Pada pembukaan HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ke-52, Megawati menyampaikan bahwa hubungan dirinya dengan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto tidak ada masalah. Akan tetapi banyak pihak mengatakan bahwasanya hubungan keduanya berjarak. Terlebih setelah hasil Pemilu yang di menangkan oleh Prabowo-Gibran disinyalir banyak kejanggalan dan pengerahan aparat secara masif yang dilontarkan oleh politisi PDI-P termasuk Megawati sendiri.
Namun, terdapat momen langka usai sesi pidato politik dalam rangkaian HUT PDI-P ke-52 itu. Salah seorang politisi senior, Sidarto Danusubroto menghampiri Megawati seraya menyampaikan pesan yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Puan Maharani dengan gestur mulut yang mengatakan, “Ma, pak Prabowo ingin bertemu mama”.
Dalam program Rossi Kompas TV, saat Sidarto diundang sebagai narasumber membenarkan isi pesan tersebut. Sebab dirinya memang beberapa kali ditemui oleh orang utusan Prabowo yang menginginkan adanya pertemuan dengan Megawati agar dapat segera terlaksana.
Hubungan Panjang Megawati – Prabowo
Baik Megawati ataupun Prabowo memiliki sejarah hubungan yang panjang. Hal itu bermula saat Megawati menjadi Presiden RI. Ia memanggil pulang Prabowo yang kala itu mengasingkan diri ke Jordania pasca pemecatannya ketika orde baru tumbang.
Pada saat Pemilu 2009, Megawati dan Prabowo maju sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden menantang kandidat petahana SBY-Boediono dan JK-Wiranto, walaupun akhirnya kalah. Hubungan panjang tersebutlah yang menjadikan keduanya dekat dalam dunia perpolitikan nasional.
Meskipun pada akhirnya di Pemilu 2024 mereka saling berseberangan. Keduanya menjadi musuh politik dengan Prabowo memilih bersekutu pada Jokowi yang memajukan anaknya menjadi Wakil Presiden.
Politik Nasi Goreng
Setelah Pemilu usai dengan dimenangkannya pasangan Prabowo-Gibran serta berbagai drama politik dan manuver Jokowi, beberapa kali utusan Prabowo mencoba untuk mendekati PDI-P. Bahkan Puan Maharani sudah beberapa kali tertangkap mengadakan pertemuan tertutup dengan Prabowo dan utusannya yang menginginkan adanya proses rekonsiliasi politik.
Hingga sekarang, sikap PDI-P masih menjadi oposan Prabowo dengan kerap kali kadernya melayangkan protes dan kritik keras terhadap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Bagaimanapun juga, PDI-P masih seksi bagi Prabowo secara kalkulasi politik setelah keluar menjadi partai pemenang Pemilu legislatif.
Demi terciptanya kondusifitas parlemen dan keberjalanan program selama lima tahun mendatang, mengunci PDI-P masuk kabinet menjadi suatu keharusan yang akan dilakukan oleh Prabowo meskipun pertemuan dengan Ketua Umum PDI-P yaitu Megawati Soekarnoputri masih urung juga terlaksana. Baik utusan Prabowo dan Megawati sudah beberapa kali menjajaki kemungkinan pertemuan keduanya, namun nampaknya PDI-P masih banyak berhitung terkait dengan kemungkinan politik yang akan terjadi sebelum menentukan sikap untuk menjadi oposisi atau bergabung dengan koalisi pemerintahan.
Baca juga:
Politik nasi goreng yang merujuk pada kesukaan Prabowo untuk menyantap masakan Megawati menjadi kode yang terus muncul. Hal itu sebagai respon keinginan Prabowo sesegera mungkin bertemu dengan Megawati untuk membahas berbagai skenario politik yang dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Hambatan Pertemuan Megawati-Prabowo
Belum terlaksananya pertemuan antara Megawati dan Prabowo oleh banyak pihak dinilai sangat berkaitan dengan masih mesranya hubungan Prabowo dan Jokowi. Mengingat sebelumnya, PDI-P telah memecat Jokowi dan keluarganya dari keanggotaan partai berlogo banteng tersebut dengan dalih terlibat aktif dalam proses pengutak-atikan konstitusi demi memuluskan ambisi anaknya menjadi Wakil Presiden.PDI-P masih menganggap kekuasaan Prabowo belum sepenuhnya lepas dari pengaruh Jokowi yang hingga sekarang masih berkonflik dengan partai yang dipimpin oleh Megawati tersebut.
Selain itu, pasca pemecatan yang dilakukan PDI-P terhadap Jokowi dan keluarganya, Hasto Kristiyanto langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) yang menjerat Harun Masiku. Terlebih, bulan April mendatang PDI-P akan melangsungkan kongres yang didalamnya ada agenda pemilihan Ketua dan Sekretaris Jenderal. Megawati dan internal partai masih membaca bahwa Jokowi masih akan terlibat dalam mengganggu keberjalanan kongres melalui orang – orang yang hingga kini masih menghamba pada tuah Jokowi.
Baca juga:
Tentu dengan melihat hal tersebut, PDI-P masih melakukan tarik ulur kepentingan sekaligus mengetes keseriusan Prabowo untuk mengakomodir kepentingan partai berlogo banteng tersebut. Termasuk di dalamnya melepas pengaruh Jokowi yang hingga sekarang masih terlihat sangat kuat.
Menguji Keberpihakan PDI-P
Hingga sekarang, PDI-P masih menjadi partai satu – satunya yang berada diluar Pemerintahan. Hal ini tentu sangat bagus jika dilihat dari aspek demokrasi karena perlu adanya penyeimbang kekuasaan atau check and balances yang mampu untuk memastikan segala keputusan yang diambil oleh Pemerintah berpihak pada kepentingan rakyat.
PDI-P pun juga sebelumnya pernah mempunyai sejarah panjang sebagai oposan pemerintah seperti sepuluh tahun berada diluar Pemerintahan SBY. Namun, dengan kecenderungan pragmatisnya partai politik hari ini menyisakan keraguan publik.
Sebagai pemenang Pemilu legislatif, PDI-P memegang posisi strategis di parlemen sehingga daya tawar yang diberikan sangat besar ditambah beberapa kadernya sangat keras dan bertipikal penyerang. Tentu publik sangat berharap di dalam parlemen masih terdapat penyeimbang yang mampu menekan pemerintah.Sebab apabila proses check and balances tidak terjadi, maka setiap keputusan pemerintah akan dapat dengan mudah disetujui meskipun merugikan rakyat banyak.
Dengan ideologi marhaenisme dan partai yang selalu mengasosiasikan diri terhadap kepentingan wong cilik tentu patut dinantikan keteguhan pilihan yang akan diambil. Apakah PDI-P akan tetap diluar Pemerintahan dengan semangat kontrol dan check and balances atau justru berkompromi dengan kepentingan penguasa dan menghianati ideologinya sendiri. (*)
Editor: Kukuh Basuki