Pada akhirnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) memberi dukungan terhadap kebijakan kontroversial Jokowi soal tambang.
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 ini memberikan karpet merah kepada ormas keagamaan untuk memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Aturan ini memberikan keleluasaan bagi ormas keagamaan dalam operasi pertambangan secara signifikan.
Respons ini sejatinya tidak mengherankan mengingat kuatnya dorongan dari sebagian besar PHDI se-Indonesia untuk menerima tawaran tersebut. Situasinya semakin mendukung tatkala ormas keagamaan, khususnya PHDI, secara finansial masih bergantung kepada para donatur.
Dalam sejarahnya PHDI lahir dengan semangat untuk ngayah, bekerja tulus ikhlas dalam menuntun dan membimbing umat untuk mencapai kesejahteraan lahir batin dan mewujudkan kebahagiaan umat berbasis filosofi Tri Hita Karana. Namun, nyatanya, kerja-kerja kolektif tersebut tetap membutuhkan biaya. Apalagi, umat Hindu tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dihadapkan dengan situasi ini, izin tambang sudah tentu menjadi tawaran yang menggiurkan.
Baca juga:
Politik Patron
Dalam lanskap sosial-politik Indonesia, ormas keagamaan adalah kelompok penting dan strategis. Peran ormas keagamaan sangatlah besar dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa, bahkan sebelum Indonesia tiba di pintu gerbang kemerdekaan. Tidak hanya itu, ormas keagamaan memiliki pengikut yang terbilang tidak sedikit. Berangkat dari hal tersebut, timbulnya dugaan bahwa kebijakan ini sarat akan kepentingan politik menjadi masuk akal.
Banyak yang percaya bahwa langkah melibatkan ormas keagamaan dalam aktivitas tambang adalah upaya pemerintah untuk memperkuat otot-otot kekuasaan di luar pemerintahan. Langkah ini juga menjadi penting dalam rangka menanam pengaruh kepada ormas keagamaan sekaligus menjamin keberlangsungan agenda-agenda besar politik Jokowi, salah satunya adalah Ibu Kota Nusantara (IKN).
Tidak hanya berhenti di sana, dukungan yang diberikan oleh ormas keagamaan kepada pemerintah secara tidak langsung menjadi bentuk validasi terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan. Kemudahan akses terhadap tambang kepada ormas keagamaan oleh sebagian besar publik diduga kuat adalah bagian dari ungkapan “terima kasih” pemerintah.
Alih-alih menguatkan independensi, karpet merah yang disediakan pemerintah dalam mengakses operasi pertambangan justru merongrong independensi ormas keagamaan. Kebijakan ini berpotensi menjebak ormas keagamaan dalam relasi patron-klien. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (baca: patron) harus dibayar mahal oleh ormas keagamaan (baca: klien) dengan mendukung seluruh kebijakan sang patron.
Kehadiran ormas keagamaan di tengah industri ekstraktif seperti tambang ini memperbesar potensi keterlibatan mereka dalam konflik-konflik horizontal. Nyatanya, sampai hari ini, pertambangan adalah usaha yang selalu menimbulkan konflik, baik lingkungan maupun terhadap warga lokal. Maka, etiskah bila PHDI menjadi bagian langsung dari konflik tersebut?
Potensi Konflik
Apabila PHDI secara kelembagaan benar-benar menerima tawaran ini, maka majelis tertinggi umat Hindu harus berhadapan dengan pelbagai potensi konflik. Usaha ekstraktif seperti pertambangan dikenal sebagai aktivitas yang penuh dengan tantangan. Setidaknya terdapat tiga potensi konflik yang akan dihadapi, yakni lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aktivitas pertambangan selalu menimbulkan masalah lingkungan. Penggundulan hutan, turunnya kualitas udara, dan terbengkalainya lubang sisa aktivitas pertambangan adalah tiga dari sekian banyak masalah lingkungan yang ditimbulkan. Terlalu banyak korban jiwa akibat sisa-sisa lubang tambang yang ditinggalkan tanpa rasa tanggung jawab. Perbaikan kualitas kawasan tambang seolah-olah menjadi hal yang tidak penting setelah mineralnya telah ludes tereksploitasi. Tidak adanya kesadaran merevitalisasi kawasan bekas tambang sama saja dengan mengancam kehidupan warga sekitar.
Potensi terjadinya konflik horizontal juga sulit untuk dihindarkan. Aktivitas pertambangan akan bersinggungan langsung dengan kehidupan warga sekitar. Perubahan kehidupan sosial dan budaya yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pun tidak bisa dihindarkan. Pemahaman yang minim terhadap culture warga sekitar kawasan tambang berisiko meletuskan konflik horizontal yang berpotensi menimbulkan korban luka maupun jiwa.
Baca juga:
Meski dianggap telah memberi kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa, nyatanya bidang pertambangan memberi ruang bagi terkonsentrasinya keuntungan ekonomi di tangan segelintir elit. Potensi lahirnya elit-elit baru di dalam tubuh majelis justru memantik lahirnya konflik baru. Alih-alih keuntungan terdistribusi merata kepada umat, potensi salah urus dengan munculnya kantong-kantong baru yang siap menampung keuntungan dari usaha tambang menjadi ancaman yang tidak bisa dianggap remeh.
Sebagai majelis tertinggi yang selalu menghidupkan semangat ngayah dalam rangka memajukan kehidupan umat Hindu di Indonesia tanpa mengejar keuntungan finansial, PHDI berpotensi bertemu dengan sebuah kontradiksi yang pasti akan menuntut penjelasan yang tuntas. Apabila PHDI tidak menemukan formula untuk menegasikan kontradiksi tersebut, maka taruhannya sungguh besar, yakni integritas PHDI secara kelembagaan di mata umat Hindu se-Indonesia.
Rentetan potensi konflik tersebut dapat meruntuhkan nama baik PHDI sebagai majelis yang menuntun umat ke jalan kebenaran. Kepercayaan umat terhadap PHDI berpotensi luruh bersamaan dengan risiko salah urus tambang. Akankah keseimbangan hidup berdasar Tri Hita Karana dapat terwujud ketika majelis tertingginya dengan sadar menodai tangannya dalam kubangan tambang?
Editor: Emma Amelia