Gangubai Kathiawadi: Penyambung Lidah Para PSK

Anisah Meidayanti

2 min read

Membicarakan Pekerja Seks Komersial (PSK) dalam obrolan sehari-hari masih dianggap tabu. Apalagi membincangkan hak-hak para PSK yang jelas-jelas hidup dalam diskriminasi, rentan eksploitasi dan kriminalisasi.

Apa yang sering terlihat dan terdengar perihal PSK pastilah tak jauh dari kata amoral, tanpa melihat status PSK sebagai seorang pekerja. Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, ada suara dan keyakinan yang harus didengar.

Kisah perjuangan hak-hak PSK serta kebebasan PSK dalam berpikir, bertindak dan bersuara ditampilkan secara apik dengan sentuhan Bollywood dalam film berjudul Gangubai Kathiawadi.

Mimpi besar Ganga menjadi aktris dan bermain film bersama aktor favoritnya, Dev Anand diperjuangkannya dengan keras. Di tengah mimpinya yang sedang menggebu itu, ia diantar kekasihnya, Ramnik untuk casting di kota Delhi.

Ramnik yang tampaknya sangat suportif itu mengajak Ganga meninggalkan orangtuanya yang seorang pengacara untuk mengejar mimpinya. Namun siapa sangka, kekasihnya itu malah menjual Ganga kepada mami germo rumah bordil di kawasan Kawathipura seharga 1000 Rupee. 

Gelap, kumuh, sumpek adalah gambaran rumah bordil yang dipenuhi oleh PSK dari usia perempuan dewasa maupun anak di bawah umur. Mereka tumbuh dan hidup dalam kekuasaan mami germo yang hanya menjadikan para perempuan itu sumber uang. Tanpa adanya jam kerja yang jelas, penjamin kesehatan dan keselamatan.

Di sanalah Ganga akhirnya mengubah namanya menjadi Gangu, akibat perubahan takdir yang begitu drastis dalam hidupnya. Ia dan 4000 PSK lainnya hidup dalam penderitaan bertahun-tahun. Melihat situasi itu, Gangu bertekad kuat untuk mengubah nasib dan menyuarakan hak-hak para kawan PSK-nya. 

Umumnya film yang mengangkat isu PSK, prostitusi dan mafia perempuan fokus dan berkutat pada kelamnya dunia tersebut. Film yang berdurasi dua jam lebih ini justru menampilkan harapan dan kekuatan sosok perempuan.

Sosok Gangu yang berani menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak PSK di kawasan yang jadi langganan ribuan lelaki mengentaskan nafsunya itu.

Hak-Hak PSK Beserta Anak-anaknya

Gangu dengan identitas barunya sebagai mafia dan mucikari pergi ke sebuah sekolah agama dekat kawasan rumah bordil bersama para anak PSK. Sebelumnya, beberapa anak dari PSK itu ditolak untuk bersekolah di sana, dengan alasan, status mereka sebagai anak PSK dan rumah mereka yang berada di kawasan rumah bordil akan merusak moral siswa yang lain. 

Diskriminasi pada anak-anak di lingkup pendidikan telah dirasakan sejak dini bagi para keturunan PSK. Hak untuk mendapat akses pendidikan ditutup rapat kepada mereka. Padahal harapan anak-anak dan para ibu yang bekerja sebagai PSK hanya satu, mereka yakin hanya pendidikanlah yang mampu membawa perubahan bagi masa depan anak-anak mereka.

Film ini mampu menjadi sentilan bagi segenap lapisan masyarakat secara luas sekaligus bagi para petinggi negeri. Status seorang perempuan sebagai PSK tidak boleh dijadikan alasan untuk melupakan hak mereka sebagai manusia dan warga negara.

Dikisahkan pula, sampai lima belas tahun hidup di kawasan rumah bordil pun, masih banyak anak di bawah umur yang dijual oleh relasi terdekatnya termasuk suami sendiri.

Walau beberapa kali dirundung kisah kelam masa lalunya, Gangu tetap konsisten menyampaikan pendapatnya. Dari pertemuannya dengan seorang jurnalis bernama Fazi, satu demi satu jalan buntu menemui celahnya. Gangu semakin dikenal atas keberaniannya menyuarakan hak PSK dan atas peran politiknya di kawasan rumah bordil yang sebelumnya dipimpin oleh sosok yang sangat bengis, kejam dan narsistik.

Gangu adalah gambaran tokoh yang apik dari kisah nyata sosok Gangubhai Kathiwali, seorang mafia dan PSK era 1970-an yang fenomenal atas berbagai gerakannya di India.

Film ini berhasil menggambarkan kehidupan PSK yang selama ini terpinggirkan. Gangu bukan lulusan universitas ternama, bukan juga pemimpin yang menjabat posisi yang prestise. Tapi ia mampu menjadi pemimpin perempuan dengan statusnya sebagai PSK yang memperjuangkan hak kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, khususnya para Pekerja Seks Komersial.

 

Editor: Ghufroni An’ars

Anisah Meidayanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email