Usulan agar perguruan tinggi ikut mengelola tambang merupakan upaya penundukan atas institusi pendidikan. Setelah organisasi keagamaan (NU dan Muhammadiyah) diberi jatah tambang, pemerintah juga ingin mencengkeram perguruan tinggi yang terhitung lantang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah.
Independensi Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan yang luhur dan istimewa. Tujuan perguruan tinggi ialah melahirkan para intelektual yang akan mengabdi kepada masyarakat dan bertanggung jawab untuk memajukan bangsa.
Sejatinya, Indonesia telah memiliki konsep ideal mengenai arah pendidikan. Kita mengenalnya sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Konsep ini mengandung 3 pilar, yakni (1)Pendidikan dan Pengajaran, (2)Penelitian, dan terkahir, (3) Pengabdian kepada Masyarakat.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, perguruan tinggi harus menjadikan Tri Dharma tersebut sebagai Elan Vitalnya. Artinya, segala kegiatan Perguruan Tinggi yang dilakukan di luar pilar-pilar tersebut, akan mencoreng tujuan perguruan tinggi.
Oleh karena itu, ada satu prinsip penting dan pokok yang patut dipegang oleh perguruan tinggi, yaitu independensi. Independen bukan berarti netral. Independensi adalah sikap yang dilandasi oleh kemerdekaan mewujudkan tujuan dan senantiasa berpihak kepada kebenaran.
Jika tujuan dari perguruan tinggi adalah mendidik, mengabdi, dan memajukan bangsa, segala intervensi dan kepentingan lain khususnya di luar tujuan tersebut harus dibuang jauh-jauh, termasuk kepentingan ekonomi dan politik praktis.
Baca juga:
Dalam Magna Carta Universitatum, dokumen yang diterbitkan pada tahun 1988 di Bologna sebagai referensi nilai dan prinsip dasar perguruan tinggi di seluruh dunia, perkara independensi ini dinyatakan dengan jelas:
“Universitas adalah sebuah institusi otonom yang berada di jantung masyarakat yang terorganisir berdasarkan geografis dan warisan sejarah; universitas menghasilkan, memeriksa, menilai, dan mewariskan budaya melalui penelitian dan pengajaran. Untuk memenuhi kebutuhan dunia di sekitarnya, penelitian dan pengajarannya harus bebas secara moral dan intelektual dari segala otoritas politik dan kekuasaan ekonomi.”
Neoliberalisasi Pendidikan di Indonesia
Dari beberapa pernyataan pemangku kebijakan yang menyetujui keterlibatan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi, usulan ini diajukan untuk membantu kampus dalam pendanaan. Dengan begitu perguruan tinggi nantinya tak perlu bergantung lagi kepada negara soal urusan dana. Selain itu, hak pengelolaan tambang ini dapat membuka lapangan kerja baru, khususnya bagi para mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya.
Jika kita tilik lebih dalam, apa yang disampaikan oleh pihak pemangku kebijakan di atas tak lain adalah pengejawantahan praktik neoliberalisme di perguruan tinggi di Indonesia. Negara seakan ingin menceburkan perguruan tinggi dalam mekanisme pasar dengan melakukan privatisasi.
Dampak buruk dari praktik ini adalah institusi pendidikan pada akhirnya melenceng dari fungsi vitalnya sebagai produsen intelektual yang berorientasi mencerdaskan dan memajukan bangsa. Alih-alih melahirkan para intelektual, neoliberalisasi pendidikan malah menciptakan para tenaga kerja baru guna memenuhi kebutuhan pasar dan industri.
Bila Kampus Ikut-ikutan Kelola Tambang
Benarkah keikutsertaan perguruan tinggi dalam mengelola tambang dapat menujang pendanaan kampus? Dan bila hal tersebut terealisasi, mungkinkah UKT yang dibebankan kepada mahasiswa akan menurun? Atau justru ada tujuan-tujuan terselubung lainnya dalam usulan tersebut?
Baca juga:
Tentunya, kita tak dapat serta merta memercayai rencana tersebut. Terlebih iming-iming pendanaan kampus dan uang kuliah murah ini keluar dari mulut para pejabat negara yang sudah kita ketahui kualitasnya. Berapa banyak janji-janji yang mereka obral ketika masa kampanye tak dijalankan dengan baik atau bahkan tak ditepati sama sekali.
Selain itu, kita perlu paham bahwa industri ekstraktif seperti pertambangan memilki pengaruh yang sangat besar bagi perusakan alam. Jika perguruan tinggi ikut-ikutan mengelola tambang, artinya perguruan tinggi juga ikut serta dalam praktik perusakan alam. Sebagai institusi akademik yang sepatutnya memegang teguh prinsip dan moral intelektual, perguruan tinggi seharusnya memberikan inovasi untuk menemukan sumber daya alternatif yang lebih ramah lingkungan, bukan sebaliknya.
Pihak kampus yang menyatakan setuju untuk ikut menambang pun perlu sadar bahwa pengelolaan tambang bukanlah hal yang mudah. Industri model ini memerlukan tak hanya dana yang besar, tetapi juga pengalaman dan kemampuan pengelolaan yang mumpuni. Jika perguruan tinggi terlalu fokus dalam pengelolaan tambang, bagaimana jadinya keadaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang menjadi pilar perguruan tinggi? Hal ini tentunya akan memecah fokus kampus itu sendiri.
Selanjutnya, yang perlu ditinjau lebih dalam lagi, iming-iming tambang ini tak lain merupakan bentuk penundukan pemerintah terhadap perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang kita kenal sebagai ruang akademik yang bebas dan sebagai evaluator kebijakan pemerintah, perlahan-lahan akan dijinakkan. Idependensi perguruan tinggi pun pada akhirnya akan hilang.
Dalam keadaan negara yang sedang kacau, saat di mana para pemimpin mengidap krisis moral, praktik korupsi yang menjamur dimana-mana, hingga pelemahan partisipasi publik dalam menentukan dan mengawasi kebijakan, perguruan tinggi menjadi semacam benteng pertahanan terakhir. Bila benteng tersebut roboh, negara dan bangsa ini akan mengalami bencana hingga menemui kehancuran yang tentu tidak kita inginkan.
Editor: Prihandini N