Logika Neo-Mistik Dunia Akademik

Abdur Rohman

2 min read

Lunturnya logika mistik agaknya masih menjadi sebuah hal yang utopis. Sebaliknya, logika mistik kini bertransformasi dengan gaya baru, di sini penulis menyebutnya logika neo-mistik. Logika mistik awalnya dikritik karena keabsahannya tidak dapat dibuktikan secara angka, ilmiah, atau kebendaan. Namun kini, dunia akademik mewarisi logika tersebut. Bedanya, dunia akademik bukan tidak percaya pada perolehan angka, sebaliknya, ia justru terlalu menekankan angka dan justru menomerduakan substansi. Artinya, objek supranatural bukan lagi benda gaib, melainkan sesuatu yang sudah terobjektivikasi dalam bentuk angka dan data. Padahal, apa yang ditunjukkan oleh data belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya.

Ritual Publikasi Jurnal

Salah satu ciri logika mistik adalah keyakinannya pada ritual-ritual yang dianggap sakral. Meskipun ritual tidak membuktikan dampak apa-apa secara nyata, penganutnya memposisikan ritual sebagai sebuah kewajiban. Jika diabaikan, mereka percaya hal buruk akan menimpa diri mereka, atau seluruh anggota kelompoknya. Inilah yang juga sedang terjadi pada civitas academica di perguruan tinggi. Terdapat ritual publikasi jurnal untuk menjaga reputasi universitas di bidang penelitian.

Baca juga:

Dalam logika neo-mistik, ritual publikasi jurnal berbeda dengan ritual dalam logika mistik. Jika ritual dalam logika mistik tidak mensyaratkan bukti, dalam ritual publikasi jurnal ada lembaga pengukur setiap jurnal yang dipublikasikan. Dengan begitu ritual tersebut sudah diobjektivikasi dalam bentuk angka ketercapaian. Angka-angka inilah yang dipercaya oleh dunia akademik sebagai ketercapaian bidang penelitian. Bahkan, pengukuran kualitas pendidikan tinggi nasional maupun internasional selalu melibatkan indikator ketercapaian publikasi jurnal. Artinya, semakin banyak jurnal penelitian yang dipublikasi, semakin baik pula reputasi yang dimiliki. Inilah awal lahirnya logika neo-mistik dalam dunia akademik.

Ketika jumlah publikasi jurnal menjadi indikator pengukuran, instansi akademik berlomba-lomba untuk memublikasi jurnal sebanyak mungkin. Dampaknya, beban akademisi menjadi sangat berat. Alih-alih meningkatkan kualitas, akademisi lebih tertarik untuk meningkatkan kuantitas penelitiannya. Hal ini sudah menjadi kemakluman dalam pertarungan dunia akademik masa kini. Jika sebuah instansi atau seorang akademisi tidak berhasil menerbitkan jurnal penelitian, poin angka mereka akan menurun. Kondisi inilah yang ditakutkan para aktor dalam dunia akademik. Padahal, angka yang ditunjukkan belum tentu menunjukkan kebermanfaatan publikasi tersebut.

Di lingkungan pendidikan tinggi, hasrat ini sering pula dilampiaskan pada mahasiswa. Instansi pendidikan tinggi mewajibkan mahasiswanya agar memiliki publikasi jurnal sebagai syarat kelulusan. Bahkan, banyak dosen mengharuskan mahasiswa untuk menerbitkan tugas penelitian dan mencantumkan nama dosennya pada sebuah jurnal. Hal ini menjadi sangat problematik ketika semua dosen yang mengampu mata kuliah menerapkan cara ini. Artinya, mahasiswa bisa mengemban tugas 5 sampai 8 penelitian selama 6 bulan atau satu semester. Pertanyaanya, apakah kita bisa menjamin penelitian tersebut berkualitas?

Beberapa tahun terakhir, kasus plagiasi yang melibatkan akademisi Indonesia sempat ramai, bahkan hingga ke dunia internasional. Ini menjadi bukti bahwa publikasi jurnal di Indonesia adalah ritual yang tidak sehat. Pada 2023, tiga penulis dari IAIN Madura, yakni dua mahasiswa dan satu dosen, memplagiasi tesis mahasiswa pascasarjana UIN Yogyakarta. Akademisi dari IAIN Madura tersebut mengubah tesis akademisi dari UIN Yogyakarta menjadi artikel jurnal. Pada 2024, dosen dari Universitas Cambridge juga mengungkap dugaan plagiasi dari mahasiswa dan dosen ITPLN Jakarta pada penelitiannya. Setelah viral, akademisi dari Universitas Cambridge tersebut mendapat email permohonan maaf dari mahasiswa dan dosen ITPLN Jakarta.

Baca juga:

Inilah bukti bahwa publikasi jurnal kini hanya menjadi ritual dunia akademik, sebab akademisi telah terjebak dalam logika neo-mistik. Mereka mengabaikan norma dan tujuan utama penelitiannya, dan hanya fokus pada ritual untuk meningkatkan reputasi akademiknya.

Menimbang Kembali Indikator Pemeringkatan

Tan Malaka mencita-citakan kehidupan masyarakat yang lepas dari logika mistik. Hal ini bukan berarti kita harus membuang kepercayaan pada kekuatan supranatural, melainkan kita perlu mengimbanginya dengan bukti kebendaan. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak akan mudah dibohongi atau gampang dimanipulasi. Hal inilah yang juga diharapkan dalam dunia akademik di Indonesia. Sebagai kelompok berpengetahuan, seharusnya akademisi mampu menjaga integritas mereka sebagai seorang peniliti. Sebab, merekalah yang menjadi acuan utama bidang keilmuan.

Dalam upaya kembali pada marwah dunia akademik, dibutuhkan keberanian untuk lepas dari kepercayaan logika neo-mistik. Pengejaran pada capaian penerbitan jurnal penelitian harus dihilangkan. Akademisi harus berhenti menganggap bahwa publikasi jurnal adalah sebuah ritual untuk mendapat pengakuan. Sebab, hal ini mengganggu integritas seorang peneliti.

Beberapa pendidikan tinggi di luar negeri sudah mulai mengambil sikap ini. Pada Maret 2024, Universitas Zurich keluar dari proses pemeringkatan univeritas dunia yang dilakukan oleh Times Higher Education (THE). Alasannya, pemeringkatan tersebut hanya fokus mengukur output, sehingga hanya mendorong untuk memperbanyak publikasi daripada memperhatikan kualitas publikasinya. Sebelumnya, sudah banyak universitas lain di dunia yang juga memilih untuk keluar dari pemeringkatan ini, mulai dari Renmin University of China, Nanjing University, hingga Utrecht University yang berada di top 100.

Melihat dunia akademik di Indonesia yang tidak sehat, penulis berpendapat bahwa indikator jumlah publikasi penelitian perlu dipertimbangkan kembali dalam mengukur kualitas pendidikan tinggi. Jika terus diabaikan, publikasi jurnal bukan malah memperbaiki kualitas pendidikan tinggi, sebaliknya, justru memperburuk reputasi Indonesia di dunia internasional.

 

 

Editor: Prihandini N

Abdur Rohman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email