Kau tiba di rumah menjelang sore. Senja berlabuh di barat dengan muram.
Ketika purna kau menutup pintu, menyelot kuncinya, dan mematikan lampu di ruang tamu, kau segera menyadari bahwa dunia di luar sana begitu berisik dan melelahkan. Membuatmu kewalahan dan ingin segera menyelesaikan semua pekerjaanmu di hari itu selekas mungkin. Melupakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah kaucintai. Hari-hari yang terasa begitu lambat.
Seseorang yang mendaku dirinya penyair, pernah mengirimkan sebuah puisi kepadamu melalui sebuah pesan singkat. Ia mencoba memahami kondisimu dari kejauhan. Puisi itu, setidaknya dapat menghiburmu. Kau menyukai puisi itu, menyalin ulang, dan menempelnya tepat di samping pintu.
Setelah Menutup Pintu
Semesta lain, yang lunak
mendekatimu.
Dan kau bertanya,
bagaimana kesedihan
terhapus dalam tiga ketukan.
Sunyi sebentar
—lalu pecah.
Sebuah benda, melayang
menyimpan airmatamu
kepada tiang kayu.
2024
Kau tidak merasa baik-baik saja ketika harus terlibat dalam sebuah obrolan panjang. Kau kerap merasa tak nyaman, dan terus berpura-pura menyimak pembicaraan. Orang-orang gemar menilai, membubuhkan rasa bangga, serta cerita-cerita yang dikisahkan berulang seperti mesin perekam. Di ruangan itu, keletihan dengan cepat meringkusmu, mengajakmu untuk segera menyisih, meninggalkan mereka. Sebuah alasan, yang terkesan dibuat-buat, sudah cukup mendiktemu untuk segera pulang dan bermalas-malasan.
Setiap pagi, kau disibukkan dengan perkara melakonkan sebuah drama dan memilih topeng baru. Kau tak pernah benar-benar menyukai rutinitas itu. Kau memastikan senyum yang kaulatih bertahun-tahun tidak tertinggal di dalam cermin. Kau mesti mengenakan seragam tertentu, dengan warna dan model yang telah diatur, yang layak dan wangi, yang sesuai dengan identitasmu sebagai ‘sosok yang bukan dirimu’ untuk kautampilkan dan kauperankan di hadapan orang lain.
***
Kau merayakan seisi kamarmu. Kamar yang memuat sebuah kursi dan meja, dirayapi sunyi dan sedikit cahaya; hanya deru kipas angin dan lampu belajar. Di situlah kau leluasa memeluk kesendirianmu dan sekaligus mencemaskannya. Kau sedikit terhibur dengan tayangan komedi yang semalam lebih dulu tayang di televisi, lalu rutin diunggah di kanal youtube setiap pukul enam pagi.
Kau begitu amat mencintai kamarmu. Sungguh.
Selain itu, bukan hal yang aneh bagimu berbicara sendiri. Ada sosok lain dalam dirimu, yang cerewet dan rewel, yang suka sekali mengajakmu berdebat mengenai hal-hal remeh. Sosok itu pernah mengeluhkan bahwa ada seekor anak gajah yang mengobrak-abrik kamar mandimu. Di lain waktu, ia melaporkan bahwa ketika kau tidur, ada segerombolan kunang-kunang yang mengitari tubuhmu.
Dan baru semalam, ia memusingkanmu dengan sebuah pertanyaan, “Apakah bunuh diri bisa dilakukan dengan cara menahan napas selama sepuluh menit?” Semula, kau merasa sangat terganggu dan tak banyak mempedulikannya. Hingga akhirnya kau menjadikan segala macam persoalan itu sebagai hal yang wajar, demi mengatasi kesepianmu.
***
Belakangan ini, kau mengalami semacam gangguan tidur. Ada kegelisahan yang diam-diam menyusup, menghantui kepalamu tanpa sebab, dan kau tak mengerti itu merupakan kegelisahan jenis apa. Jam tidurmu menjadi sangat kacau, sirkadian yang berantakan. Seperti melawan kodrat alam. Dari kekacauan tak berbentuk itu sudah cukup merusak agenda kerjamu, juga perasaanmu, keesokan harinya.
Kau meringkas mandi dengan menyabuni seluruh tubuh dan sikat gigi sekaligus, mengenakan seragam dan minyak wangi, menarik pedal gas motor layaknya pebalap kesetanan, lalu tiba di kantor guru 3 menit sebelum batas waktu terlambat. Kau bekerja, mengajar para murid beberapa hari ini, dengan kantuk yang masih menggelayuti mata. Dan kau berusaha menepis sekadarnya dengan membasuh wajahmu setiap pergantian mata pelajaran.
