Saya masih ingat memori di bangku sekolah setiap tanggal 21 April. Bukan tanggal merah, tapi di hari itu saya dan teman-teman perempuan datang ke sekolah dengan kebaya dan kain, pakaian daerah asal Jawa yang selalu dikenakan saat perayaan hari Kartini.
Semasa sekolah, tak pernah terpikir di benak saya kenapa seorang pahlawan nasional yang menyuarakan hak-hak perempuan direduksi keberadaannya menjadi gaya berpakaian. Atau kenapa di buku sejarah kami tidak pernah ada cuplikan dan rangkuman dari surat-surat Kartini selain judul Habis Gelap Terbitlah Terang yang kemudian diinterpretasikan setelah kesulitan akan ada kemudahan.
Kami tidak pernah diberitahu kalau Kartini adalah perempuan yang kritis, seorang feminist dengan semangat anti-kolonialisme yang menentang nilai-nilai patriarki Jawa yang kerap memaksa perempuan untuk tunduk kepada laki-laki. Pemikiran “pembangkang” yang justru jadi semangat Kartini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan seolah-olah ditiadakan.
Di masa sekolah tahun 2000-an, Kartini jadi satu-satunya pahlawan perempuan yang dirayakan secara simbolik–simbol apa kami pun kurang paham. Tetapi perayaan ini membuat hampir semua orang kenal Kartini. Padahal jika dikaji lagi, banyak tokoh perempuan lainnya yang juga layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Kemana mereka? Apakah betul sejarah perjuangan bangsa ini hanya dibentuk oleh kaum laki-laki?
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi di hari Kartini tentang invisibilitas perempuan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan bagaimana sejarah mereduksi gerakan perempuan tahun 1930-an menjadi gerakan sosial semata, bukan sebagai gerakan politik. Di balik ini semua, konstruksi sistemik membuat perempuan hanya diposisikan sebagai pendukung pergerakan, bukan penggerak utama. Sampai detik ini, penghapusan perjuangan perempuan masih menjadi warisan yang membuat misi kesetaraan gender menemui jalan terjal.
Kartini dan Visibilitas: Kooptasi Orba lewat Ibuisme Negara
State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order oleh Julia Suryakusuma memberikan saya perspektif baru untuk memaknai visibilitas Kartini sebagai tokoh perempuan. Ideologi gender rezim Orba (Orde Baru) yang disebut sebagai ibuisme negara menempatkan perempuan sebagai ibu, istri, dan penjaga moral bangsa.
Baca juga:
- Perempuan dalam Cengkraman Rezim Patriarki
- Ibuisme Negara dan Militerisme: Kontrol atas Tubuh Perempuan dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme
Di satu sisi, narasi arus utama menggambarkan Kartini sebagai sosok priyayi Jawa yang lemah lembut, patuh, namun cerdas. Hal ini membuatnya cocok untuk dijadikan penopang utama ideologi ibuisme. Perempuan ideal adalah perempuan yang pintar namun tetap domestik dan penurut. Di sisi lain, pahlawan perempuan yang menjadi pemimpin pergerakan, berpemikiran radikal dan berani menentang norma justru tidak dihadirkan. Keberadaan mereka seolah dihapus dalam ingatan kolektif–eksis tapi tidak ditonjolkan.
Suyatin dan Rasuna: Perlawanan Tak Kasat Mata
Nama Suyatin Kartowiyono dan Rasuna Said memang tak sepopuler Kartini di kalangan publik. Namun keduanya merupakan tokoh perempuan yang aktif menyuarakan anti kolonialisme dan kesetaraan gender. Sebagai perempuan yang “membangkang”, mereka memang tak banyak disebut tapi kontribusinya tak kalah penting dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Suyatin Kartowiyono bahkan tidak termasuk dalam daftar 16 perempuan pahlawan nasional Indonesia terlepas kiprahnya menjadi pemimpin Kongres Perempuan pada Desember 1928. Sumpah Pemuda menjadi momen bersejarah yang mengukuhkan visi kebangsaan termasuk di kalangan perempuan. Suyatin yang memimpin kongres berhasil menyatukan organisasi perempuan dari berbagai penjuru Nusantara untuk membahas isu pendidikan, kawin paksa (perjodohan), poligami, dan hak-hak perempuan untuk turut aktif di ruang publik. Dalam memoar-nya, Wanita Indonesia dalam Kemelut Zaman, Suyatin yang juga bagian dari WANI (Wanita Negara Indonesia) menceritakan pengalamannya mengantarkan persediaan makanan untuk para pejuang walaupun dalam kondisi hamil besar.
