Penulis dan jurnalis freelance, Mahasiswa Program Master of Communication di Victoria University of Wellington.

Buku Anak tentang Problematika Kehidupan? Mengapa Tidak?

Tussie Ayu

2 min read

Tinggal dan menyekolahkan anak di Selandia Baru sejak setahun terakhir membuat saya menyadari makna privilige khususnya dalam bidang pendidikan.  Sistem pendidikan di negara maju seperti Selandia Baru memberikan kemewahan berupa kemudahan akses mendapat buku bacaan. Sebuah kemewahan yang tak didapatkan kebanyakan anak sekolah di Indonesia.

Anak saya yang terkecil berusia lima tahun, dan saat ini duduk di kelas 1. Dia sangat beruntung, karena setiap hari gurunya membekali satu buku cerita untuk dibaca di rumah. Bahkan setiap hari Jumat, buku yang dia bawa ke rumah bertambah menjadi tiga buah.

Buku pertama adalah bacaan sederhana yang bisa dia baca sendiri, buku kedua merupakan bacaan anak-anak yang lebih kompleks untuk dibacakan oleh orangtua, dan buku ketiga adalah buku puisi yang bisa dibaca anak-anak bersama keluarga di rumah.

Jika masih kurang dengan buku-buku yang dibekali sekolah setiap hari, perpustakaan sekolah dan public library pun menyediakan buku bacaan secara gratis. Baik dari buku yang dipinjam dari sekolah atau perpustakaan, kami menemukan buku dengan tema yang sangat beragam, yang terkadang tidak terpikirkan untuk bisa menjadi tema bacaan untuk anak-anak.

Suatu hari, guru anak saya di sekolah membawakan buku berjudul Two Homes karya Claire Masurel. Buku ini menceritakan tentang anak dari orangtua yang bercerai. Diceritakan dalam buku ini, seorang anak laki-laki bernama Alex yang memiliki dua rumah; satu rumah ibunya dan satu lagi rumah ayahnya. Terkadang dia tinggal di rumah ibunya, terkadang dia tinggal di rumah ayahnya. Dia memiliki dua rumah, dua kamar tidur dan dua kasih sayang dari kedua orangtuanya.

Dengan membaca buku ini, anak yang mengalami perceraian akan merasa terwakili oleh tokoh Alex. Ternyata mereka tidak sendiri, ada juga anak-anak lain yang mengalami perceraian orangtuanya. Anak dari orangtua yang bercerai tidak perlu berkecil hati, karena meskipun orangtuanya berpisah, kedua orangtuanya tetap menyayanginya. Ia bahkan kini memiliki dua rumah, dua kamar tidur dan dua lingkungan bermain.

Bagi anak-anak yang tidak mengalami masalah perceraian orangtua, akan bisa berempati pada temannya yang mengalami hal demikian. Isu perceraian kerap dipandang sebagai permasalahan orangtua dan anak-anak tidak perlu tahu. Tapi bukankah perceraian orangtua merupakan bagian dari kehidupan anak dan bagian dari kehidupan kita? Tentu anak-anak perlu memahami perceraian dengan bahasa yang bisa mereka mengerti, seperti yang diceritakan dalam buku ini.

Di lain waktu, kami meminjam buku burjudul Hello! A Counting Book of Kindness karya Hollis Kurman. Awalnya saya pikir ini adalah buku untuk belajar berhitung untuk anak-anak. Ternyata setelah membaca buku ini, anak saya mendapat pelajaran jauh lebih banyak dari sekadar berhitung.

Buku ini bercerita tentang anak-anak pengungsi yang harus meninggalkan rumah mereka yang sudah tidak aman karena perang atau bencana alam. Dalam buku ini diceritakan, lebih dari setengah pengungsi di dunia merupakan anak-anak, atau berjumlah sekitar 10 juta anak.

Buku ini mengajarkan anak-anak berhitung, yang dikemas dalam cerita anak-anak pengungsi. Setelah membaca buku ini, anak-anak akan memahami betapa berat kehidupan yang dialami para pengungsi. Mereka akan belajar tentang pentingnya empati dan memberikan kebaikan. Di sisi lain, mereka akan mensyukuri kehidupan mereka, karena terlahir dan hidup di negara yang aman.

Satu hal yang saya kagumi dari buku-buku ini adalah bagaimana sang penulis mampu membumikan persoalan rumit orang dewasa, ke dalam bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Bagaimana menjelaskan tentang perceraian? Bagaimana membuka mata anak-anak tentang persoalan pengungsi di dunia? Semuanya dijelaskan dengan mudah dalam buku-buku ini.

Lalu seberapa penting bagi anak-anak untuk memahami persoalan kehidupan, baik di tingkat rumah tangga atau di tingkat global? Tentu sangat penting. Karena sejatinya kewajiban setiap anak adalah untuk belajar menghadapi kehidupan, bukan sekadar belajar untuk menghadapi ujian di sekolah.

Ketika seorang anak perempuan Swedia bernama Greta Thunberg bersuara lantang untuk menyampaikan kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan iklim, tentulah sejak kecil ia telah memahami persoalan yang dihadapi dunia. Pemahaman itu tidak datang dalam semalam. Pemahaman itu dia dapatkan dari pendidikan, orangtua, guru dan buku-buku bacaan.

Pada Pemilihan Umum Selandia Baru tahun 2017 lalu, Chloe Swarbrick, yang baru berusia 23 tahun berhasil terpilih sebagai anggota parlemen termuda Selandia Baru, sejak tahun 1975. Bagaimana pendidikan di Selandia Baru bisa menghasilkan generasi muda yang memiliki kepedulian dan visi terhadap permasalahan yang dihadapi negaranya? Tentu ada resep-resep jitu yang mereka terapkan dalam sistem pendidikannya.

Ada banyak hal yang bisa membuat generasi muda bersedia turut memikirkan problematika kehidupan. Salah satunya, tentu dengan menyediakan buku bacaan ‘bergizi’, yang membuat mereka mengerti tentang permasalahan-permasalahan kehidupan yang kita hadapi.

Buku-bukuini akan merangsang mereka untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada.

Anak-anak layak diberi kesempatan untuk mengerti permasalahan kehidupan, baik di tingkat domestik hingga ke tingkat global. Bukankah mereka adalah bagian dari komunitas dunia? Bukankah mereka adalah pemimpin masa depan kita? Cepat atau lambat, mereka akan mengalami problematika ini. Lalu mengapa kita tidak mulai berdialog dan membahas isu-isu ini dengan mereka, bahkan sejak di usia dini?

Menghadapi problema kehidupan adalah lifeskill yang harus dimiliki setiap manusia. Memberi pengetahuan tentang problema kehidupan sejak dini, berarti membekali mereka untuk menjadi manusia yang tangguh dan berorientasi pada solusi di masa yang akan datang. Membekali anak dengan lifeskill yang akan membantunya menghadapi masalah kehidupan adalah tugas utama orangtua dan sistem pendidikan.

Tussie Ayu
Tussie Ayu Penulis dan jurnalis freelance, Mahasiswa Program Master of Communication di Victoria University of Wellington.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email