Kalau Hanya Mengukur Waktu dan Puisi Lainnya

aji royan nugroho

1 min read

kata kai

akankah ini yang terakhir
menjadi impian untuk selamanya
kita banyak bicara dari yang terlewatkan
mengandaikan kata mungkin
mengadu nasib, mendekatkan kepada
hal-hal yang terjadi

kata kai kepedihan berteduh di sepanjang jalanmu
dan kita selalu ingin mengambil risiko yang lebih besar
seperti waktu yang selalu dilewati hari berpenghujan
atau terjebak dan kehilangan waktu

kata kai juga tertawa ungkapan kesedihan
yang masih tertunda
kita semakin tidak memiliki
meskipun semaunya digapai
tubuhmu semakin habis dan
gerak yang semakin tersudut

kai tahu cara mengusir hari yang biru
meskipun dengan segala upayanya
ia mengerahkan semuanya demi
mengejar takdir terdekat

agar ia tahu dan tetap hidup
hari-hari banyak membayangkan
ia di antara
keberadaan laut dan ikan-ikan
dan tawa-tawa suci

kalau hanya mengukur waktu

semenjak kau memberi pertanyaan berulang
dan hidup ini sedang menggantung
menjauh membawa pelukan dirimu
bersepakat pergi melepas waktu
yang buru-buru

di batas pertemuan laut
ada sore yang hadir lebih lama
berkunjung kembali bercerita
hingga siulan angin mendekap
dirimu dan memihakmu

bila kau ke sini lagi
dan terlihat wajah yang mengusut
cara menyembuhkan hal buruk masih sama
mendengar yang sampaikan kabar
di gemuruh sabda alam

semua ini ada yang kurindukan
: kepastian yang kekal
segala pertanyaan telah binasa

dan hanya dirimu yang mampu mengukur diri

kepada para pribadi
dan pemilik waktu
di sini yang hidup berselayar
laut abu-abu
mohon kesediaan tuan berkenan
mengakhiri kesalahan yang dirayakan

(Yogyakarta, 2025)

dari sesore yang blue

lajur jalan yang dilewati itu
semakin ditelan oleh jarak
meninggalkan tiang lampu jalan
dan berhimpit menunggangi jembatan
seperti lorong cahaya di kumpulan awan
dari selatan dan karam di tepi laut
seekor kucing bercerita menghampiriku
dan di tepi sungai ini perempuan berseluncur
mereka sama-sama menangkap lelucon
air tepi sungai gemulai di barisan riakan kecil
menyahut lidah-lidahnya
mereka saling menangkap foto
terhenti sejenak di sore yang blue
membanyangkan, merebahkan tubuhnya
melangitkan dan berharap cinta yang jatuh
di sanding rerumputan
sore yang blue semakin dingin
menyadari jauh itu menjadi tak utuh
padam perasaan tak termaafkan

(Yogyakarta, 2025)

persinggahan haia

pendar-pendar sore berganti
pijarnya tertambat di ruangan
yang menembus perhentian ingatan
ketika ia menanya yang sebentar
dan lama pada ketidakhadiran
sebetulnya tidak ada yang berubah
pandangannya masih sama
ingatanmu menahan perhentian pertama
hanya saja orang-orang berganti
engkau pun sudah dahulu
memikirkan itu
sejenak mengarungi diri
maafkan waktu yang berpergian ini
ia tak bisa menahan mu lebih lama lagi
ketikan puisi padam
pohon-pohon berumur, batu-batu berumur
perhentian kali ini lebih
bersemayam senyap
kau ditinggalkan mereka dengan
harapan yang jauh
melebihi pemimpi-pemimpi kecil
di sini dijerat sunyi
adalah tentang pengampunan waktu
ku tak bisa memilikimu
dan hanya sedikit berbuat

(Yogyakarta, 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

aji royan nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email