Belajar Peduli Kesehatan Mental dari Gen Z

Arshinta Rochmatul Laili

3 min read

Generasi Z (Gen Z) kini mulai memegang peran penting di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Mereka sudah ada yang bekerja sebagai guru, kasir, barista dan berbagai profesi lainnya. Hal ini berarti bahwa Gen Z mulai menguasai dunia.

Namun, dibalik kontribusi mereka terhadap kehidupan, Gen Z dijuluki sebagai generasi yang “mental lemah”. Julukan ini muncul karena mereka dianggap mudah menyerah, emosional, dan sering dilanda cemas yang berlebihan. Bahkan Menteri BUMN, Erick Thohir sempat berkomentar kalau generasi ini masih bergantung pada orang tua seakan-akan Gen Z itu lemah, yang mencerminkan kesan seolah-olah mereka kurang tangguh.

Padahal banyak pula generasi lain seperti milenial yang mengandalkan koneksi orang tua untuk memperoleh pekerjaan dengan posisi tinggi. Namun apakah benar Gen Z se-“mental lemah” itu? Sebelum terburu-buru menilai dan menjudge orang lain, ada baiknya kita melihat lebih dekat karakteristik generasi ini.

Setiap generasi memiliki ciri khas masing-masing sesuai dengan kondisi dan situasi dunia di masa mereka tumbuh. Gen Z hidup di era digital yang serba cepat, dengan akses informasi yang melimpah dan tuntutan sosial yang semakin tinggi. Gen Z sering dikritik karena kebiasaan mereka yang kerap membagikan pengalaman pribadi di media sosial. Alih-alih dianggap curhat atau berbagi pengalaman, Tindakan Gen Z ini dipandang sebagai bentuk kelemahan. Jika generasi sebelumnya lebih memilih diam dalam menghadapi tekanan, Gen Z justru lebih terbuka. Mereka tidak ragu untuk mengakui jika sedang merasa depresi, cemas, atau stress. Generasi ini lebih berani membicarakan kesehatan mentalnya, yang mungkin dahulu hal itu dianggap tabu.

Baca juga:

Dulu, kalau berbicara tentang kecemasan atau depresi sering dipandang sebagai aib atau tanda kelemahan. Contohnya pada era ketika waktu ke psikolog dianggap remeh seperti “ngapain kan cuma merasa lelah aja kan?”. Generasi sebelumnya beranggapan bahwa pergi ke psikolog sebagai tanda kelemahan, bahkan dianggap seperti orang gila. Tetapi sekarang hal ini dipandang sebagai langkah penting dalam menjaga kesehatan mental.

Kalau berbicara berdasarkan fakta memang benar Generasi Z mengalami tingkat stress yang paling tinggi. Akan tetapi, bukan berarti Generasi Milenial atau Baby Boomer mempunyai kondisi mental yang oke dan tidak mengalami stress. Sangat mungkin level stress mereka tidak beda jauh dengan Gen Z.

Tidak bisa dipungkiri juga Gen Z hidup di masa yang penuh tekanan. Bayangkan, mereka hidup di era digital yang penuh ekspektasi dari segala sisi. Saat membuka akun media sosial seperti Instagram, X, Tiktok dan lain-lain, semua orang terlihat menujukkan kehidupannya yang sempurna, yang membuat banyak anak-anak dari Generasi Z merasa harus mencapai standar yang tidak realistis. Karena hal itulah yang membuat Generasi Z mengalami kecemasan, merasa tertekan dan berakhir depresi. Jadi tidak heran kalau mereka lebih terbuka untuk berbicara tentang apa yang mereka rasakan.

Bukan cuman itu, mereka juga sering dihadapkan dengan masalah global yang lebih nyata dari generasi-generasi sebelumnya. Mulai dari ketidakstabilan ekonomi, perubahan iklim, sampai pandemi global. Belum lagi kalau mereka berasal dari keluarga yang orang tuanya berpisah atau seringkali disebut dengan istilah broken home. Semua ini membuat mereka harus berhadapan dengan kenyataan yang berat sejak usia muda. Akan lebih berat lagi apabila mereka ini juga sebagai Generasi Sandwich (Sandwich Generation) yang harus menghidupi dan menanggung beban hidup tiga generasi.

