Pendidikan tinggi adalah salah satu pencapaian akademik terbesar seseorang. Namun sangat disayangkan, menurut World Top 20 Project, di negeri yang kita cintai ini, tingkat kelulusan perguruan tinggi hanya berada di angka 19%. Bahkan, hanya nol koma sekian persen yang bisa lulus S-2 atau S-3. Banyak faktor yang memengaruhi hal ini, mulai dari faktor ekonomi, sosial-budaya, dan riwayat pendidikan orang tua. Sebagai negara yang punya tekad kuat untuk maju, kita butuh sumber daya manusia yang mempunyai pendidikan yang berkualitas, khususnya lulusan S-2 atau S-3. Dengan banyaknya masyarakat yang melanjutkan S-2 atau S-3, akan lahir inovasi dan riset yang dapat dijadikan landasan dalam membangun Indonesia di berbagai bidang.
Gelar S-2 atau S-3 adalah salah satu syarat untuk menjadi dosen. Namun, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Indonesia sudah mempunyai dosen-dosen yang berkualitas? Tentu jawabannya bisa sudah, bisa belum. Untuk melahirkan dosen-dosen yang berkualitas, mereka sebaiknya mendapatkan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi terbaik. Ini bukan soal ranking universitas, melainkan kualitas belajar yang mereka peroleh. Misalnya, mereka diberikan beasiswa untuk sekolah di luar negeri. Mereka akan belajar di kampus-kampus terbaik dunia, kemudian balik membawa ideologi dan ilmu pengetahuan yang bisa diberikan kepada mahasiswa di Indonesia.
Ini adalah PR besar pemerintah untuk menyekolahkan dosen yang baru mau melanjutkan S-3 atau calon dosen yang baru akan kuliah magister. Memang akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit, tetapi bukankah pendidikan adalah investasi besar yang dimiliki oleh sebuah negara? Inilah yang harus dipikirkan bersama.
Baca juga:
Memperbanyak Beasiswa
Memberikan beasiswa kepada calon dosen atau dosen di Indonesia adalah salah satu solusi konkret yang harus dipercepat. Negara sama sekali tidak boleh pelit untuk memberikan mereka akses belajar. Mereka adalah guru yang akan melahirkan orang-orang besar, calon pemimpin masa depan Indonesia. Anggap saja beasiswa yang diberikan adalah tanda terima kasih atas ketulusan hati mereka yang mau mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lalu, kenapa harus diberikan beasiswa? Alasannya sangat variatif, tetapi salah satu alasan umum yang sering kita dengar adalah biaya. Tidak dapat dimungkiri biaya untuk kuliah magister atau doktoral sangatlah mahal. Oleh karena itu, bantuan beasiswa sangat dibutuhkan oleh mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi untuk kuliah lagi. Lantas, pertanyaan berikutnya adalah apa urgensi mereka harus kuliah lagi?
Jawabannya sederhana, mereka kuliah untuk memperoleh ilmu dan pengalaman, yang selanjutnya akan dibagikan kepada mahasiswa. Untuk memperoleh ilmu dan pengalaman baru, mereka juga dapat didukung dan didorong untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di luar negeri. Hal ini bukan berarti perguruan tinggi di Indonesia jelek. Perguruan tinggi di Indonesia juga sudah banyak yang bagus, tetapi kalau dilihat secara global, perguruan tinggi di Indonesia masih berada di ranking 350-an besar. Angka ini bisa dibilang cukup jauh jika dibandingkan dengan perguruan tinggi favorit dunia. Jangan jauh-jauh, coba kita lihat negara tetangga kita, Singapura. National University of Singapore sudah menduduki peringkat 8 dunia dan peringkat 1 Asia menurut QS World University Rankings.
Pengalaman kuliah di luar negeri dapat memberikan perspektif baru kepada para calon dosen atau dosen. Dengan begitu, kehadiran mereka di kelas-kelas akan membuka cakrawala mahasiswa. Sebagai contoh, saya mengalami langsung bagaimana diajar oleh dosen yang rata-rata lulusan perguruan tinggi luar negeri atau perguruan tinggi terbaik Indonesia.
