“Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra-putri Sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri,” begitu kata Gibran dalam syairnya. Ketika beranjak dewasa, seorang anak akan merasa memiliki hak dan tanggung jawab untuk menentukan hidupnya sendiri. Namun, tak jarang apa yang menjadi keinginan seorang anak bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh orangtua mereka. Sering kali hal tersebut memicu konflik yang mengakibatkan kerenggangan hubungan antara anak dan orangtua. Begitulah yang terjadi pada keluarga Pak Domu dan Bu Domu dalam film Ngeri-Ngeri Sedap.
Ngeri-Ngeri Sedap merupakan film drama keluarga karya terbaru Bene Dion Rajagukguk (sutradara dan penulis skenario). Cerita dalam film ini berangkat dari keresahan Bene tantang pola komunikasi dan dinamika di dalam keluarga Batak. Film ini mungkin terasa Batak kali Lae, sebab mulai dari pemeran hingga kru di balik layar, sebagian besar diisi oleh orang-orang Batak. Salah satunya Vicky Sianipar yang bertanggung jawab sebagai penata musik, yang membuat suasana dalam film ini semakin hidup dan nyata.
Di awal film penonton langsung disuguhkan keindahan Bukit Holbung dan danau Toba, serta musik Batak yang penuh semangat. Meskipun Ngeri-Ngeri Sedap bercerita tentang keluarga Batak, tetapi film ini tetap bisa dinikmati oleh suku-suku lain di luar Batak. Sebab isu yang diangkat oleh Bene merupakan isu yang universal, yang juga dirasakan dan dialami oleh keluarga suku lainnya, di antaranya isu parenting, adat, dan feminisme.
Keluarga Batak ini terdiri atas Pak Domu yang diperankan oleh Arswendi Beningswara Nasution dan Bu Domu yang diperankan oleh Tika Pangabean. Mereka memiliki 4 orang anak, yaitu Domu (Boris Bokir), Sarma (Gita Bhebhita Butarbutar), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra jegel). Bu Domu sangat merindukan 3 anak lelakinya yang sudah lama di rantau dan enggan pulang, sebab mereka sedang berkonflik dengan Pak Domu. Setiap konflik antar tokoh dalam film ini mengangkat isu tersendiri.
Domu
Domu merupakan anak pertama yang diharapkan menjadi penerus adat. Akan tetapi Domu justru jatuh cinta pada gadis Sunda dan dia juga sudah memiliki pekerjaan yang baik di Bandung. Tentu hal ini ditentang keras oleh Pak Domu, sehingga lahirlah konflik antara ayah dan anak ini. Pak Domu khawatir jika Domu menikah dengan perempuan di luar Suku Batak, Domu akan meninggalkan adat-adat Batak dan Pak Domu tidak memiliki penerus untuk melestarikan kebudayaan Batak.
Sedangkan Domu sebagai generasi yang lebih modern memiliki pandangan berbeda, bagi Domu semua manusia sama. Tak ada bedanya antara Suku Batak dengan suku lain dan perkara adat-istiadat bisa dipelajari. Di Indonesia tentu masih banyak keluarga yang seperti ini, dari suku mana pun. Ada anggapan tidak boleh menikah dengan suku lain di luar sukunya atau tidak boleh menikah dengan suku tertentu dengan berbagai pertimbangan dan alasan.
Gabe
Gabe merupakan anak ketiga yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Hukum. Pak Domu mengharapkan Gabe menjadi seorang pengacara sebagaimana Anak Batak kebanyakan. Sayangnya, Gabe justru memilih berkarir sebagai komedian. Meskipun dia sudah menjadi komedian yang cukup terkenal, tetapi Pak Domu sama sekali tidak bangga, justru sebaliknya dia malu dan kecewa terhadap pilihan karir anaknya.
Banyak sekali anak di Indonesia yang berkuliah tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti Gabe. Berdasarkan penuturan Irene Guntur (2021) ahli Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility, 87% mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Dari penelitian tersebut, salah satu alasan mahasiswa salah jurusan adalah karena paksaan orangtua. Sering kali orangtua menjadikan anak sebagai sarana untuk mewujudkan mimpi-mimpi orangtua yang tidak tercapai. Pada akhirnya mereka juga memilih pekerjaan di luar latar belakang pendidikannya. Menguatkan penelitian tersebut, Mendikbudristek Nadiem Makarim (2021) mengungkapkan 80% lulusan perguruan tinggi bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya.