Malamnya, kau sungguh tak mengerti. Mengapa justru terulang lagi. Kau berusaha tidur sebagaimana upaya manusia normal lainnya. Kau mengawalinya dengan mematikan lampu kamar, merebahkan tubuh yang kesepian, menata letak bantal dan menarik selimut, dan seketika itu kau mendadak dilanda kecemasan. Sialan betul, pikirmu. Kedua matamu, yang tak simetris itu, menolak terpejam. Pada akhirnya, kau hanya menatap kosong langit-langit kamar. Memikirkan sesuatu, entah apa.
Kau pun mulai menerka, membaca dirimu sendiri. Kau tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Barangkali kau ingin bercerita, mengatakan segalanya, tetapi kau merasa tidak mungkin. Dan kau lebih memilih merawat kecemasan itu. Selamanya.
***
Kesunyian, kau harus tahu, tidak selamanya menyakitkan. Percayalah dan buktikan. Ketika kau menutup pintu kamarmu dan menguncinya, semesta yang teduh seolah menyambutmu. Kau sudah lama tinggal sendiri, jauh di sebuah kota yang selalu sibuk, sedang kedua orang tuamu pun tidak pernah benar-benar peduli. Setidaknya, hal itu berdampak baik, pikirmu. Kau tak menjadi beban mereka di usiamu yang nyaris kepala tiga, dan lagi pula kau tak ingin banyak didikte seperti anak kecil.
Di kamarmu, kau memiliki dirimu seutuhnya. Kau bisa melakukan apa saja yang kausuka tanpa harus terikat nilai moral manusia lain; membenamkan separuh harimu lebih lama di kasur, tanpa melakukan apa-apa, dan tak seorang pun yang menghardikmu sebagai pemalas. Toh, lebih baik menjadi pemalas dan eksis, daripada harus mengakhiri hidup karena kesedihan hebat yang kaurasakan belakangan ini, bukan?
Dengan kesadaran yang baik, kau meraih gawai pintarmu dan memilih sebuah aplikasi pemutar musik, lalu kau mulai menyusun daftar lagumu sendiri, memutar lagu kesukaanmu. Memang, kau tidak begitu menyukai musik yang keras dan memekakkan telinga. Kau belum sepenuhnya mengerti, mengapa ada sebagian orang yang merelakan telinganya sakit dengan aliran hard rock, misalnya. Tetapi, kau tak ambil pusing dan tak ingin pula menghakimi.
Kau memilih lagu yang lebih tenang. Mengalun, naik dan turun. Dere, Yura Yunita, dan Raisa Anggiani merupakan daftar teratas yang sering kauputar. Suara lembut mereka cukup menenangkan. Ketika earphone kaukenakan, ada dunia lain seolah menyergapmu. Kau pun dapat memaknai lagu mereka lebih dalam, lirik ke lirik, dan terkadang air matamu menghambur tanpa sebab yang pasti. Entah lirik bagian mana, atau lompatan ritme di sebelah mana, yang kemudian meletupkan seisi perasaanmu.
Masih lekat dalam ingatan, sebuah lagu Beranjak Dewasa yang dinyanyikan Nadin Amizah, yang kaudengarkan empat tahun lalu, adalah lagu yang mula-mula membuat seisi dadamu pecah.
Kita beranjak dewasa / Jauh terburu seharusnya / Bagai bintang yang jatuh
Jauh terburu waktu / Mati lebih cepat / Mati lebih cepat.
Kau mengulang lagu itu, lagi dan lagi, entah sudah berapa kali. Kau merasa menjadi bagian tokoh ‘kita’ yang sungguh ironi dalam lagu itu. Kau tak ingin menafikan kondisimu. Barangkali menjadi dewasa dan mengalami kesepian merupakan jalan panjang yang kaupilih. Lingkaran pertemanan yang semakin terbatas. Kesibukan pekerjaan yang memaksamu untuk terus bertahan setiap bulan. Kau terus menguatkan dirimu dengan afirmasi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Betapa pun, setiap perasaan haru yang menderamu, kau selalu berupaya untuk dapat memaknainya.
Kesunyian, sedalam bagaimana pun, semoga tetap kaukasihi.
*****
Editor: Moch Aldy MA