Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata nuklir?
Mungkin terbersit dalam benak Anda bahwa nuklir adalah bom dengan daya ledak yang begitu besar. Apakah itu keliru? Tidak sepenuhnya.
Nuklir sendiri merupakan suatu energi yang berasal dari inti atom. Namun, untuk dapat melepaskan energi nuklir diperlukan reaksi fisi atau reaksi ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian, dan bisa juga dengan reaksi fusi, yakni ketika inti atom menyatu.
Sejauh ini, energi nuklir digunakan di dunia untuk menjadi supply dari energi listrik, dan reaksi nuklir yang digunakan adalah jenis reaksi fisi. Sementara itu, reaksi fusi masih dalam tahap pengembangan. Setiap kali terjadi perpecahan inti atom, terjadi pelepasan energi dalam bentuk panas dan radiasi.
Lalu, bagaimana dengan jawaban sebelumnya yang mengatakan bahwa nuklir adalah bom dengan daya ledak yang begitu besar yang tidak sepenuhnya salah itu? Sebenarnya jawaban ini sudah mendapat konfirmasi, bahwa energi nuklir juga digunakan untuk supply energi listrik, selain yang didapatkan dari energi fosil, panel surya, turbin angin, dsb.
Hanya saja, ketika cara kerja reaksi fisi itu berinteraksi dengan atom yang dapat dipecah, seperti uranium atau plutonium, maka ada efek domino atas pecahnya inti atom tersebut, sehingga menghasilkan panas dan radiasi dengan skala besar.
Melalui prinsip di atas, maka mekanisme kerja energi nuklir memang dapat juga diaplikasikan ke dalam bentuk senjata, yang umum disebut senjata nuklir atau bom nuklir, dan karena mekanisme kerjanya yang berkaitan dengan atom, tidak jarang pula energi atom—atau disebut bom atom bila sudah berbentuk senjata. Kita bisa mengenang ledakan bom atom yang bersejarah di dua kota negara Jepang, Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Nuklir, sebagai sebentuk energi, tentu saja netral. Sebagaimana seluruh sumberdaya alam yang tersedia di bumi, ia tidak memiliki pertimbangan moral per se. Ia hanya akan menjadi topik diskusi ihwal moralitas ketika bersentuhan dengan prikehidupan manusia.
Melalui anteseden bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, maka kepemilikan dan—apalagi—penggunaan senjata nuklir menjadi problematis. Kita juga bisa melacak, beberapa negara adidaya seperti Rusia dan Amerika Serikat yang diketahui memiliki senjata nuklir.
Berbicara mengenai potensi destruktif senjata nuklir, saya ingat “imbauan” dari Nasida Ria, band kasidah yang berasal dari Semarang.
Nasida Ria merilis lagu berjudul “Bom Nuklir” pada tahun 1990. Dalam paruh awal lagu itu, kita dapat menangkap suatu prediksi—yang hampir pasti—apabila bom nuklir diledakkan atas syahwat negara adidaya yang hendak “menguasai bumi” dengan berbagai demagogi yang dikumandangkan media massa. Kita simak lirik awalnya.
Bila bom nuklir diledakkan
Akan musnah kehidupan di bumi
Hawa panas menyelimuti bumi
Membakar semua yang di bumi
Langit gelap tertutup asap hitam
Mendadak udara dingin membeku
Sungguh ngeri akibat bom nuklir
Nasida Ria mengungkapan prediksi itu dengan mengatakan bahwa bila bom nuklir diledakkan, maka “akan musnah kehidupan di bumi.” Hal ini tepat. Pasalnya, apabila kita kembali pada peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, daya ledak bom nuklir yang digunakan “hanya” sebesar 20 kiloton dan 15 kiloton TNT (skala ledakan). Sementara itu, Rusia hari ini memiliki bom nuklir yang dinamai “Tsar Bomba” atau “Big Ivan” yang memiliki daya ledak 100 megaton TNT atau 100 juta ton TNT. Daya ledak bom ini kurang lebih 7.600 kali lebih besar dari bom “Little Boy” yang dijatuhkan di kedua kota tadi. Amerika Serikat sendiri, diketahui memiliki bom nuklir yang dinamai “B83” dengan daya ledak 1,2 megaton atau 1,2 juta ton TNT—dan tentu saja ada kemungkinan Amerika Serikat memiliki bom nuklir dengan daya ledak lebih besar dari ini.
