Sepuluh penulis perempuan masa kini membaca kembali sepuluh penulis perempuan Indonesia masa lalu dalam antologi Yang Terlupakan dan Dilupakan. Sepuluh penulis perempuan masa kini itu adalah Giovanni Dessy, Isyana Artharini, Rain Chudori, Dwi Ratih Ramadhany, Ni Made Purnamasari, Aura Asmaradana, Nur Janti, Ayu Puspita Sari Ningsih, Ziggy Z., serta Dhiania Kusuma.
Buku antologi yang diterbitkan oleh Marjin Kiri pada Oktober 2021 ini terdiri dari sepuluh bagian. Masing-masing bagian didedikasikan untuk pembacaan satu penulis perempuan masa kini terhadap satu penulis perempuan masa lalu. Mereka mencoba memaknai ulang kiprah para penulis perempuan masa lalu, kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan kritis.
Baca juga:
Ide menerbitkan buku ini dicetuskan oleh Ruang Perempuan dan Tulisan, sebuah kolektif penulis perempuan yang berupaya untuk mengumpulkan data dan informasi terkait sepak terjang para perempuan penulis di masa lalu, mengkajinya, serta menuangkannya menjadi karya ilmiah populer. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekarang terhadap narasi perempuan agar dapat memetik nilai-nilai perjuangan perempuan, serta memberi ide bagi para penulis perempuan masa kini untuk membaca karya-karya terdahulu.
Terpenjara Orde Baru
Nama Rukiah nyaris tenggelam dari daftar penulis sezamannya seperti Ki Hajar Dewantara, Pramoedya Ananta Toer, serta Chairil Anwar. Menurut sang penelaah, Giovanni Dessy, Kejatuhan dan Hati (1950) adalah novel fiksi semi-otobiografis Rukiah yang cukup untuk merepresentasikan sosok Rukiah dengan segudang kesedihan dan trauma. Rukiah juga nyemplung dalam gerakan relovusi nasional. Sejak usianya 19 tahun, dia mulai menulis puisi dan mengirimkan karyanya ke media cetak. Saat riuh rendah peristiwa 1965, Rukiah masuk dalam daftar komunis yang ditangkap. Rukiah ditahan pada akhir 1965 dan baru dibebaskan pada 1969.
Selanjutnya ada kisah Sugiarti Siswadi yang buku kumpulan cerpennya, Sorga di Bumi (1960) terbitan Lekra, digambarkan oleh Ni Made Purnamasari sebagai karya yang berpihak pada kaum kecil. Dalam cerpen-cerpen tersebut, Sugiarti kerap kali mengusung ide berdasarkan kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Selain menulis, Sugiarti juga aktif di Lekra sebagai bentuk keberpihakannya pada rakyat melalui kesenian. Penulis perempuan yang tenggelam di antara nama-nama penulis Lekra laki-laki ini pun kabarnya dibui di Bukit Diri lalu dipindah ke Plantungan.
Charlotte Salawati alias CS dikenal sebagai politisi dan wali kota pertama Makassar. Di samping karir politiknya, CS dikenal sebagai seorang bidan serta penulis perempuan yang berupaya menanamkan semangat juang dalam menentang ketidakadilan terhadap perempuan melalui perannya di Gerwani. Dari rangkuman kajian yang ditulis Dhianita Kusuma, CS menjadi perempuan yang menentang pernikahan Soekarno, menentang adat-istiadat yang sarat akan budaya patriarki, dan masih mengedepankan moralitas yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap perempuan. Nasib berkata lain, CS dijebloskan ke penjara Bukit Diri bersama perempuan-perempuan seperjuangannya.
