‘Lame Duck’ dalam Kancah Politik Indonesia

Ilham Oktafian

2 min read

Joko Widodo sempat diramal bakal terjangkit ‘Lame Duck’ atau ‘Bebek Lumpuh’, namun hingga beberapa jam jelang berakhirnya kekuasaan, ia masih kokoh menantang para pengkritiknya. Apa yang terjadi? Untuk menjawab pertanyaan besar ini agaknya kita membaca novel One How Over the Cukoo’s Nest-nya Ken Kesey.

Istilah ‘Lame Duck

Meski erat kaitannya dengan politik, istilah ‘Lame Duck’ atau ‘Bebek Lumpuh’ justru datang dari dunia ekonomi. Pada abad 18, istilah ini dipakai untuk menunjukkan pedagang yang gagal membayar tagihannya. Si pedagang yang merugi itu digambarkan berjalan tergopoh-gopoh layaknya bebek lumpuh.

Barulah pada awal abad 19, ‘Lame Duck‘ menyusup ke dunia politik Amerika dengan korban pertamanya: Presiden Calvin Coolidge. Di akhir periode kedua masa jabatannya, Coolidge digambarkan kehilangan kepercayaan. Baik di level publik maupun lingkaran kekuasannya.

Di kemudian hari, Lame Duck bertransformasi menjadi satu sesi krusial di Parlemen. Melalui amandemen 20 tahun 1933, sesi ‘Lame Duck’ dipakai untuk mengadili dosa-dosa presiden di akhir jabatannya. Nama-nama seperti George HW Bush hingga Bill Clinton pernah menjadi korban sesi ‘Lame Duck’.

Di Indonesia, ‘Lame Duck‘ memang tak masuk dalam konstitusi resmi, apalagi tergelar di Parlemen. Namun sejarah mencatat ‘Lame Duck‘ hampir menyasar semua presiden, dari Sukarno, Soeharto, Habibie, Megawati Soekarno Putri sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka kehilangan kendali kekuasaan di akhir kursi pemerintahannya.

Namun, ‘Lame Duck’ tampaknya tak berlaku pada sosok Joko Widodo. Hingga berakhirnya kekuasaan, Jokowi masih kuat. Hal ini dibuktikan dari hasil sejumlah lembaga survei. Indikator Politik misalnya, mereka mencatat tingkat kepuasan masyarakat masih berada di angka 74%, berbanding cukup jauh dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya memegang sekitar 50% survei kepuasan masyarakat. Bahkan, teranyar Survei LSI Denny JA menyebut 80,8% masyarakat puas dengan kinerja presiden Jokowi.

Padahal, dalam setahun terakhir Jokowi terus dihantam dari berbagai penjuru dengan segala kontroversi kebijakannya. Keputusannya memajukan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka hingga gosip otak-atik koalisi besar untuk ‘menghukum’ PDI Perjuangan seolah berbanding terbalik dengan angka-angka kepuasan publik yang terpotret dari hasil survei.

Maka, benarkah teori ‘Lame Duck‘ hanya mitos bagi Jokowi? Untuk menjawab pertanyaan ini agaknya kita perlu membaca novel One How Over the Cukoo’s Nest-nya Ken Kesey.

Menolak Bebas

Secara umum. novel One How Over the Cukoo’s Nest menceritakan tentang kehidupan para pasien di sebuah rumah sakit jiwa. Sekumpulan pasien itu diawasi dengan ketat oleh seorang totalitarian bernama Big Nurse atau Perawat Besar. Digambarkan, Perawat Besar merupakan sosok yang manipulatif, licik dan tiran. Ia menerapkan sejumlah aturan yang membuat pasien tunduk. Singkat cerita, si pahlawan di novel itu, M.C Murphy, mencoba membebaskan mereka dengan menghapus aturan-aturan ketat. Para pasien pun bebas.

Namun, dalam pembebasan itu, semua pasien tak mampu menjadi pribadi yang bebas. Pada akhirnya mereka takut pada dunia luar dan memilih terkungkung dalam pengaruh Perawat Besar.

Barangkali, para pasien di novel Ken Kesey adalah potret mayoritas masyarakat kita sulit lepas dari pengaruh totalitarian dalam skala tertentu di rezim Jokowi. Fakta tersebut sulit dikesampingkan mengingat pemerintahan yang totaliter justru tumbuh subur oleh tradisi totalitarianisme di masa lampau. Persis seperti rezim komunis Uni Soviet yang punya umur panjang karena tradisi totalitarianisme sebelum Bolshevisme.

Baca juga:

Tradisi kerajaan di masa lampu yang bergaya feodal dan totaliter rasanya masih mengakar kuat di masyarakat. Tampaknya, ada semacam kepercayaan bahwa negara akan tenteram apabila dipimpin seorang raja. Entah nanti akan menghabisi para pemberontak maupun bersiasat licik dengan pejabat kerajaan, nyatanya tak ada sejarah yang menulis kerajaan di masa lampu digulingkan oleh rakyat yang hendak menegakkan demokrasi.

Belum lagi soal dinasti. Kurang tajam apa kritik masyarakat sipil terhadap praktek politik dinasti di berbagai daerah? namun dari tahun ke tahun dinasti tak kunjung tumbang. Bahkan, dalam titik paling ektrem, dinasti kini sudah menjelma menjadi bentuk paling modern: tak perlu anak atau sepupu untuk melanjutkan kekuasaan, seorang pembantu si penguasa sekalipun mampu melanggengkan kekuasaan tiran.

Barangkali, gambaran masyarakat Indonesia sekarang ini adalah kalimat di paragraf terakhir di novel itu: “The big, hard body had a tough grip on life“. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Ilham Oktafian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email