tanah air.
Seorang scenester—dikenal juga sebagai scene kid—pun kerap mengikuti tren mode, preferensi, dan sikap kelompok sebaya mereka di lingkup yang lebih besar secara keseluruhan. Tetapi kini, yang terjadi di tengah masyarakat malah hampir sebaliknya.
Berbagai label acapkali disematkan pada komunitas tersebut. Bahkan, ada yang menuding penyuka band indie adalah orang-orang doyan nongkrong dengan pekerjaan yang tidak jelas. Bahasa “sufistiknya”, pengangguran.
Menjadi Skena ‘Sekenanya’ sebagai Transisi Awal
Salah satu pengamat musik, David Tarigan tak membantah soal maraknya labelling terhadap anak skena ini. Menurutnya, penikmat musik di ranah band independen awalnya memang ramai oleh para deadwood yang hidupnya luntang-lantung tidak keruan.
Komunitas ini, jelas dia, mulanya berisi anak muda yang belum menghasilkan apa pun, alias nirproduktif. Jadi, pendengarnya memang begajulan bin slengean, lantaran memang itu yang mereka yakini dalam menjalani hidup.
“Mau dia gak kerja, mau gak sekolah, nggak ngapa-ngapain, dia ada di situ, karena dirinya merasa diwakili. Dia ada di situ, karena dia harus ada di situ,” papar founder Irama Nusantara itu dilansir dari kumparan.com.
Kalaupun komunitas skena musik indie dinilai terlalu eksklusif, ini adalah fenomena yang lazim terjadi. Sebab, kalangan muda cenderung masih menggebu-gebu dan ingin merasa spesial. Ihwal ini menjadi proses yang natural, terutama pada fase anak muda.
Akademisi di bidang filsafat, Syarif Maulana pun mengungkapkan hal yang kurang lebih sama. Ia menuturkan bahwa salah satu ciri khas dari sebuah komunitas adalah tertutup. Para anggota dari komunitas tersebut pun dipersatukan dengan satu kesamaan. Jadi sejauh ini, bagi saya, tidak ada yang salah sama sekali.
Pada akhirnya, penyempitan arti ini secara umum terjadi sebagai kompensasi atas apa yang dirasa sebagai kekalahan, kemunduran, atau keterbelakangan yang “diderita” satu golongan, disebabkan oleh penguasa, kelas ekonomi yang dominan, kekuatan internasional, atau yang tak dapat dipersonifikasikan.
Relasi Kuasa ala Foucault
Relasi kuasa yang tercipta antar-aktor, yakni “polisi” dan “pelanggar” yang baru bergabung menjadi bagian dari dunia skena cukup menarik untuk ditilik lebih jauh. Melalui The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (1976), Foucault mengatakan bahwa ‘kuasa bukanlah sebuah ontologi, melainkan strategi’.
Kekuasaan bekerja dari bawah ke atas bukan sebaliknya: Tidak terpusat pada satu orang atau kelompok, tapi menyebar dan menjamur di mana-mana. Kekuasaan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui wacana. Dalam hubungan ini, selalu ada subjek dan objek.
Bila membingkainya dalam mise en scene, kira-kira begini: Dalam suatu konser musik di akhir pekan, rombongan muda mudi berkunjung dengan memakai busana klasik berbaur modern. Namun topi, tote bag, Docmart, beserta Corkcicle tak luput dari sasaran tembak para “penegak hukum”.
Adegan berlanjut. Di pojok stage yang lain, para polisi siap menegur secara langsung atau—yang paling mudah—membuatnya viral di Twitter: Menulis utas panjang lebar guna membangun opini publik dan mendirikan ruang khusus di mana para poser tak diterima.
“Pakai MacBeth kayak Blink-182, dong. Atau sesekali seperti Skandal yang senang pakai Adidas Samba, kek. Jangan itu-itu mulu ah!” tukas seorang kawan sewaktu kali, entah sambil bercanda atau dengan tendensi lain.
Padahal, bagaimanapun, menerapkan mekanisme berbusana dapat membantu proses adaptasi awal dalam perbendaharaan suatu kultur, tak terkecuali pop culture. Lagi-lagi, tidak ada yang salah di sini. Foucault menyatakan, ‘kekuasaan bukan milik siapapun (there is no center of power)’. Dominasi adalah semu.
Interpretasi outfit tak mungkin dimonopoli dan bersifat tunggal (mono-tafsir). Bila kontrol sosial juga dilakukan atas pakaian, apa bedanya dengan yang dialami Winston Smith dalam 1984 (1949) karya George Orwell yang tenar itu?
Teruntuk Anda yang memandang sinis komunitas ini, saya anjurkan cuci muka dan gosok gigi terlebih dulu. Konon, pikiran yang tertutup diawali dengan raga yang lusuh. Sinisme terhadap budaya tertentu tidak membuat seseorang beranjak ke status sosial yang lebih tinggi. Menjadi bebal dalam dunia yang dipenuhi infiltrasi budaya bukanlah pilihan bijak.
Terlepas dari itu semua, anak skena dan musik indie sudah semestinya berbangga lantaran membawa semangat perlawanan yang mengakar. Semenjak lahir rock ‘n’ roll dalam khazanah musik dunia, anak muda pun secara sah mempunyai musiknya sendiri dan bebas berekspresi, seperti yang terungkap dalam hits “Polisi Skena” (2020) karya Sir Dandy.
Peradaban diciptakan untuk kemajuan
Bukan untuk kebencian
Apalagi perpecahan
Selera tiap orang tak akan pernah sama
Biarkan begitu jangan dipaksa-paksa
Pribadi berpendapat kok malah jadi debat
Akibat merasa hebat
Berujung saling hujat
Membaca potongan lirik ini, saya mulai berpikir kembali soal kajian budaya. Bukankah budaya merupakan proses interaksi sosial dan dapat diketahui dari representasi simbol-simbol tertentu? Maka, sebagai kaum non-anak skena, saya berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika memulai skena “sekenanya” demi kematangan diri yang menyeluruh.
Prinsip kebebasan berpendapat yang sebelumnya telah digambarkan oleh Evelyn Beatrice Hall ketika memarafrasakan nukilan filsuf Prancis Voltaire pada 1906 mungkin bisa ditempatkan sebagai penutup:
“Saya tak setuju dengan pendapatmu, tetapi saya akan membela sampai mati hakmu untuk mengungkapkannya.”
***
Editor: Ghufroni An’ars
Ulasan yang menarik, meneropongnya dengan perspektif Foucauldian. Tapi saya rasa akan lebih tajam jika penulis bisa mendedah siapa yang diuntungkan dari skema dominasi-tak-terlihat ini. Saat ini, saya lebih condong menganggap penggunaan kata skena sebagai ketersesatan generasional yang, tentu saja, dipengaruhi penggunaan media sosial yang masif. Contoh istilah yang mereka “rebut” lainnya semisal blokecore, yg dulu identik dengan kaum casual. Nice read, btw.