Baca juga:

Faktanya di Indonesia sendiri 43% Gen Z itu juga Sandwich Generation. Kalau mereka merasa lebih tertekan dan mengalami cemas berlebih, menurut saya wajarlah karenakan situasinya memang menuntut mereka untuk menghadapi tantangan hidup yang tidak gampang.

Pernyataan bahwa Gen Z masih bergantung pada orang tua juga menarik buat dibahas. Memang benar ada sebagian Generasi Z yang masih bergantung pada orang tua dalam konteks tempat tinggal dan belum mandiri secara finansial. Namun, hal ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Faktor ekonomi jadi salah satu alasan terbesar kenapa banyak  dari mereka masih menumpang dirumah orang tua. Membeli rumah sekarang rasanya sulit sekali, harga properti yang melambung tinggi sementara pendapatan belum tentu sebanding.  Biaya Pendidikan tinggi juga membuat banyak Generasi Z harus berurusan dengan dengan utang pendidikan, itu adalah hal-hal yang membuat mereka lebih lama untuk bisa mandiri secara finansial.

Sementara itu tidak sedikit juga Gen Z yang mempunyai jiwa wirausaha. Mereka lebih kreatif dalam mencari peluang dan seringkali membuat gebrakan baru di ranah digital. Sekarang banyak yang memanfaatkan Tik Tok sebagai media berjualan. Mereka memanfaatkan kemajuan teknologi dengan cara mendaftar sebagai Tik Tok Shop Affiliate. Dengan cara ini mereka bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Jadi mereka tidak sepenuhnya bergantung kepada orang tua setidaknya untuk memperoleh pekerjaan. Mereka ini sedang dalam proses adaptasi terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang tidak sebanding dengan generasi sebelumnya.

Jadi apakah Gen Z benar-benar se-“mental lemah” itu?. Kalau kita lihat lebih jauh, Gen Z sebenarnya justru lebih kuat. Mereka lebih sadar tentang pentingnya kesehatan mental dan tidak takut untuk menyuarakan tentang hal itu. Kalau generasi sebelumnya merasa malu dan ragu untuk menunjukan sisi kelemahannya dan menutup-nutupinya, Gen Z malah menganggapnya sebagai kekuatan.

Keterbukaan mereka tentang kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan melainkan bentuk keberanian. Mereka tidak takut untuk meminta bantuan ketika merasa kewalahan. Dengan terbukanya masalah, Gen Z justru membangun fondasi yang kuat untuk generasi-generasi selanjutnya.

Mereka memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan itu yang mereka perjuangkan. Dan ini sebenarnya adalah hal yang sehat. Kita seringkali lupa bahwa membicarakan kesehatan mental adalah langkah pertama menuju pemulihan dan layak untuk diperjuangkan.

Daripada terus terusan mengkritik negatif tentang generasi ini, mungkin saatnya kita mulai belajar dari Gen Z. Mereka mengajarkan kita bahwa tidak apa-apa bicara soal perasaan tentang apa yang dialami. Tidak apa kita jujur kalau kita sedang lelah atau mengalami kesulitan. Dan yang paling penting, mereka mengingatkan kita bahwa kekuatan itu tidak selalu tentang menahan sakit, tapi juga tentang tahu kapan kita harus istirahat dan merawat diri sendiri.

Intinya sebelum kita terburu-buru menjuluki Gen Z sebagai generasi yang “mental lemah,” ada baiknya kita berpikir ulang. Mereka adalah generasi yang lebih peka, lebih peduli, dan lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Di tengah tekanan hidup yang semakin besar, Gen Z tampil sebagai generasi yang tidak takut menghadapi tantangan dengan cara mereka sendiri. Dan mungkin kita semua bisa belajar dari bagaimana cara mereka melihat dunia. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Arshinta Rochmatul Laili

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email