“Kesepian itu mematikan. Sama dahsyatnya dengan merokok atau alkoholisme.”
Kata-kata di atas diucapkan oleh Robert Waldinger melalui forum TEDx yang membahas tentang pentingnya memiliki relasi baik antar-manusia. Kalimatnya terasa menyakitkan. Akan tetapi, begitulah faktanya.
Menurut tinjauan meta-analisis yang dilakukan oleh Julianne Holt-Lunstad, merokok 15 batang sehari sama berbahayanya dengan kesepian, perasaan terisolasi, dan hubungan sosial yang lemah.
Yang lebih menarik dari data tersebut, risiko kematian orang dewasa paruh baya cenderung lebih besar dibanding orang yang lebih tua, dengan asumsi kedua kelompok usia tersebut sama-sama mengalami kesepian.
Penelitian yang dilakukan oleh Holt-Lunstad dan kolega tidak hanya menyajikan angka, melainkan juga analisis mendalam. Menurutnya, masuk akal jika individu yang kesepian di usia sebelum pensiun cenderung lebih cepat meninggal. Hal ini diakibatkan mereka punya potensi lebih besar melakukan sesuatu yang membahayakan kesehatan. Ditambah lagi ada kecenderungan tentang kurangnya kesadaran untuk memeriksakan kondisi tubuh mereka.
Baca juga:
Berdasarkan data tersebut, kita tentu bisa saja menarik kesimpulan: orang yang kesepian sekaligus merokok memiliki risiko kematian lebih besar. Namun, poinnya bukan di situ. Kesepian terlanjur mewabah, teknologi mendorongnya ke jurang, dan kita berada di ambang keresahan akibat hal itu.
Kesepian yang Semakin Mewabah
Secara naluriah, otak kita berevolusi untuk mencari keamanan yang kemudian mewujud upaya untuk berkelompok dengan manusia lain. Maka, jadilah kita makhluk sosial, sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles dalam karyanya yang masyhur, Politika.
Hal sebaliknya terjadi saat kita tidak bertemu teman sama sekali, misalnya saat pandemi COVID-19 melanda selama lebih dari dua tahun. Timbullah apa yang disebut kesepian atau loneliness.
Kesepian, sama halnya dengan bentuk stres lainnya, berisiko menimbulkan gangguan emosional. Lebih jauh, hal itu meningkatkan potensi penyakit fisik yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita, termasuk penyakit jantung, kanker, stroke, hipertensi, bahkan kematian dini.
Kita mungkin sudah menyadari bahwa kesepian bakal memperburuk kesehatan mental. Akan tetapi, tampaknya banyak dari kita yang enggan menerima bukti kuat bahwa kesepian berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Lebih jauh lagi, fakta bahwa kesepian berisiko besar meningkatkan kemungkinan kematian dini tidak bisa dimungkiri, sebagaimana dituturkan oleh Julianne Holt-Lunstad melalui studinya.
Kesepian tak ubahnya seperti wabah, menyebar dengan cepat. Bahkan, sebelum pandemi COVID-19, kita sudah diterpa oleh badai kesepian.
Seturut studi yang dilakukan Kaiser Family Foundation pada 2018, satu dari lima orang AS mengaku merasa kesepian atau terisolasi secara sosial. Ini bukan jenis kesepian yang dialami ketika rencana liburan akhir pekan gagal. Kesendirian ini berlaku permanen. Singkatnya, mereka merasa terasing.
Kisah-kisah penyintas kesepian pernah dipublikasikan secara naratif di New York Times. Di New York City, sejak 2020 hingga 2022, ada sekitar sembilan juta orang terisolasi dengan ponsel pintar di genggaman tangannya dan layanan pengiriman 24 jam yang diandalkannya, terputus dari tempat-tempat yang biasa mereka berkumpul.
Berdasarkan survei terbaru American Psychiatric Association, pada awal 2024, ada sekitar 30 persen orang dewasa di AS yang mengalami kesepian setidaknya sepekan sekali selama setahun terakhir. Sementara itu, 10 persen lainnya mengaku dilanda kesepian saban hari, tanpa sekali pun merasa tersentuh komunikasi dengan manusia lain.
Jaringan sosial di New York, secara khusus, perlahan terkikis. Terlepas dari gaya hidup soliter yang dianut orang-orang di sana sejak dulu, wabah kesepian memperparah kondisi itu. Teman-teman tenggelam dalam pekerjaan yang tiada habisnya.
Di Indonesia, kondisinya tidak lebih baik. Angkanya pun tak main-main. Berdasarkan survei Health Collaborative Center (HCC) pada 2023, sekitar 44 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian di level sedang. Sementara itu, 6 persen responden lainnya berada di taraf akut, alias teramat kesepian.
