Perempuan dalam Cengkraman Rezim Patriarki

Novia Ulfa Isnaini

4 min read

Maraknya kasus kekerasan berbasis ketidaksetaraan gender di kalangan remaja, aktivis, dan kaum intelektual wanita membuat persoalan gender hingga saat ini terus diperbincangkan. Banyak kejadian eksploitasi bagi kaum wanita terutama dalam ruang publik hingga domestik rumah tangga. Hal ini terbukti dari data situs resmi Komnas Perempuan yang menyatakan terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2023. Dalam konteks ini, karya-karya seperti Perempuan di Titik Nol oleh Nawal el-Saadawi menawarkan perspektif kritis yang masih sangat relevan.

Buku Perempuan di Titik Nol atau dalam bahasa Arabnya adalah Emra’ah ‘Enda Noktah al Shifr merupakan karya dari Nawal el Sadaawi yang ditulis pada tahun 1973. Tulisan yang penuh energi ini mampu menggugah dan mengguncang emosi pembaca melihat ketidakadilan yang dialami seorang perempuan di bawah dominasi sistem patriarki yang menindas. Buku ini menggambarkan perjuangan perempuan untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai eksistensi perempuan.

Nawal el Sadaawi adalah seorang penulis dan pegiat feminis berkebangsaan Mesir yang konsisten memperjuangkan hak-hak wanita. Selain itu ia juga seorang dokter spesialis neurologis dan psikiater. Karakter tulisan Nawal El Sadaawi yang berani sering mengundang reaksi keras dari pemerintah Mesir dan kalangan agamawan konservatif karena dinilai menentang norma-norma patriarki yang kaku dan represif di negaranya. Karena hal ini sehingga Ia digambarkan sebagai “Simone de Beauvoir dari Dunia Arab” dan dijuluki perempuan paling radikal di Mesir.

Baca juga:

buku ini diangkat dari kisah nyata yang ditulis setelah pertemuan Nawal dengan seorang tahanan perempuan di penjara Qanatir bernama Firdaus. Nawal menjadikan Firdaus sebagai tokoh utama karena karakter yang dimiliki Firdaus berbeda dengan perempuan lainnya. Menurutnya, Firdaus merupakan sosok perempuan cerdas, tegas, dan pemberani. Terbukti dari perbuatan Firdaus yang selalu menentang dan melawan ketertindasan dan perampasan hak manusia.

Pertemuan Nawal dan Firdaus sangatlah tidak mudah. Berbagai cara dilakukannya supaya bisa berinteraksi dengan Firdaus, namun hasilnya tetap nihil. Hingga tiba di suatu hari entah apa alasan Firdaus mau menerima Nawal untuk masuk ke dalam jeruji selnya.

Lalu kemudia Firdaus menceritakan kisah hidupnya dari masa kecilnya yang hidup dalam lingkar kemiskinan hingga fase dewasanya sebagai pelacur. Sekalipun hal ini dianggap tabu oleh masyarakat di negaranya, Nawal dengan berani mengeksplorasi isu-isu perempuan. Melalui penggunaan bahasa yang lugas dan langsung buku ini mampu mengawal emosi sekaligus membuka pikiran para pembaca terhadap realita perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriarki.

Berani dan Menggugah

Perempuan di Titik Nol merupakan sajian pengalaman yang mendalam dan menggugah. Ekspresi dari setiap perjalanan Firdaus begitu tajam dan memberi banyak makna serta pembelajaran. Buku ini benar-benar membuka mata saya terhadap realitas pahit yang dihadapi banyak perempuan. Dari buku ini saya termotivasi untuk berbuat lebih banyak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dilingkup kecil saya sendiri dalam membangun semangat dan kekuatan keyakinan.

Kelebihan buku ini terletak pada keberanian Nawal el Sadaawi dalam mengangkat topik yang dianggap tabu oleh masyarakat dibenci oknum penjilat kekuasaan dalam mengungkap kebenaran yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Kekuatan buku ini mengangkat narasi yang sangat keras dan pedas, sebagaimana yang saya kutip:

Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak berbeda dari lelaki lainnya, mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang, revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami, sesuatu yang disalah gunakan, sesuatu yang dapat dijual“.

