Aku anak perempuan, kadang pembangkang, yang sedang belajar dan mencoba menata hubungan manusia dengan Tuhan, Alam, maupun Manusia.

Perempuankah Saxophoneku?

Lysandra Zulfa Anindita

4 min read

Aku adalah pemain saxophone perempuan. Aku menghidupi keseharian dengan meniup alat yang terbuat dari logam itu. Terkadang, aku tidak hanya mengembuskan napas pada corong alat itu, tapi juga menghabiskan napas dengan nada-nada yang keluar dari pita suaraku. Memang, sedari kecil aku hidup di lingkungan seni, khususnya musik, karena keluarga dan kebanyakan kerabatku menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Musik adalah hidupku. Rasanya, sulit sekali untuk menghapuskan musik dalam keseharianku. Sejak sebelum aku memasuki bangku taman kanak-kanak, hasratku untuk bernyanyi, menari, berdrama, dan menggambar sudah mulai kelihatan dominan. Ditambah lagi ketika mulai masuk sekolah dasar sampai SMA, aku selalu menjadi orang pertama yang ditunjuk untuk mengikuti berbagai perlombaan. Setelah SMA, aku memutuskan untuk lebih mendalami musik dengan memilih jurusan yang sesuai di sebuah universitas di Yogyakarta.

Tahun 2016 adalah tahun pertamaku menjelajah dari Wonosobo ke Yogyakarta, dari kota kecil di pegunungan ke kota yang kaya akan seni budaya. Pada peralihan itulah aku mulai berkenalan dengan saxophone. Dengan skill seadanya dan amatiran, aku memberanikan diri untuk mulai menyebul barang langka itu. Sampai akhirnya, proses dan pengalamanku mendalami saxophone menjadikanku musisi freelance yang profesional hingga sekarang.

Baca juga:

Lambat laun, identitasku ditempelkan pada “saxophonis perempuan”. Banyak orang mengenalku sebagai “tukang sebul” dan penyenandung lagu-lagu di berbagai tempat seperti café, acara pernikahan, dan acara musik lainnya. Kebanyakan dari mereka mengenalku lewat mulut ke mulut; dan selalu sebagai saxophonis perempuan. Banyak pula dari partner bermusik yang baru aku kenal memberi kesan dan apresiasi yang sangat bisa mendulang hasrat narsistikku. Siapa yang tidak nyaman kalau diberi support dan komentar baik terus-menerus, bukan? Namun, ada satu hal yang ingin aku ceritakan.

Salah seorang teman—musisi laki-laki—pernah mengatakan sesuatu padaku yang membuatku agak resah. Di sela-sela rangkaian acara, ia yang duduk di sampingku sambil membawa gitar berkata, “Wah, kamu ternyata keren. Kamu seharusnya bersyukur, kami memberimu job karena kamu langka. Soalnya, kalau musisi perempuan yang menjadi penyanyi itu biasa. Namun, jika ada perempuan yang memainkan instrumen maskulin seperti saxophone, bass, drum, itu sangat unik dan mempunyai daya tarik tersendiri karena bisa melampaui batas kewajaran.” Seketika lidahku tercekat.

Ingar bingar dekorasi dan euphoria di acara itu tiba-tiba terasa sangat kering. Aku kehilangan fokus. Biasanya, aku memainkan saxophone dengan penghayatan, bagaikan Grace Kelly yang nyebul diiringi deburan ombak. Namun, siang itu entah kenapa udara sangat panas dan menyesakkan. Apakah karena suasana hati yang sedang panas? Atau cuaca di sana memang panas? Aku tidak tahu.

Yang pasti, perkataan temanku itu membuatku terngiang-ngiang hingga menimbulkan banyak pertanyaan dan naik pitam. “Apakah perempuan normalnya hanya bernyanyi sehingga ketika ada yang memainkan instrumen lain—yang biasanya dimainkan laki-laki—mereka menerobos batas normal? Kalau begitu, bukankah pujian bagiku, seorang saxophonis perempuan, secara tidak langsung justru menghina posisiku? Apa hubungannya alat musik yang kumainkan dengan takdirku sebagai perempuan?”