Sahat
Menurut Pak Domu, sebagai anak bungsu Sahat seharusnya tidak boleh merantau. Tugas dia adalah menetap ke rumah, menemani dan merawat orangtua. Sebagai imbalannya dia yang akan mendapatkan warisan berupa rumah. Namun, Sahat tidak tergiur dengan tawaran itu. Sahat menolaknya mentah-mentah. Dia justru memilih tinggal dengan Pak Pomo, seorang petani di Yogyakarta, tempat dia dulu tinggal semasa KKN.
Tidak sedikit keluarga yang memiliki prinsip seperti Pak Domu, meskipun mereka bukan Suku Batak. Budaya seperti ini tentu sangat merugikan karena membatasi mimpi dan cita-cita seorang anak bungsu. Padahal seharusnya mereka memiliki hak yang sama dengan saudara lainnya untuk mengaktualisasikan diri.
Sarma
Sarma adalah anak ke-2 yang merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga Pak Domu. Sarma menjadi kejutan dalam film Ngeri-Ngeri Sedap. Dia tidak terlalu mendapat sorotan ketika promo film ini, dan konfliknya juga tidak pernah disampaikan. Tetapi, justru pada sosok Sarma ini puncak konflik terjadi. Hidup di tengah masyarakat yang sangat patriarki, membuat Sarma kehilangan dirinya sendiri. Sesuai pesan Bu Domu, “sebagai perempuan harus menurut, perempuan tidak boleh melawan.”
Tidak seperti saudara-saudara lelakinya yang berani “membantah” (mengekspresikan keinginannya), Sarma mengubur dalam-dalam segala mimpinya, agar menjadi anak perempuan yang baik. Semasa kecil, Sarma memiliki cita-cita untuk menjadi koki dan dia sebenarnya punya kesempatan untuk mewujudkan mimpinya, namun dia lebih memilih mengikuti keinginan Pak Domu untuk berkarir sebagai PNS.
Selain itu Sarma juga harus kehilangan kekasihnya. Pak Domu tidak setuju dengan lelaki pilihan Sarma, sebab bukan dari Suku Batak. Sarma jugalah pada akhirnya yang tetap tinggal di rumah bersama Pak Domu dan Bu Domu, ketika ketiga saudara lelakinya sibuk mengejar mimpinya masing-masing.
Melalui Ngeri-Ngeri Sedap, Bene berhasil membangun narasi yang sangat kuat untuk menggugat metode parenting gaya lama yang terpusat pada ego orangtua semata. Perintah orangtua sama dengan perintah Tuhan; tidak boleh dibantah. Ada dialog di mana anak-anak Pak Domu sebenarnya hanya ingin didengar, mereka ingin mengungkapkan perasaan mereka, bukan hanya dipaksa untuk mengikuti keinginan Pak Domu.
Namun, di sini Bene juga tetap objektif. Dia tetap memberikan porsi yang seimbang terhadap sudut pandang orangtua. Salah satunya lewat tokoh Opung (Ibu dari Pak Domu) yang bercerita kepada cucu-cucunya tentang kebaikan dan pengorbanan Pak Domu, meskipun Pak Domu keras dalam mendidik dan tidak pernah menunjukkan kehangatan serta kasih sayang terhadap anak-anaknya. Tetapi, sebenarnya dia sangat sayang dan peduli.
Banyak pelajaran dan nilai-nilai positif dari film ini yang bisa penonton jadikan sebagai bahan diskusi dan refleksi. Baik tentang betapa berharganya sebuah keluarga maupun pentingnya kesadaran dan peran generasi muda dalam menjaga adat dan budaya. Film ini sangat direkomendasikan bagi keluarga yang sedang tidak baik-baik saja, tapi tak pernah punya momen yang tepat untuk jujur satu sama lain.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Kisah Keluarga Batak yang Ngeri-Ngeri Sedap”