Retret politik yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto bersama para pemimpin daerah terpilih di Magelang pada 21-28 Februari 2025 merupakan langkah yang mengundang banyak diskusi dan kritik. Apa sebenarnya tujuan retret politik? Apakah untuk menyamakan pikiran dan meminimalisasi konflik? Atau justru untuk menegaskan bahwa kita tak pernah menuntaskan masalah mendasar menyangkut legitimasi, efektivitas, dan dampak pemborosan anggaran negara?
Reflektif
Secara historis, istilah “retret” berasal dari tradisi keagamaan, khususnya dalam konteks Kristen. Retret merujuk pada kegiatan individu atau kelompok kecil yang menghentikan rutinitas harian untuk melakukan refleksi dan pemikiran mendalam serta mendekatkan diri kepada hakikat spiritual.
Praktik ini bertujuan untuk mencapai pembaruan batin melalui introspeksi yang intensif. Secara kultural, penerapan konsep retret dalam politik membentuk narasi yang menggabungkan nilai-nilai spiritualitas dan refleksi diri ke dalam kebijakan publik.
Baca juga:
Namun, ketika istilah ini diadopsi ke dalam ranah politik dan militer, ia kehilangan makna aslinya dan berubah menjadi retorika yang membungkus tindakan politik yang terkesan evasif. Menurut pengamat militer Salim Said, penerapan cara berpikir dan disiplin militer ala Prabowo berpotensi mengecilkan ruang bagi kebebasan berpikir dan berdialog. Said justru menekankan pentingnya resistensi terhadap homogenisasi nilai yang dipaksakan oleh pusat kekuasaan.
Pola retret yang mengusung disiplin dan hierarki seperti militer justru cenderung meniadakan dialog yang setara dan menciptakan atmosfer subordinasi. Peserta lebih menekankan ketaatan daripada memberikan kontribusi ide yang bermakna. Retret jadi modus operandi penegasan kekuatan internal.
Disiplin militer, yang mungkin efektif dalam konteks pertahanan, tidak selalu relevan dalam tata kelola pemerintahan yang bersifat multikultur dan demokratis. Struktur hierarkis semacam ini berisiko membatasi kreativitas dan inovasi yang seharusnya muncul dari keberagaman. Sebagai alternatif, kepemimpinan yang lebih kontekstual dan berlandaskan kearifan lokal menjadi pilihan metode yang lebih tepat untuk menghadapi dinamika dan tantangan pluralitas di Indonesia.
Pemikiran filsafat politik menawarkan pemikiran mendalam mengenai retret politik, yakni terkait etika kepemimpinan dan tanggung jawab moral terhadap publik. Filsuf seperti Hannah Arendt dan Leo Strauss mengkritisi bentuk kepemimpinan yang mengandalkan konsolidasi internal tanpa adanya dialog terbuka dengan masyarakat. Keduanya menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena berbagai suara dapat didengar dan dipertimbangkan. Menurut Arendt dan Strauss, pemimpin ideal adalah mereka yang dapat memfasilitasi dialog yang inklusif, bukan sekadar mengarahkan atau mendikte.
Jika retret politik Presiden Prabowo lebih berfokus pada penyampaian instruksi atau membangun narasi tunggal, praktik ini berisiko melanggengkan pola kepemimpinan yang hierarkis dan otoriter serta mengabaikan dinamika lokal dan pluralitas cara pandang yang ada di Indonesia. Alih-alih menjadi ruang refleksi yang inklusif dan mempromosikan demokrasi deliberatif, retret ini dapat menjadi mekanisme homogenisasi nilai yang meredam dinamika pluralisme yang esensial dalam demokrasi modern.
Cultural studies juga menunjukkan bahwa retret politik dapat memperparah dinamika kekuasaan yang tidak seimbang. Budaya kontemporer menuntut inovasi, keberanian menghadapi perbedaan pendapat, dan kemampuan menanggapi kritik secara konstruktif. Namun, dengan mengadopsi strategi retret, pemerintah berpotensi menciptakan budaya organisasi yang tertutup dan tidak responsif terhadap perubahan sosial.
Baca juga:
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa retret semacam ini dapat memperkuat budaya patronase. Para pemimpin daerah akan merasa terdorong untuk menunjukkan loyalitas politik kepada Presiden ketimbang fokus pada kebutuhan konstituen mereka. Budaya semacam ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Bukan Solusi Inovatif
Dalam konteks ini, retret politik bukanlah solusi inovatif, melainkan jalan pintas yang berisiko menghamburkan banyak sumber daya dan mengabaikan kebijakan alternatif yang lebih partisipatif.
Menghadapi tantangan zaman yang menuntut efisiensi, seharusnya fokus utama pemerintah adalah pada reformasi struktural yang konkret dan inovasi kebijakan publik. Jalan lain yang lebih produktif daripada retret politik adalah dengan mengoptimalkan dialog terbuka, memperkuat mekanisme akuntabilitas, dan menerapkan kebijakan berbasis data dan fakta.
Retret politik yang digagas oleh Presiden Prabowo adalah langkah yang penuh potensi, tetapi juga sarat dengan risiko. Penting untuk memastikan bahwa praktik ini tidak hanya menjadi simbol harmoni politik, tetapi benar-benar berkontribusi pada penguatan demokrasi.
Alih-alih menjadi forum eksklusif yang bersifat instruktif, retret dapat menjadi arena di mana para pemimpin berbagi praktik terbaik, tantangan, dan solusi kontekstual yang relevan dengan kebutuhan lokal mereka. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkaya kebijakan nasional, tetapi juga memperkuat kerjasama di antara para pemimpin daerah.
Pemerintah harus merevisi dan mencari alternatif kegiatan yang lebih transparan, inklusif, efisien dan terutama menghemat anggaran publik. Hanya dengan cara ini, negara dapat melahirkan kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap tuntutan efisiensi, namun juga mampu menjawab harapan masyarakat dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang modern dan demokratis.
Editor: Prihandini N