Jadi, apa yang digaungkan Nasida Ria bahwa bila bom nuklir diledakkan “akan musnah kehidupan di bumi” begitu masuk akal.
Tragedi Hiroshima dan Nagasaki sendiri merupakan mimpi buruk umat manusia. Lalu, apa jadinya bila bom dengan skala ledakan 7.600 kali lipat dari itu diledakkan? Tentu tidak akan ada yang tersisa selain “Hawa panas menyelimuti bumi / Membakar semua yang di bumi / Langit gelap tertutup asap hitam / Mendadak udara dingin membeku” dan kehidupan tidak bisa berlanjut.
Kita tinggal sebuah monumen sejarah yang muram. Ketika membayangkan lanskap demikian, seperti kata Nasida Ria, “Sungguh ngeri akibat bom nuklir.”
Kita coba simak kembali lirik lanjutan lagu itu.
Orang yang selamat matanya buta
Sekujur badan tumbuh tumor ganas
Lebih sakit daripada yang mati
Saya di awal menyatakan bahwa energi nuklir, bahkan mungkin senjata nuklir itu sendiri, tidak jahat secara per se, melainkan hanya mendapat beban makna “jahat” terkait penggunaannya, hendak menyampaikan keberatan pada arah tudingan Nasida Ria. Mereka melaknat pencipta bom nuklir. Itu artinya, mereka juga melaknat orang yang menciptakan (atau menemukan) mekanisme kerja energi nuklir.
Meskipun dua hal ini berbeda, dan meskipun motif untuk membuat dan mengembangkan senjata nuklir sendiri sudah merupakan dosa, agaknya perlu dikenali secara struktural bahwa ada banyak pihak pengembang, atas nama kepatuhan, tidak bisa menolak perintah otoritas di atasnya untuk mengembangkan nuklir. Orang tipe seperti ini tidak disebut “monster sadistis” oleh Hannah Arendt dalam teori banalitasnya, melainkan sebatas “birokrat yang patuh.”
Kembali pada lirik di atas, kita dapat menemukan bahwa kesadisan dari penggunaan senjata nuklir tidak hanya menggilas mereka yang telah mati, melainkan—terutama—juga mereka yang terkena dampaknya serta masih hidup dengan susah payah.
Orang-orang cacat, terkena penyakit, yang kehilangan harta benda, remuk jiwanya karena kehilangan orang-orang terkasih, merupakan orang yang merasa “lebih sakit daripada yang mati.”
Kita lanjutkan kembali membaca lirik lagunya:
Wahai pencipta bom nuklir terlaknat
Mengapa kauundang hari kiamat
Nasida Ria, dengan lantang, mengutuk pencipta bom nuklir yang “mengundang hari kiamat” itu. Namun, sebelum membahas pengutukan itu, kita akan coba dulu membahas dua orang pemikir besar yang cukup intens dikaitkan dengan wacana penggunaan senjata nuklir ini.
Pertama, Albert Einstein, seorang fisikawan tersohor yang oleh sebagian pihak dituduh menjadi bagian dari pengembang konsep ini, menolak penggunaan energi nuklir sebagai senjata. Kedua, Bertrand Russell, dalam bukunya yang berjudul Common Sense and Nuclear Warfare (1956) juga menolak serta memberi tilikan dalam konstelasi hubungan internasional Barat-Timur. Lantas, dalam suatu titik, kedua pemikir ini terhubung dalam suatu suara yang dengan lantang menolak penggunaan “senjata pemusnah massal” tersebut. Saya coba kutipkan Manifesto yang disusun oleh mereka berdua:
In view of the fact that in any further world war nuclear weapons will certainly be employed, and that such weapons threaten the continued exsistence of mankind, we urge the governments of the world to realize, and to acknowledge publicly, that their purpose cannot be furthered by a world war, and we urge them, consequently, to find peaceful means for the settlement of all matters of dispute between them.
Manifesto Russell-Einstein itu dirilis pada 9 Juli 1955 untuk memperingatkan dunia tentang konsekuensi mengerikan dari perang nuklir. Manifesto ini sendiri disusun dalam upaya mencegah konflik internasional yang mereka sebut akan menghasilkan “kematian universal”.
Namun, prediksi mengerikan bahwa suatu saat nanti, entah kapan, senjata nuklir pasti digunakan, begitu meresahkan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk melakukan rekonsiliasi dan gencatan senjata nuklir untuk perang, tetapi hal ini problematis.
