Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer

M. Ghaniey Al Rasyid

2 min read

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan nasional yang namanya memiliki pelbagai tafsir. Bagi penikmat sastra mafhum bakal mengendus manis namanya. Namun di beberapa sisi banyak yang menampik dan menuduh sinis Pram. Tak banyak dapat mengenal Pram. Aku pun mengenal Pram setelah lulus dari sekolah menengah. Mulai dari itu, nama Pram mengalir cukup deras di beberapa tempat lawatan diskusi hingga tukar opini di media sosial sampai koran.

Pram tahun ini menginjak usia satu abad. Meski raganya telah tiada, namanya tetap bersinar. Pelbagai karya-karyanya itu sebagai lentera nan cerah menarik banyak mata agar tetap mengenal Pram. Ia sastrawan yang berbeda dengan lainnya. Kurang lebih seperti itu aku mengingat sayup-sayup seseorang yang mengenakan pin pijar merah bersuara dihadapan pengunjung saat diskusi, meski curiga merambat, ‘apakah pengoceh itu benar betul membaca karya-karya pram?’ Langka buka main karya gubahan Pram. Tak hanya itu, apabila muncul di pasaran, harganya tinggi bukan main.

Pram sarat dengan perjuangan. Sepanjang hayatnya ia mencicipi hampir seluruh fase keberjalanan republik. Masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde lama, Orde Baru dan Reformasi. Lengkap sudah pram mencecapnya. Meski demikian, perjalanan hidupnya tak semanis apa yang kita kira. Aral melintang nestapa mengguncang Pram. Namun, Pram menghadapinya dengan gigih.

Baca juga:

Majalah Tempo, 10 Februari 2008 berjudul ‘Di Mata Para Seteru,’ terpampang Pramoedya yang renta. Memakai sarung, kaos oblong lengkap dengan tongkat, tengah duduk dengan senyum terang. Foto itu tersirat di majalah itu setelah dua tahun kepergian Pram di dunia nan fana ini.

Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengirimkan surat kepada Pramoedya sebelum keluar dari penjara yang lamanya kurang lebih empat belas tahun. Soeharto menyatakan kekhilafan adalah wajar. Maka kewajaran itu mesti dilanjutkan dengan kewajaran berikutnya, yaitu; kejujuran, keberanian dan kemampuan menemukan jalan yang benar.

Angin segar kebebasan setelah dipaksa meringkuk di bui tanpa mengetahui apa kesalahannya, Pram membalas surat sang Presiden dengan tabah. “Orang tua mendidik saya untuk mencintai kebenaran, keadilan, keindahan dan nusa bangsa…”

Pram lekat dengan ‘seteru’. Dari waktu ke waktu Pram tegas dalam bersikap. Ajip Rosidi teman baik Pram merekam bagaimana idealisnya seorang Pramoedya. Dalam Mengenang Hidup Orang Lain (KPG, 2010), Ajip mengajak pembaca agar mengenal lebih dekat sosok Pram.

Pram berurusan dengan keterbatasan bahkan kemiskinan. Penulis sekaliber Pram pernah pula menderita gara-gara tulisannya tak pernah dimuat di majalah ataupun surat kabar lainnya. Kondisi demikian membikin situasi perekonomiannya terganggu. Hidup yang bersandar pada honoranium itu berakhir pelik. Ia digembreng oleh mantan istrinya hingga berakhir perceraian, meskipun akhirnya dipertemukan oleh istri yang menemani sampai akhir hayat –Maimunah Thamrin.

Pelik-pelik honorarium itu membuka pintu seteru. Bukan hanya seteru internal rumah tangga pribadi Pram. Akan tetapi perihal siapa yang membantu Pram untuk mengatasi perekonomiannya yang pincang. Menurut Ajip, di saat karya-karya Pram mulai dibatasi di Balai Pustaka ataupun Penerbit Pembangunan, pemasukan Pram semakin menyusut.

Pram kemudian berkenalan dengan A.S Dharta Sekertaris Jendral Lekra yang membantu Pram untuk menerjemahkan buku Maxim Gorky berjudul ‘Ibunda’ guna mengatasi keuangannya yang pincang. Tak hanya itu, Pram pun difasilitasi oleh Lekra untu melakukan lawatan-lawatannya ke beberapa negara seperti China ataupun Rusia.

Di saat situasi amat sulit, kedekatan Pram dengan kelompok itu terendus oleh beberapa kelompok yang kurang bersepakat. Soedjatmoko yang pada masanya menjadi pemimpin Penerbit Pembangunan mulai mengurangi karya-karya Pramoedya meskipun beberapa judul pernah dimuat dalam penerbit itu. Adalah Tikus dan Manusia, Keluarga Gerilja, dan Subuh.

“Pram itu individualis yang niscaya tidak cocok dengan paham komunis sama rata-sama rasa. Meskipun Pram pernah membuat uraian panjang-lebar tentang paham seni kamu komunis yang disebut realisme sosialis, namun kalau kita simak karya-karyanya, tak ada satu pun yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai realisme sosialis.” (Ajip Rosidi, Mengenang Hidup Orang Lain, Hlm. 08).

Pendapat Ajip Rosidi selaras dengan apa yang dipikirkan oleh Prof. Dr. A. Teeuw. Ia menganggap bahwa karya-karya Pram tak mengandung unsur realisma sosialis. Meski demikian, waktu mengarahkan Pram untuk berjalan lebih jauh. Ia kemudian memantik dinamika untuk memperbincangkan sastra lebih mendalam.

Hingga hari ini kita memandang Pram adalah bagian dari ‘villain‘ dalam  sejarah sastra kita. Meskipun Pram telah menyuguhkan pelbagai karya-karya penting bagi penikmat sastra di Indonesia. Kepiawaian Pram dalam menulis sempat mengetuk Stockholm agar memberikan penghargaan Nobel di bidang Sastra, walaupun semuanya berakhir dengan mimpi.

Dalam secarik laporan Tempo, 10 Februari 2008, Pram setelah bebas dari Pulau Buru (1979), hidupnya tetap diawasi oleh telik sandi yang berjaga-jaga di rumahnya. Meski sudah dinyatakan bebas, nama Pram terus diwanti-wanti bagi kelompok tertentu.

Pram sang pendekar pena menjajaki usia seratus tahun. Namanya bakal terus dikenang disamping seabrek karyanya yang masih tetap hidup. Siapapun boleh menilai namun bisa pula kita meyakini, bahwa Pram juga bagian dari Republik yang membacanya tanah kelahirannya dari sisi Pram sendiri. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Penulis Lepas dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta

One Reply to “Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email