Baca juga:
Sebaliknya, Rasuna Said telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1965. Seorang propagandis radikal dan tokoh militan ini menjadi perempuan pertama yang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda akibat pidatonya yang sangat kritis menentang penjajahan. Aktif menjadi anggota Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berideologi Islam-Nasionalis, Rasuna mengkampanyekan kemerdekaan dan emansipasi perempuan melalui pendidikan. Kancah Rasuna di bidang politik juga dibuktikan dengan keberhasilannya menjadi ketua Partai Sarekat Islam cabang Maninjau, Sumatera Barat, pada tahun 1929. Saat ini kita familiar dengan nama Rasuna Said sebagai salah satu jalan arteri di Jakarta, tapi mungkin hanya sebagian kecil dari kita yang memahami kontribusinya.
Kenapa sangat sedikit pahlawan perempuan yang dirayakan? Setidaknya ada dua hal yang bisa kita jadikan pertimbangan. Pertama, sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Dalam Bahasa Inggris, sejarah adalah history bukan herstory. Di konteks masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkis, kuasa untuk menuliskan sejarah ada di tangan laki-laki. Oleh sebab itu, dari 206 tokoh pahlawan nasional Indonesia, hanya 7% di antaranya merupakan perempuan (jumlah pastinya 190 pahlawan laki-laki dan 16 pahlawan perempuan per 2024).
Perjuangan kemerdekaan disajikan sebagai gerakan politik pemuda yang sangat maskulinis. Sedangkan gerakan perempuan dikategorikan sebagai gerakan dengan tujuan ‘sosial’, yaitu pemberdayaan. Selain itu, perjuangan perempuan dalam konteks nasionalisme diposisikan sebagai “gerakan pendukung”, “di belakang layar”, dan bersifat tak kasat mata. Padahal perjuangan mereka, dalam konteks WANI misalnya yaitu membantu menjaga ketersediaan pangan dan juga sebagai penyebar informasi, juga tak kalah penting dan pantas untuk ditampilkan.
Hal ini juga berkaitan dengan poin kedua di mana negara dan masyarakat kita cenderung memilih jenis perempuan tertentu untuk dirayakan. Mereka yang pintar, tidak terlalu menantang status quo, dan bisa dijadikan sosok ibu yang baik. Hal ini berakibat pada terpinggirkannya pejuang perempuan yang bersuara lantang atau yang berani bertindak radikal untuk menyuarakan keadilan.
Warisan Invisibilitas dan Sisa-sisa Ibuisme
Meski Orde Baru telah lama berakhir, warisan ibuisme negara masih melekat kuat dalam cara negara dan masyarakat memandang perempuan. Perempuan ideal tetap dibingkai sebagai sosok yang lemah lembut, mendukung dari belakang, tidak membangkang, dan tentu saja—wife material. Tak heran jika isu gender jarang sekali diprioritaskan, dan keterwakilan politik perempuan sampai saat ini masih rendah. Aktivis perempuan yang vokal sering kali dianggap mengganggu, terlalu lantang, atau “ribet”. Perempuan yang berani bersuara banyak mendapat nynyiran, ancaman, atau bahkan perundungan baik di media sosial atau pun di lingkungan.
Sejarah Indonesia tidak pernah kekurangan perempuan hebat dan revolusioner. Yang bermasalah adalah upaya meniadakan atau menganggap remeh perjuangan mereka. Sebuah upaya kolektif untuk “melupakan”.
Jika kita hanya menengok ke Kartini setiap tahun tanpa memperluas cakrawala, maka kita akan terus mengabaikan tokoh-tokoh seperti Suyatin Kartowiyono atau Rasuna Said. Mereka adalah bukti bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, orator, dan penggerak utama dalam perjuangan kebangsaan. Untuk memahami perjuangan perempuan Indonesia secara utuh, kita perlu menggali kisah-kisah yang selama ini tersembunyi—melampaui Kartini, menuju sejarah yang lebih utuh, lantang, dan berdaya. (*)
Editor: Kukuh Basuki