Male Gaze dan Posisi Perempuan di Dunia Musik

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat posisi nyamanku sebagai saxophonis perempuan tergugat. Aku kembali mempertanyakan peran perempuan di dunia musik. Ternyata, ketidakadilan gender sangat terasa di sini. Penomorduaan peran perempuan tidak hanya di sektor sosial dan politik saja, tapi ternyata di dunia seni, khususnya musik, subordinasi itu terasa sangat halus dan terselubung.

Pasalnya, ketika ada perempuan yang bisa memainkan alat musik yang didominasi oleh laki-laki, mereka mendapatkan pujian yang sangat masif dan diistimewakan. Ini berbanding terbalik dengan penyanyi perempuan. Hal itu biasa dan normal-normal saja, tidak ada yang unik selain skill dan penampilan yang ia suguhkan. Hal ini membuat saya teringat akan Bung Karno dalam bukunya yang berjudul Sarinah (1947). Ia pernah menuliskan bahwa di dalam masyarakat terdapat “pendewi-tololan” perempuan, yaitu keadaan ketika perempuan diagung-agungkan, tapi sebenarnya disubordinasikan.

Penomorduaan terjadi karena segala sesuatu dipandang dari sudut pandang laki-laki. Artinya, laki-laki ditempatkan sebagai nomor satu atau lebih penting daripada perempuan. Bisa dilihat dari dominasi laki-laki di dunia musik dan adanya musisi perempuan yang berfungsi sebagai pelengkap, pemanis, maupun pencuri perhatian saja. Malah, terkadang, keterampilan musikal yang dimiliki perempuan tidak terlalu penting. Jika dilihat dari sini, berarti peran perempuan dipinggirkan, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Di tengah lamunan dan cepatnya pertanyaan di kepala yang lalu-lalang, aku melihat beberapa orang sedang memperhatikanku. Mata dibalas dengan mata, tatapan itu kutatap dengan saksama. Aku merasakan ada hal yang mengganjal tentang tatapan para tamu undangan. Sorot mata, senyuman, dan ujung jari yang menunjukku itu, kulihat persis seperti seorang ayah yang menonton kera di kebun binatang dan menjelaskan ke anaknya yang tidak tahu apa-apa.

Aku curiga, mereka menatapku sebagai objek, sama seperti kera yang bergelantungan bebas di dalam kandang. Memang terkesan baperan, tapi hal itu tidak menyangkal adanya objektifikasi yang terjadi kepadaku. Aku pun mengurungkan niatku untuk meniup saxophone di sela-sela lagu, dan melanjutkan lamunanku kembali.

Mungkin, hal ini yang dinamakan Laura Mulvey, seorang ahli teori film feminis dari Inggris, dalam esainya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975) sebagai “male gaze”, yakni ketika sesosok subjek dijadikan objek (benda) melalui cara pandang laki-laki. Dalam male gaze, perempuan diposisikan secara visual sebagai objek dari hasrat laki-laki heteroseksual.

Pada dunia film, the male gaze biasanya membuat perempuan ditampilkan dalam dua level erotisme, yakni sebagai objek erotik bagi aktor di dalam film ataupun objek erotik bagi penonton laki-laki. Apabila dielaborasikan secara visual, konsep male gaze pada perfilman ini juga sangat relevan dengan ekosistem musik. Tubuh perempuan dijadikan sebagai objek yang memberikan kenikmatan melalui voyeurism (melihat atau menatap untuk memuaskan hasrat seksual) dan skopofilia (mendapatkan kesenangan dengan melihat).