Belum jelas sejauh mana rasa kesepian akan mereda. Yang jelas, kesepian sudah menjadi epidemi, menjalar cepat bak penyakit menular. Bahkan, menurut Stephanie Cacioppo, profesor psikiatri dari Universitas Chicago, kesepian akan meninggalkan dampak buruk jangka panjang. Keberadaan bukannya teknologi membantu, malah justru memperparah.
“Negara ini [AS] sedang mengalami wabah kesepian, yang didorong oleh percepatan laju kehidupan dan penyebaran teknologi ke dalam semua interaksi sosial kita,” tulis Vivek Murthy dalam bukunya, Together (2020).
Ramuan Kesepian ala Teknologi
Perkembangan teknologi tidak bisa dimungkiri membawa perubahan di banyak sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, manufaktur, hingga gaya hidup sehari-hari. Namun, ia bagai pisau bermata dua: menawarkan efisiensi dan peningkatan produksi, tetapi di sisi lain membuat kita terus merasa sendiri.
Kita mungkin mengira bahwa media sosial, yang tak lain merupakan wujud perkembangan teknologi, membuat orang-orang memiliki interaksi interpersonal lebih baik. Namun, fakta menyebutkan sebaliknya: penggunaan internet meningkatkan rasa kesepian.
COVID-19 menjadi salah satu faktor krusial yang memengaruhi melonjaknya pengguna internet. Bahkan, terdapat tendensi perilaku yang disebut “kecanduan internet”. Hal itu erat kaitannya dengan penggunaan internet kompulsif yang menimbulkan perasaan terasing jika terputus darinya.
Studi tentang hubungan antara kesepian dan teknologi sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, tepatnya tahun 1990-an. Penelitian awal oleh American Psycologist menemukan, penggunaan internet yang berlebihan berelasi kuat dengan penurunan komunikasi seseorang, baik dengan anggota keluarga maupun kelompok sosial yang lebih besar. Selain itu, akibatnya juga berhubungan dengan peningkatan depresi dan kesepian.
Internet sangat berpengaruh terhadap tingkat kesepian seseorang. Pengguna internet dalam taraf akut lebih merasa terhubung dengan orang lain di dunia maya daripada dunia nyata. Mereka menggunakan internet sebagai wadah pelarian dari interaksi di lingkungan sekitarnya. Hal itu dikarenakan orang-orang tersebut merasa terasing secara sosial.
Baca juga:
Sepanjang periode isolasi sosial, internet dan turunan produknya diyakini mampu menyediakan sumber daya sosial yang substansial. Namun pada kenyataannya, sumber daya tersebut gagal melindungi mereka dari ketidaknyamanan. Hubungan yang diciptakan secara daring tidak lebih dari sekadar pertemanan virtual, yang belum tentu bisa dibawa mentas ke dunia nyata.
Sayangnya, problem kesepian dan hubungannya dengan internet tak ubahnya seperti lingkaran setan. Penelitian di Turki dan diterbitkan di Journal of Pediatric Nursing menyimpulkan, para remaja yang kesepian cenderung lebih berpotensi kecanduan internet. Impaknya, mereka justru merasa cemas, stres, dan depresi. Artinya, kesepian menyebabkan kecanduan internet dan begitu pun sebaliknya: penggunaan internet berlebihan meningkatkan perasaan terasing.
Faktanya memang demikian. Hubungan internet dan kesepian menciptakan paradoks besar: orang-orang yang berkomunikasi melalui media sosial merasa lebih terhubung dengan dunia, tetapi angka kesepian justru terus melonjak. Sepanjang 2012-2019, prevalensi kesepian justru melonjak dua kali lipat pada orang-orang yang paling terkoneksi dengan internet.
Solusi mengatasi kesepian, yang telah diperparah oleh adanya media sosial dan perkembangan teknologi, sebenarnya cukup simpel: berusaha terhubung secara nyata dengan manusia lain. Altruisme juga sangat berimpak besar terhadap keterhubungan antar-manusia.
Mengutip kata-kata Dr. Murthy dalam bukunya, “Jika kita benar-benar merasa ingin menjadi masyarakat sehat dan bahagia, kita harus merestrukturisasi hidup di sekitar hubungan antarmanusia.”
Kita tidak harus mengenyahkan media sosial dan internet sepenuhnya. Merujuk AMA Journal of Ethics (2023), hubungan internet dan kesepian tidak melulu negatif. Hal itu bergantung pada sifat penggunaan dan karakteristik pemakainya.