Perempuan dan Ketidakadilan Gender

Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah bagi Firdaus apalagi di lingkungannya yang konservatif dan menjunjung tinggi rezim patriarki. Seorang perempuan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan dinilai lebih rendah dari pada laki-laki. Ketikdakadilan ini tergambar dari berbagai pengalaman Firdaus semasa hidupnya. Beberapa di antaranya adalah:

Pertama, dalam budaya patriarki tindakan subordinasi sering dilakukan oleh para oknum untuk mengeksploitasi hak perempuan dengan menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Ketikdakadilan tersebut bukan hanya tergambar dari perjalanan hidup Firdaus, akan tetapi juga tercerminkan dari sikap ibu Firdaus yang lebih mementingkan ayahnya dan membedakan anak laki-laki dan perempuan.

Dalam ranah pendidikan, Firdaus tidak bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Diceritakan bahwa Firdaus sangat mengidolakan pamannya dan berkeinginan untuk menimba ilmu di tempat yang sama. Namun ia tidak diperbolehkan karena ia seorang perempuan. Paman Firdaus mengatakan sebuah universitas hanya diperuntukkan untuk laki-laki saja.

Kedua, Proses marjinalisasi yang mengakibatkan ketidakadilan banyak terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Dalam konteks tersebut, Firdaus sering mangalami penyingkiran yang dilakukan oleh istri pamannya. Di sini yang dilakukan bibinya ialah mengesampingkan hak Firdaus untuk dapat memilih pasangannya. Firdaus dipaksa menikahi Syekh Mahmoud yang tak lain saudara dari sang bibi. Hal ini dilakukan karena bibi beranggapan bahwa Firdaus akan menghabiskan jatah makanan jika ia tetap tinggal di rumah pamannya.

Ketiga, stigma dan stereotipe gender. Firdaus mengalami ketidakadilan tersebut pada saat ia menjadi bahan pertengkaran antara bibi dan pamannya. Bibinya beranggapan Firdaus tidak dapat memiliki perkerjaan bagus karena hanya mempunyai ijazah sekolah menengah. Kehadiran Firdaus dalam rumah tangga mereka hanya menyulitkan ekonomi dan memperparah pekerjaan rumah.

Keempat, semasa hidupnya, Firdaus juga sering kali mendapatkan tindakan kekerasan, entah serangan fisik maupun psikologis. Firdaus mengalami kekerasan berupa pelecehan seksual, tindakan pemukulan, dan penyiksaan mental. Pelecehan yang dialami Firdaus telah terjadi ketika ia masih kecil, di mana hal ini dilakukan oleh teman sebayanya ketika bermain bersama. Selain itu tindakan pelecehan seksual didapati dari lingkungan keluarga yang dilakukan oleh pamannya sendiri.

Saya melihat tangan paman saya bergerak gerak dibalik buku yang sedang ia baca, menyentuh kaki saya saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya“.

Sedangkan tindakan pemukulan atau penganiayaan fisik terjadi saat Firdaus mulai beranjak usia remaja. Selepas shalat ketika acara kelulusan sekolah menengah, Firdaus dinikahkan dengan Syekh Mahmoud. Namun pernikahan yang seharusnya mandapatkan perlindungan dan rasa aman dari suaminya, justru menjadi ladang penganiayaan kekerasan fisik hingga ia akhirnya memutuskan keluar dari rumahnya.

Pada suatu peristiwa ia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya, muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar“.

Dari berbagai tindak kekerasan dan ketidakadilan gender yang dialami oleh Firdaus, tidak serta-merta hanya meninggalkan luka fisik pada tubuhnya, melainkan berujung pada tekanan batin yang melukai kondisi psikologis Firdaus. Selama masa akhir akhir di tempat jeruji sel sebelum dihukum mati, Firdaus sering mengurung diri, tidak makan dan tidak tidur di sepanjang hari. Hal ini disebabkan tekanan psikologis yang dialami Firdaus.

Baca juga:

Namun demikian, pengalaman demi pengalaman berhasil memberikan pelajaran pada Firdaus bahwa identitas sebagai seorang perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Untuk menemukan kebebasan, Firdaus menekankan pada keyakinan dirinya bahwa ia juga pantas menerima kebebasan tanpa dikontrol dan disiksa oleh laki-laki.

Saya tahu prosefesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak“.

Secara keseluruhan, novel ini menarik untuk dibaca sebab pembelajaran yang dipetik menimbulkan impresi atau penyadaran intelektual terhadap segala bentuk ketidakdilan yang dialami perempuan. Selain itu implikasi dari membaca novel ini adalah dapat mewujudkan kesadaran kolektif terhadap kesenjangan sosial dan ketidaksetaraan gender yang masih terjadi hingga saat ini. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Novia Ulfa Isnaini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email