Visualisasi yang demikian, menciptakan peran laki-laki yang lebih dominan dengan menampilkan perempuan sebagai objek yang pasif. Di dunia musik, kebanyakan yang berperan aktif dalam proses kreatif hingga penggodokan strategi pemasaran adalah laki-laki. Sementara itu, perempuan ditempatkan pada posisi pasif sebagai talent yang hanya bertanggung jawab pada penampilan musikal maupun visualnya saja.

Begitu pun yang terjadi pada alat musik logam itu. Benda mati yang tidak memiliki secercah kesadaran pun bisa terkena bias gender. Masalahnya, penyematan identitas feminin dan maskulin dilakukan juga pada alat musik—kalau melihat kembali perkataan temanku. Alasannya mungkin karena faktor estetika saxophone dengan lekukan dan suaranya yang eksotis—siapa yang mendominasi alat itu? Apakah laki-laki dengan “maskulinitas”-nya atau perempuan dengan “femininitas”-nya?

Singkatnya, aku dan saxophone kesayanganku sama-sama dijadikan objek yang erotis, yang indah, dan yang bisa memberi kenikmatan kepada tatapan tidak bertanggung jawab yang terpatri sebagai suatu ideologi. Jika sudah ternormalisasi, pada akhirnya hal itu akan memengaruhi perilaku keseharian. Lebih parahnya lagi, kenyataan pahit itu bisa bersembunyi di balik basa-basi sosial dengan sangat misterius.

Baca juga:

Mampukah Kita Melampaui Ketidakadilan Ini?

Dampak subordinasi dan “male gaze” yang terus menerus dilanggengkan ini membuatku—dan mungkin teman-teman musisi perempuan lain—memiliki beban yang tumpang tindih. Perempuan merupakan pihak yang paling rentan mengalami kekerasan fisik maupun verbal yang terkait dengan peminggiran, perendahan, dan stereotip yang sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat kita. Selain itu, male gaze juga memberikan pengaruh yang signifikan pada cara pandang seseorang terhadap bagaimana laki-laki memandang perempuan, bagaimana perempuan memandang dirinya, dan bagaimana perempuan memandang perempuan lainnya—seperti yang terjadi di dunia musik saat ini.

Demi menjadi musisi yang sejahtera di industri musik, perempuan dibebani tuntutan yang lebih mengerikan daripada laki-laki. Selain harus menempa skill bermusik dengan akses yang lebih sulit dibandingkan laki-laki, perempuan mau tidak mau masuk ke dalam sistem. Perempuan juga harus bisa menjaga dirinya dengan baik agar tidak terjatuh pada kubangan sistem yang tidak adil itu.

Tidak hanya bermodal musikalitas dan alat musik yang ia dalami, perempuan juga harus memperhatikan penampilan. Perempuan sering kali dituntut untuk menampilkan dirinya dalam kostum, tata rias, tubuh, warna rambut, hingga warna kuku yang bukan keinginannya. Saking besarnya dampak yang menjalar ini, terkadang musisi perempuan sampai lebih memusingkan penampilannya daripada skill bermusiknya.

Selain sebagai dampak, hal ini pula yang memicu adanya subordinasi berkelanjutan pada perempuan. Maksudnya, karena perempuan dinomorduakan, mereka harus mengupayakan kesetaraan di industri musik. Upaya ini dilakukan dengan bersaing menggunakan modal-modal yang ia punya beserta segala tuntutannya. Namun, karena mengupayakan hal itu, perempuan dianggap lebih “lamban” daripada laki-laki sehingga kembali menimbulkan subordinasi dan pendewi-tololan terhadap para perempuan. Begitu terus berulang seperti lingkaran setan yang tak pernah usai.

 

Editor: Emma Amelia

Lysandra Zulfa Anindita
Lysandra Zulfa Anindita Aku anak perempuan, kadang pembangkang, yang sedang belajar dan mencoba menata hubungan manusia dengan Tuhan, Alam, maupun Manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email