Menyimak hal ini, kita—yang memiliki nurani—tentu gelisah, atau marah, dan memang hendak mengutuk pihak yang menciptakan senjata nuklir. Namun, siapakah pencipta senjata nuklir? Ini sulit dipastikan. Jadi, sasaran yang perlu dilaknat agaknya impersonal, karena upaya penciptaan dan pengembangan bom nuklir ini ini bersifat estafet, komunal, dan kompleks, serta dihantui oleh ketakutan “musuh di seberang” akan menggunakan senjata itu apabila di pihak ini tidak melakukan “langkah pencegahan.” Kita bisa baca di manifesto:
This hope is illusory. Whatever agreements not to use H-bombs had been reached in time of peace, they would no longer be considered binding in time of war, and both sides would set to work to manufacture H-bombs and the other did not, the side that manufactured them would inevitably be victorious.
Ada semacam pesimisme dan, barangkali, pengakuan atas utopia moral yang diharapkan dalam problem ini. Hal tersebut dapat kita baca dalam pembuka paragraf di atas. This hope is illusory. Namun, bukankah memang manusia tidak pernah bisa lepas dari yang namanya harapan, meskipun harapan tersebut sebegitu jauhnya untuk bisa dicapai?
Bila manusia berhenti berharap, dan terlempar ke dalam jurang pesimisme yang apatis, barangkali bumi ini sudah hancur sejak jauh di masa lalu.
Bukti bahwa harapan, setidaknya, dapat memberikan spirit untuk berjuang, telah membuat—salah satunya—manifesto ini memberikan peran yang penting. Selain daripada gencatan senjata, diplomasi yang dipenuhi muslihat, dan omong kosong tentang perdamaian dunia, agaknya uraian manifesto ini telah membuat mereka (Einstein dan Russel) memenuhi tugas seorang penulis dalam perspektif Albert Camus, yakni: “The purpose of the writer is to keep civilization from destroying itself.”
Manifesto ini menggambarkan suatu ironi, yang mengingatkan umat manusia untuk tidak menghancurkan dirinya sendiri dengan memiliki, mengembangkan, dan menggunakan senjata nuklir untuk hasrat yang dinilai sia-sia dalam kehidupan yang absurd.
Kita baca baris lainnya:
Here, then, is the problem which we present to you, stark and dreadful and inescapable; Shall we put an end to the human race; or shall mankind renounce war? People will not face this alternative because it is so difficult to abolish war.
Dalam perspektif politis, agaknya pencarian jalan tengah yang rasional bagi kedua kubu tanpa harus membuat salah satu pihak merasa dirugikan dan terancam, nyaris mustahil. Namun, proses komunikasi semacam ini mengandaikan rasionalitas universal-strategis di mana setiap negara hendak mengamankan (kalau bukan aset, berarti) arogansi nasionalismenya.
Bila kita membayangkan kerumitan diplomatis semacam ini, yang di dalamnya tersimpan seribu rupa argumentasi dan pemikiran-pemikiran yang rumit, agaknya Nasida Ria memiliki suatu alternatif bersahaja dan mampu menentramkan umat manusia.
Kita baca liriknya:
Ciptakan saja obat yang berguna
Libatkan dagang hasil pertanian
Agar tidak ada wabah kelaparan
Demi kesejahteraan manusia
Hentikan saja produksi bom nuklir
Peningkatan kualitas kesehatan, baik itu fasilitas dan teknologinya, kemudian ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian untuk mengantisipasi kemungkinan krisis pangan dunia, agaknya merupakan suatu cita-cita mulia yang sudah semestinya dipikirkan secara bersama-sama tanpa harus menyembunyikan senjata di balik mantel kebesaran bangsa masing-masing.
Nasida Ria, dalam konteks ini, terkesan kekanakan, oleh sebab menyampaikan “pesan moral” yang polos dan sederhana—tetapi begitu problematis secara praktik. Namun, bukankah kedewasaan (yang dalam filsafat dapat dikonotasikan dengan modernisme) telah menarik Tuhan dari singgasana-Nya dan menempatkan rasio murni dan kemanusiaan untuk menguasai dunia secara arogan?
Kadang-kadang kita perlu belajar dari Nasida Ria, bahwa segala sesuatu tidak harus diperdebatkan dengan “kedewasaan” yang angkuh.
Karawang, 21 Juli 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars