“Dulu, mahasiswa disebut-sebut sebagai agen perubahan, penggerak masa depan, dan penjaga cita-cita bangsa. Tapi kini, apakah peran itu masih hidup atau hanya tinggal cerita yang berulang?”
Pertanyaan itu seakan terus menggema dalam pikiran saya setiap kali melihat gerakan mahasiswa zaman sekarang, khususnya setelah Reformasi 1998. Ada sedikit kebanggaan tapi lebih banyak perasaan getir setiap kali saya merenungkan bagaimana seharusnya mahasiswa menjadi pengawal reformasi, penegak kebenaran, dan pemangku harapan masyarakat yang tak bisa bersuara. Tapi kenyataannya, peran itu kian memudar, dan saya tak bisa menutup mata terhadap fenomena ini.
Refleksi Reformasi dan Gerakan Mahasiswa
Pada 1998, gerakan mahasiswa berdiri gagah menantang status quo, membongkar kekuasaan yang dinilai tidak demokratis, dan menyerukan perubahan untuk bangsa yang lebih adil. Namun, dua dekade lebih berselang, perubahan yang diperjuangkan itu terasa belum seutuhnya terealisasi. Janji pengusutan pelanggaran hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta penegakan supremasi hukum masih jauh dari harapan. Ironisnya, justru mahasiswa—yang dulu menjadi ujung tombak reformasi—terlihat mulai kehilangan taji.
Ada banyak aksi, demonstrasi, dan suara yang masih terdengar di jalanan tapi terasa berbeda. Gerakan mahasiswa kini cenderung sporadis, kadang terkesan reaksioner dan kurang terstruktur. Alih-alih menjadi kekuatan yang solid, terorganisasi, dan fokus pada tujuan jangka panjang, aksi-aksi mahasiswa kini sering kali hanya sebatas reaksi sesaat terhadap isu-isu yang mencuat. Hal ini tentu mengurangi daya dorong mereka untuk benar-benar bisa mengawal agenda reformasi.
Baca juga:
Kelemahan Internal
Sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa, saya tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ketidaksolidan gerakan ini memang menjadi kendala besar. Gerakan mahasiswa yang ada sekarang ini tampaknya terjebak dalam fragmentasi internal yang menghambat mereka untuk menjadi satu kesatuan yang kuat. Beda kampus, beda fakultas, bahkan beda jurusan sering kali membawa perbedaan cara pandang, metode, dan program gerakan yang mereka bawa. Akibatnya, kesulitan untuk konsolidasi bukan hanya masalah lintas kampus, dalam satu universitas pun, kadang antarorganisasi tidak memiliki arah perjuangan yang sama.
Dalam bukunya Rules for Radicals, Saul Alinsky menyebutkan “aksi tanpa rencana hanyalah angin lalu”. Saya rasa kalimat ini sangat relevan untuk menggambarkan bagaimana banyak aksi mahasiswa saat ini yang kurang memiliki perencanaan matang dan koordinasi yang baik. Aksi-aksi ini sering kali hanya ramai saat muncul isu panas, kemudian menghilang begitu isu tersebut mereda. Tak ada keberlanjutan, tak ada agenda strategis yang ditekankan dalam jangka panjang.
Polarisasi di tubuh gerakan mahasiswa pun semakin mengemuka. Tidak sedikit yang memilih jalur berbeda berdasarkan ideologi, kepentingan, atau bahkan afiliasi politik. Pola pikir yang terpecah-pecah ini membawa dampak negatif pada efektivitas gerakan. Mahasiswa yang seharusnya menjadi satu barisan dalam memperjuangkan agenda reformasi, justru terjebak dalam persaingan antar-kelompok. Hal ini bukan hanya melemahkan gerakan, tetapi juga membuka peluang bagi pihak-pihak luar untuk memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka sendiri.
Saya tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa kondisi ini diperparah dengan kurangnya integritas di beberapa kalangan mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya bergabung ke dalam gerakan untuk alasan yang mungkin lebih pragmatis daripada idealis. Seiring berjalannya waktu, motivasi ini terkikis, dan gerakan mahasiswa hanya menjadi ajang untuk menaikkan nama, mencari pengaruh, atau bahkan sekadar formalitas organisasi. Akibatnya, gerakan ini kehilangan jiwa yang dulu membuatnya diperhitungkan oleh pemerintah dan disegani masyarakat.
Krisis Arah dan Visi
Melihat perkembangan ini, saya merasa ada krisis besar dalam arah dan visi gerakan mahasiswa saat ini. Mereka yang seharusnya mampu memaksa pemerintah untuk konsisten dalam menjalankan agenda reformasi, justru terlihat tidak memiliki konsistensi dalam gerakannya sendiri. Gerakan mahasiswa yang tidak memiliki arah yang jelas tentu sulit untuk diandalkan sebagai penjaga idealisme reformasi. Terlebih lagi, ketika gerakan-gerakan ini cenderung parsial, fragmentasi semakin menguat, dan tidak adanya fokus pada isu utama seperti HAM dan KKN, maka sangat sulit berharap pada perubahan besar yang benar-benar berarti.
Baca juga:
Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire mengingatkan bahwa transformasi hanya akan terjadi ketika orang-orang sadar akan masalah mereka. Mungkin inilah yang perlu direnungkan kembali oleh mahasiswa saat ini. Tanpa pemahaman mendalam akan permasalahan yang sedang dihadapi, gerakan ini hanya akan menjadi arus yang mengalir tanpa tujuan jelas.
Namun, harapan itu belum hilang. Saya yakin bahwa mahasiswa memiliki potensi besar untuk kembali memainkan peran strategis dalam perjalanan bangsa ini, asalkan mereka mampu merefleksikan diri, mengakui kelemahan, dan memperbaiki struktur gerakan yang ada. Konsolidasi dan soliditas dalam gerakan perlu menjadi prioritas agar aksi mahasiswa tidak lagi terpecah-pecah dan menjadi lebih efektif. Kerja sama lintas kampus, lintas fakultas, bahkan lintas jurusan akan menjadi kunci untuk kembali membangun kekuatan kolektif yang kuat.
Jika mahasiswa mampu bersatu dalam satu agenda utama, menjaga semangat idealisme, dan bekerja dengan penuh dedikasi serta ketulusan, gerakan ini akan kembali memiliki posisi strategis sebagai kekuatan sosial yang mampu menekan pemerintah dan mengawal agenda reformasi. Saya berharap suatu hari nanti, kita bisa melihat gerakan mahasiswa yang tidak hanya solid dan terorganisir, tetapi juga berdedikasi penuh untuk cita-cita reformasi yang pernah mereka perjuangkan.
Akhirnya, saya sadar, harapan ini mungkin terdengar utopis bagi sebagian orang, tapi bukan berarti mustahil. Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, dan selama mahasiswa masih memiliki semangat untuk belajar, berjuang, dan memperjuangkan kebenaran, gerakan mereka akan terus hidup. Mari, jadikan gerakan mahasiswa bukan sekadar sejarah, tetapi sebagai jembatan perubahan yang nyata bagi masa depan Indonesia.
Editor: Prihandini N