Bayangkan perguruan tinggi seperti sebuah mercusuar yang berdiri tegak di tengah lautan kegelapan, memancarkan cahaya untuk menuntun kapal-kapal yang hilang dalam badai ketidaktahuan menuju pengetahuan dan kebenaran. Kini, ada tawaran yang menggoda: mengganti cahaya itu dengan lampu sorot dari tambang yang berkilau. Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi seperti mengajak mercusuar tersebut untuk memasuki bisnis yang bisa sangat menguntungkan namun penuh bahaya. Di satu sisi, ada potensi pendapatan yang dapat memperkuat sektor pendidikan, namun di sisi lain, ada ancaman serius terhadap independensi akademik, etika ilmiah, dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.
Jika perguruan tinggi menjadi bagian dari industri tambang, apakah mereka akan tetap bisa memimpin dengan suara kritisnya? Atau justru terjerat dalam godaan keuntungan ekonomi yang bisa mengaburkan tujuan pendidikan yang lebih luhur? Apakah perguruan tinggi masih menjadi sebuah institusi yang berdiri teguh sebagai pembawa obor pengetahuan, atau sebuah entitas yang berisiko kehilangan arah di tengah gemerlapnya bisnis yang menggiurkan?
Penjinakan Fungsi Perguruan Tinggi
Pemberian hak pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi yang kini sedang dibahas dalam Rapat Pleno Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan akademisi. Meski tujuannya untuk meningkatkan kontribusi perguruan tinggi terhadap perekonomian dan memastikan keberlanjutan sektor pendidikan melalui sumber daya finansial yang baru, pengelolaan tambang oleh lembaga pendidikan tinggi ini menyimpan berbagai tantangan serius.
Baca juga:
- Bicara Tri Hita Karana di Bibir Lubang Tambang
- Memahami Hilirisasi dalam Perspektif Keberlanjutan Ekonomi Nasional
Salah satu kekhawatiran utama yang muncul adalah potensi penjinakan fungsi kritis perguruan tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Perguruan tinggi memegang peran penting dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, merangsang pemikiran kritis, dan memberikan kontribusi pada evaluasi kebijakan pemerintah. Namun, dengan terlibat dalam pengelolaan bisnis tambang, perguruan tinggi berisiko terjebak dalam jaring kepentingan ekonomi yang mengarah pada ketergantungan finansial pada sektor industri tertentu. Dalam hal ini, pendapatan dari bisnis tambang dapat mengurangi peran perguruan tinggi sebagai lembaga yang seharusnya bebas dalam melakukan evaluasi dan kritik terhadap kebijakan publik.
Keberadaan perguruan tinggi yang terlibat dalam bisnis yang mengutamakan keuntungan ekonomis juga dapat menimbulkan ketegangan antara kepentingan komersial dan peran kritis perguruan tinggi dalam masyarakat. Perguruan tinggi yang bergantung pada pendapatan yang berasal dari bisnis tambang mungkin lebih cenderung untuk mendukung kebijakan pemerintah yang menguntungkan sektor bisnis tersebut. Dalam konteks ini, “bagi-bagi” kue ekonomi ini bisa menjadikan perguruan tinggi lebih terikat pada kepentingan ekonomi pemerintah.
Hal ini berpotensi mengurangi efektivitas perguruan tinggi sebagai kekuatan pengimbang yang mampu mengkritisi kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada masyarakat atau lingkungan. Alih-alih menjaga jarak yang sehat dalam interaksi dengan kekuasaan politik, perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang berisiko menjadi instrumen yang lebih patuh terhadap kepentingan ekonomi dan menjadi alat untuk memperkuat status quo, yang justru menguntungkan pemerintah dan sektor bisnis.
Perguruan tinggi, yang selama ini diakui sebagai pusat pemikiran bebas dan riset inovatif, akan menghadapi tekanan besar untuk mengarahkan fokus mereka pada penelitian yang sejalan dengan kepentingan industri tambang. Riset yang berbasis pada tambang berisiko mengabaikan bidang-bidang lain yang kurang menguntungkan secara finansial, seperti penelitian dasar di bidang humaniora, ilmu sosial, dan sains murni. Perguruan tinggi berisiko terperangkap dalam dominasi keuntungan ekonomi dan logika profit-instrumentalis yang akhirnya dapat mengikis daya kritis mereka.
Fokus yang berlebihan pada pencapaian keuntungan dapat membuat lembaga pendidikan ini kehilangan peran vital mereka dalam mengangkat isu-isu sosial, etika, dan keadilan, yang seharusnya menjadi inti dari visi pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan kapasitas perguruan tinggi sebagai agen perubahan yang mendorong pembaruan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Dilema Pengelolaan Tambang
Dampak negatif lain yang patut dipertimbangkan adalah munculnya konflik kepentingan antara tujuan akademik dan kebutuhan ekonomi. Perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang dapat menghadapi dilema besar: apakah mereka akan mempertahankan integritas akademik atau mengikuti logika bisnis yang mengutamakan profit?
Tak kalah pentingnya adalah risiko lingkungan yang mungkin muncul sebagai akibat dari pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi pelopor dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, perguruan tinggi harus mempertimbangkan dampak lingkungan dari keterlibatannya dalam bisnis tambang dengan serius. Praktik pertambangan yang sering kali merusak ekosistem, menyebabkan pencemaran, dan merusak sumber daya alam, bisa sangat bertentangan dengan komitmen perguruan tinggi terhadap keberlanjutan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Baca juga:
Perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang berpotensi terjebak dalam dilema etis. Mereka harus menyeimbangkan antara keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tambang dan dampak jangka panjang terhadap alam. Meskipun terdapat potensi penerapan teknologi ramah lingkungan dalam sektor pertambangan, seringkali praktik bisnis pertambangan lebih mengutamakan keuntungan finansial ketimbang menjaga kepedulian terhadap lingkungan.
Perguruan tinggi yang memiliki reputasi dalam penelitian dan kebijakan lingkungan mungkin akan kehilangan kredibilitasnya jika mereka terlibat dalam praktik pertambangan yang merusak ekosistem. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya fokus pada potensi keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat.
Mempertahankan Kebebasan Akademik
Mengelola bisnis tambang memang menjanjikan potensi keuntungan finansial yang besar bagi perguruan tinggi, namun keuntungan tersebut datang dengan tanggung jawab yang berat. Perguruan tinggi harus mempertimbangkan secara mendalam dampak terhadap independensi akademik, potensi konflik kepentingan, dan kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Perguruan tinggi tidak hanya bertugas mendukung perekonomian negara, tetapi juga harus tetap menjaga peran sentral mereka sebagai benteng kebebasan berpikir dan pencipta inovasi ilmiah.
Jika perguruan tinggi terlibat dalam pengelolaan tambang, setiap keputusan yang diambil harus mempertahankan integritas akademik dan selaras dengan komitmen terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga kebebasan akademik dan memperjuangkan keadilan sosial, perguruan tinggi harus menjaga jarak dari godaan kepentingan ekonomi yang dapat menggoyahkan misi luhur mereka.
Di tengah krisis iklim yang semakin mendalam dan kompleksitas persoalan sosial yang terus berkembang, perguruan tinggi harus berdiri teguh sebagai penjaga nilai-nilai ilmiah, penggerak perubahan sosial, serta pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebagai lembaga yang seharusnya menuntun arah perkembangan peradaban, perguruan tinggi harus memimpin dengan integritas dalam menciptakan solusi berbasis pengetahuan yang mengedepankan kepentingan umat manusia dan lingkungan di atas kepentingan ekonomi. (*)
Editor: Kukuh Basuki