Aku Tidak Pernah Menulis Cerita Ini

Rakhan Wardhanni

4 min read

Aku menemukannya di antara tumpukan naskah lama yang disimpan di rak dalam folder plastik berdebu. Judulnya hanya satu kata. “Kembali”. Kertasnya menguning, tintanya sedikit pudar, tapi jelas itu bukan naskah ketikan komputer. Aku melihatnya dengan hati-hati, menyentuh bagian sampul yang tidak berjudul, lalu membuka halaman pertama.

“Ia duduk di ruang, menatap layar kosong di hadapannya. Sudah berjam-jam ia mencoba menulis, tetapi tidak ada satu kata pun yang terasa miliknya. Ia merasa telah menuliskan semua ini sebelumnya, tetapi tidak tahu kapan dan di mana.”

Jantungku berdegup lebih cepat. Kalimat itu terasa aneh. Terlalu akrab. Tapi aku tidak ingat pernah menulisnya.

“Apa ini?” tanyaku kepada Jati, editorku, yang baru saja datang membawa sebungkus rokok ke meja kami di kantor redaksi.

“Naskah lama,” katanya santai, mengembuskan rokok di tangannya, “Punyamu. Aku menemukannya saat merapikan arsip. Sepertinya belum pernah terbit.”

Aku menyeringai, menatapnya tajam. “Tidak mungkin. Aku tidak pernah menulis ini.”

Jati terkekeh. “Lihatlah, tanda tanganmu ada di halaman terakhir.”

Aku membalik ke halaman terakhir. Di sana, dalam tinta hitam yang sudah memudar, ada tanda tangan yang memang menyerupai punyaku. Tapi aku masih tidak ingat.

“Ini bukan tulisanku,” kataku lagi.
Jati membuang sepuntung rokok, menatapku serius. “Mungkin kamu lupa. Banyak penulis sering lupa dengan karya lamanya. Aku pikir ini cerpen bagus. Kau menulisnya kapan?”

Aku menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Jati menarik napas, lalu berdiri. “Baca saja dulu. Mungkin nanti ingatanmu kembali.”

Aku mengangguk, masih belum yakin. Saat Jati meninggalkan ruangan, aku membuka halaman berikutnya dan mulai membaca.

“Ia memegang naskah itu dengan kebingungan. Seharusnya ini tulisannya, tetapi ia tidak ingat pernah menuliskannya. Setiap kata terasa miliknya, tetapi bukan miliknya. Ia membaca, tetapi semakin ia membaca, semakin tulisan itu terasa menulis dirinya kembali.”

Aku berhenti. Tubuhku merinding. Aku membaca ulang kalimat itu, memastikan aku tidak salah melihat. Kata-katanya terlalu tepat. Aku baru saja mengalami hal yang sama beberapa menit lalu.
Aku menutup naskah itu sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap sekeliling ruangan. Ini tidak masuk akal.

Mungkin aku memang pernah menulis ini, lalu melupakannya. Tapi bagaimana mungkin tulisan ini mendeskripsikan persis apa yang terjadi saat ini?

Aku menyalakan laptop, mencari dokumen lama, folder-folder lama, apapun yang bisa mengingatkanku pada naskah ini. Tidak ada. Tidak ada arsip yang berjudul “Kembali”, tidak ada draft, tidak ada email lama dengan lampiran file ini.

Aku kembali membuka naskah itu dan melanjutkan membaca.

“Ia mencoba mencari jejak naskah ini dalam laptopnya, tetapi tidak menemukan apa-apa. Seolah tulisan ini tidak pernah ada sebelumnya. Tetapi ia tidak bisa berhenti membaca. Setiap kata menariknya semakin dalam, membuatnya merasa cerita ini sedang menulis dirinya kembali.”

Tanganku gemetar. Aku membalik halaman berikutnya dengan cepat, mencari akhir dari cerita ini, tetapi halaman terakhir kosong.

Tidak ada akhir.

Aku menelan ludah. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku merasa ada sesuatu yang mengawasi dari sudut ruangan, tetapi ketika aku menoleh, tidak ada siapa-siapa.

Kembali ke halaman awal, aku membaca ulang bagian awal cerita. Kata-katanya tetap sama, tetapi kali ini terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih tajam. Seolah naskah ini benar-benar tahu aku sedang membacanya.

Aku menarik napas, lalu mengeluarkan pena. Aku harus mencoba sesuatu. Aku menuliskan satu kalimat di bagian bawah halaman kosong terakhir.

“Siapa yang menulis cerita ini?”
Kutinggalkan pena di atas meja, lalu menyandarkan tubuh di kursi, menunggu. Entah kenapa aku berharap sesuatu terjadi.

Hening.

Aku hampir merasa lega. Tapi saat aku melihat halaman kosong itu lagi, ada sesuatu yang tidak ada sebelumnya.

Satu baris tulisan. Tinta yang sama. Gaya tulisan yang sama.