Baca juga:
Saat menjadi mahasiswa S-1 Sastra Indonesia Universitas Indonesia, saya diajarkan bagaimana peran data dalam ilmu bahasa, pemanfaatan teknologi untuk penelitian bahasa, dan pengetahuan lain yang tadinya saya kira tidak akan diajarkan di jurusan ini. Misalnya, kami diajarkan membuat korpus linguistik sederhana. Pernah juga kami diajarkan membuat kamus sederhana dengan bantuan teknologi. Ini adalah praktik keilmuan yang juga sudah menjadi tren di jurusan-jurusan bahasa di perguruan tinggi luar negeri, juga sudah diajarkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, tetapi hanya beberapa. Tentunya yang mengajarkan ilmu ini adalah dosen-dosen yang punya riwayat kuliah di luar negeri atau di universitas terbaik di Indonesia. Waktu itu, saya juga ingat pernah diajar oleh salah satu dosen dari Universitas Diponegoro yang merupakan ahli korpus linguistik. Ia lulusan kampus top dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dosen sangat memengaruhi penerapan pembelajaran yang dilakukan di tempat ia mengajar.
Pemberian Akses yang Merata
Ada sebuah perbandingan yang saya alami langsung. Dalam sebuah seminar kebahasaan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri di Indonesia Timur, saya mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan sebuah studi literatur mengenai pemanfaatan korpus linguistik. Satu hal yang membuat saya terkejut adalah ternyata salah satu cabang linguistik yang sudah populer ini sama sekali belum pernah didengar oleh salah satu mahasiswa jurusan bahasa di universitas tersebut. Dugaan saya hanya dua: dia tidak pernah diperkenalkan ilmu tersebut oleh dosennya atau dia yang tidak sungguh-sungguh belajar. Namun, hemat saya, setidaknya kalau dia tidak belajar sungguh-sungguh, dia pernah mendengar frasa “korpus linguistik” dari dosennya, walaupun dia tidak paham sama sekali.
Baca juga:
Satu hal yang saya yakini, dosennya adalah orang-orang hebat yang terus belajar, tetapi belum tentu mereka sudah memperoleh akses belajar di tempat-tempat yang dapat memperkaya pengetahuan mereka secara global. Tidak bermaksud menyalahkan pihak mana pun, tetapi hal ini sangat serius. Bagaimana bisa Indonesia melahirkan sumber daya manusia yang ahli di bidangnya masing-masing, tetapi hal-hal mendasar mengenai ilmu itu saja tidak dipahami. Selain faktor motivasi belajar mahasiswa, faktor dosen juga sangat dibutuhkan untuk mengajarkan mahasiswa dengan cara yang modern.
Saya yakin, dosen-dosen di Indonesia adalah mereka yang berhati mulia untuk mengajar. Mereka merelakan sebagian hidup mereka untuk belajar, belajar, dan belajar. Kalau Indonesia punya cita-cita melahirkan generasi yang unggul di masa depan, Indonesia juga harus menaruh perhatian penuh bagi para dosen yang merupakan garda terdepan pendidikan tinggi. Inovasi, riset, dan pengabdian masyarakat banyak lahir dari perguruan tinggi. Itu adalah buah pemikiran dan pendampingan dosen yang bekerja untuk kepentingan bersama. Walaupun masih banyak juga dosen yang tidak seperti itu, setidaknya itu tidak menjadi hambatan bagi dosen lain yang ikhlas dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Hari ini, kita melihat bahwa banyak program beasiswa S-2, S-3, bahkan S-2 dan S-3 sekaligus. Sayangnya, beasiswa-beasiswa itu belum bisa dibilang banyak kalau dibandingkan dengan negara-negara lain. Di sisi lain, banyak dosen yang harus berjuang mati-matian dalam mengejar beasiswa agar mereka bisa melanjutkan pendidikan doktoral. Bahkan, banyak juga sarjana yang punya cita-cita menjadi dosen harus berjuang mengalahkan ribuan hingga ratusan ribu pelamar beasiswa. Oleh karena itu, sebaiknya sistem beasiswa di Indonesia diatur lagi agar para dosen, calon dosen, atau siapa pun yang ingin sekolah lagi untuk membangun Indonesia memiliki kemudahan akses. Walaupun yang terjadi saat ini sebaliknya, alih-alih memudahkan, justru menyulitkan.
Editor: Prihandini N