Baca juga:
Dominasi Maskulinitas
Hamidah alias Fatimah Hasan Delais adalah seorang guru yang mengabdi di Taman Siswa sekaligus seorang aktivis. Menurut Ayu Puspita Sari Ningsih, Hamidah dikenal berkat karya novel pertama dan satu-satunya, Kehilangan Mestika (1935). Bahkan, menurut H.B Jassin, novel itu sangat digemari pada masanya. Novel itu menceritakan kisah Hamidah yang jatuh bangun melawan adat yang membelenggu perempuan sepertinya. Sayang sekali, pandangan penyunting sastra dan akademisi laki-laki tidak berpihak padanya. Ajip Rosidi bahkan menggambarkan Hamidah sebagai pengarang yang senang bersedih-sedih.
Kemudian, ada Maria Ulfah alias Itje yang kisahnya dipaparkan kembali oleh Nur Janti. Itje lahir dari latar belakang keluarga bangsawan Banten. Itje berkuliah di Universitas Leiden, tempat ia mulai mengenal gerakan nasionalis melalui persahabatannya dengan Sutan Sjahrir. Pada masanya, Itje membantu sesama perempuan mengatasi konflik perkawinan dan mempelajari hukum perkawinan yang berlaku saat itu. Tak hanya itu, Itje juga memperjuangkan batas usia perempuan menikah, yakni 16 tahun, dan memperjuangkan hak pilih perempuan. Peran Itje dalam perpolitikan Indonesia dan kemampuan negosiasinya yang mumpuni menjadikan Itje sebagai sosok perempuan yang semestinya tidak dilupakan.
Masih ada lima penulis perempuan lagi yang berjuang melalui tulisan. Misalnya, Suwarsih Djojopuspito yang dikenal berkat karyanya: Manusia Bebas (1975) dan Maryati (1982). Lalu, ada Omi Intan Naomi yang dikenal lewat berbagai buku kumpulan sajak, salah satunya adalah Sajak Omi (1986). Penulis lainnya ialah Ratna Indraswari Ibrahim yang juga dikenal sebagai penulis difabel. Ratna menjadikan paviliun tempat tinggalnya di Malang sebagai tempat berlindung mahasiswa dan aktivis perlawanan pada masanya. Ada pula Saadah Alim, seorang jurnalis pada masanya yang menulis naskah drama Pembalasannja (1940). Terakhir, ada Dahlia (Tam Lam Nio), penulis Tionghoa dengan karya novel utuhnya yang berjudul Kapan Sampe di Poentjaknya (1930).
Baca juga: Kemerdekaan Ibu dalam Fiksi
Mulai Membaca Perempuan
Nama-nama penulis perempuan terdahulu akan hilang tergerus waktu jika kita tidak membaca, mencatat, dan menyebarkan gagasan mereka.
Dari sepak terjang sepuluh penulis perempuan terdahulu yang dipaparkan dalam Yang Terlupakan dan Dilupakan ini, para penulis perempuan masa kini berhasil menyajikan ingatan kolektif tentang dengan perjuangan perempuan di masa lalu kepada para pembaca melalui tulisan. Hasil telaah mereka juga menunjukkan bahwa tiap tulisan memiliki agenda perjuangan, baik itu sebagai bentuk perlawanan pribadi terhadap dominasi laki-laki pada masanya atau bentuk perlawanan terhadap sebuah sistem yang ruwet pada masa itu.
Saat ini, menciptakan ekosistem sosial, khususnya sastra, yang tidak patriarkis masih terasa sulit. Apalagi, laki-laki masih mendominasi ruang-ruang menulis, baik itu di dunia maya maupun di dunia nyata. Perempuan bisa mengambil peran dalam kehidupan sehari-hari lewat tulisan. Meski saat ini penulis perempuan sudah banyak bermunculan, penulis laki-laki masih lebih menonjol.
Baca juga:
Kehadiran para penulis perempuan di masa kini sangat memerlukan dukungan dari perempuan lainnya. Oleh karena itu, jangan pernah ragu untuk membaca tulisan para penulis perempuan dan dukunglah agenda positif yang tersirat maupun tersurat dalam tulisan mereka.
Editor: Emma Amelia