“Kau.”

Aku terduduk diam. Napasku tertahan. Aku membaca tulisan itu berulang kali.

“Kau.”

Aku tidak menulisnya. Aku yakin. Aku tidak menulisnya.

Tanganku berkeringat saat aku meraih pena lagi. Aku ingin menguji sesuatu. Aku menulis satu kalimat di bawahnya.

“Kapan aku menulis ini?”

Lalu aku menunggu.

Hening.

Jam di dinding berdetak lebih lambat. Lampu di sudut ruangan berkedip-kedip seolah akan mati. Aku menatap halaman kosong itu, jantungku berdegup kencang. Aku ingin tertawa karena merasa konyol, tetapi sebelum tawa itu sempat keluar, tintanya muncul.

Pelan. Huruf demi huruf.

“Dulu. Sekarang. Nanti.”

Aku menjatuhkan pena. Tidak. Ini tidak mungkin. Ini hanya permainan pikiran. Aku terlalu lelah. Bisa saja ini hanya halusinasi.

Aku meremas wajahku, mencoba berpikir rasional. Jati pasti sedang bercanda. Dia mungkin menyiapkan naskah ini sebagai lelucon. Tapi bagaimana mungkin? Aku yang menulis pertanyaan itu, dan jawabannya muncul setelahnya. Tidak ada cara baginya untuk melakukannya.

Aku menelan ludah. Aku harus mencoba lagi. Aku menulis, tangan sedikit gemetar.

“Apa maksudnya?”

Lagi, hening. Tapi kali ini, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Huruf-huruf mulai membentuk kata, seakan ditulis oleh tangan tak terlihat.

“Kau sedang menulisnya sekarang.”

Aku mundur, hampir menjatuhkan kursiku. Tidak. Tidak mungkin.
Aku berdiri, menjauh dari meja. Aku harus keluar dari ruangan ini. Tapi saat aku berbalik, aku melihat Jati berdiri di ambang pintu.

“Ada apa?” tanyanya, alisnya mengernyit.

Aku mencoba menjelaskan, tetapi suaraku tercekat. Aku menunjuk naskah itu, berharap Jati melihat apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan mendekat, lalu mengambilnya.

“Naskah ini?” tanyanya sambil membalik halaman. Ia mengerutkan dahi. “Ini masih kosong. Kau belum menulis apa pun di sini.”

Aku terhuyung. Tidak. Itu tidak benar. Aku baru saja membaca kata-kata itu. Aku baru saja melihatnya muncul di depan mataku. Aku meraih naskah itu dari tangannya dan membalik ke halaman terakhir. Kosong. Halaman itu benar-benar kosong.

Aku hampir menjatuhkannya.
“Tidak,” bisikku, “Tadi ada tulisan di sini.”

Jati menatapku lama. “Kau baik-baik saja?”

Aku menggeleng cepat. “Aku menulis di sini. Aku menulis pertanyaan. Dan jawabannya muncul sendiri.”

Jati menghela napas. “Mungkin kau perlu istirahat.”

“Tidak!” suaraku meninggi. “Aku tidak gila!”

Jati mengangkat tangan, mencoba menenangkanku. “Oke, oke. Ceritakan dari awal.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku menjelaskan semuanya. Bagaimana aku menemukan naskah ini, bagaimana cerita itu mendeskripsikan keadaanku saat ini, bagaimana jawabannya muncul sendiri.

Jati mendengarkan dengan ekspresi ragu, tetapi tidak memotong.

Saat aku selesai, ia menghela napas panjang. “Kau yakin tidak pernah menulisnya sebelumnya?”

“Aku yakin,” tegasku.

Ia mengangguk pelan. “Oke. Kalau begitu, coba tulis lagi sesuatu di halaman kosong itu.”

Aku menatapnya. Ia serius.

Aku menelan ludah, mengambil pena, dan dengan tangan masih gemetar, aku menulis satu pertanyaan lagi di halaman terakhir.

“Siapa kau?”

Kami menunggu. Aku menahan napas. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada tinta yang muncul. Tidak ada jawaban.

Jati menatapku dengan tatapan iba.

“Mungkin kau benar-benar butuh tidur.”

Aku menatapnya, lalu menatap naskah itu lagi. Tidak ada jawaban. Kosong. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Mungkin aku memang lelah. Mungkin aku hanya berhalusinasi.

Aku menghela napas dan menutup naskah itu.

“Ayo pulang,” kata Jati, menepuk pundakku. Aku mengangguk pelan.
Aku meninggalkan meja, meninggalkan naskah itu di sana. Kami berjalan keluar dari kantor redaksi, dan aku mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang masih menggantung di pikiranku.
Tapi saat aku mematikan lampu dan menutup pintu, aku tidak menyadari bahwa di halaman terakhir naskah itu, satu kalimat baru telah muncul.

“Jangan pergi.”

Rakhan Wardhanni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email