Pernahkah terbayangkan hidup di mana setiap keputusan pribadi—dari hal sederhana seperti mengelola uang hingga menentukan pasangan hidup—diambil alih oleh orang lain? Bagi banyak penyandang disabilitas mental atau intelektual di Indonesia, ini bukanlah skenario imajiner, melainkan kenyataan yang mereka hadapi akibat sistem pengampuan yang sering kali tidak adil dan ketinggalan zaman. Sistem ini, yang seharusnya melindungi, justru kerap menjadi alat yang membatasi kebebasan individu, bahkan memperburuk stigma sosial terhadap mereka yang membutuhkan dukungan.
Sejarah Sistem Pengampuan yang Sarat Stigma
Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata, sebuah produk hukum kolonial yang telah berusia lebih dari satu abad. Dalam pasal ini, seseorang dapat dinyatakan berada di bawah pengampuan jika dianggap “dungu, sakit otak, atau mata gelap.” Terminologi ini, meskipun telah direvisi maknanya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-XX/2022 menjadi “disabilitas mental atau intelektual,” masih menyisakan masalah mendasar. Alih-alih melindungi, sistem ini cenderung meminggirkan penyandang disabilitas dari hak mereka untuk menjalani kehidupan yang setara dengan orang lain.
Salah satu akar masalahnya adalah pendekatan substituted decision-making, di mana wali atau pengampu memiliki kendali penuh atas keputusan-keputusan penting dalam hidup penyandang disabilitas. Dalam praktiknya, pendekatan ini sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan, keinginan, atau aspirasi individu yang bersangkutan. Bahkan, ada kasus di mana pengampuan digunakan untuk menguasai aset atau properti penyandang disabilitas, menjadikannya korban eksploitasi oleh pihak keluarga atau pihak lain yang seharusnya melindungi mereka.
Putusan MK: Langkah Awal yang Masih Belum Cukup
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-XX/2022 menjadi secercah harapan bagi penyandang disabilitas mental atau intelektual. Putusan ini menegaskan bahwa istilah dalam Pasal 433 harus dipahami dalam konteks hak asasi manusia, bukan sekadar label medis yang menghakimi. Namun, implementasi putusan ini masih jauh dari harapan. Hingga kini, banyak hakim di pengadilan yang belum memahami prinsip-prinsip baru yang lebih inklusif ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pelatihan dan sosialisasi mengenai keputusan tersebut, sehingga praktik pengadilan sering kali masih terjebak pada pola pikir lama.
Selain itu, tidak adanya pedoman teknis yang jelas dari Mahkamah Agung membuat pelaksanaan putusan ini sulit untuk diimplementasikan. Dalam banyak kasus, hakim masih cenderung mengadopsi pendekatan konservatif yang tidak sepenuhnya menghormati kapasitas penyandang disabilitas untuk membuat keputusan mereka sendiri. Akibatnya, meskipun ada reformasi di atas kertas, kenyataan di lapangan masih belum berubah.
Menuju Sistem yang Lebih Adil: Pendekatan Supportive Decision-Making
Salah satu konsep yang dapat menjadi solusi adalah supportive decision-making. Berbeda dengan substituted decision-making, konsep ini tidak mengambil alih kendali sepenuhnya dari individu, melainkan mendukung mereka untuk membuat keputusan berdasarkan kapasitas dan kebutuhan mereka. Pendekatan ini telah diadopsi di banyak negara sebagai bagian dari upaya untuk menghormati hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2011.
Misalnya, dalam sistem supportive decision-making, penyandang disabilitas mental diberikan akses ke pendamping atau fasilitator yang membantu mereka memahami pilihan-pilihan yang ada, tanpa memaksakan keputusan tertentu. Dengan cara ini, mereka tetap memiliki kendali atas hidup mereka sendiri, sambil mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang terbaik bagi diri mereka.
Implementasi pendekatan ini membutuhkan reformasi hukum yang komprehensif, termasuk revisi KUHPerdata, pelatihan untuk aparat hukum, dan perubahan paradigma di masyarakat. Pengampuan harus diposisikan sebagai langkah terakhir, bukan solusi pertama. Hanya jika semua upaya dukungan lain gagal, barulah pengampuan dapat diterapkan, itupun dengan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan.
Hak sebagai Warga Negara: Mengembalikan Martabat yang Hilang
Menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental tidak hanya soal reformasi hukum, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang inklusif. Selama ini, label “tidak mampu” yang diberikan kepada penyandang disabilitas sering kali membuat mereka kehilangan martabat dan hak untuk berpartisipasi di tengah masyarakat. Padahal, kondisi mental bersifat episodik—dapat membaik dengan perawatan dan dukungan yang tepat. Dengan sistem pengampuan yang ada, banyak individu yang sebenarnya mampu berkontribusi dipaksa menjalani hidup yang terisolasi, terputus dari keluarga, pekerjaan, bahkan masyarakat luas.
Penting untuk diingat, hak-hak penyandang disabilitas mental bukanlah sesuatu yang diberikan sebagai belas kasihan, melainkan bagian dari hak asasi manusia yang melekat. Jika sistem hukum kita terus mempertahankan paradigma yang tidak adil ini, kita tidak hanya gagal melindungi mereka, tetapi juga gagal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.
Maka, reformasi sistem pengampuan bukan sekadar isu teknis hukum, tetapi panggilan moral bagi kita semua. Sudah saatnya penyandang disabilitas mental tidak lagi diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, melainkan sebagai individu yang setara, bermartabat, dan memiliki hak yang sama untuk menjalani hidup sesuai keinginan mereka sendiri. ***