Bimbingan belajar sudah jadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan SMA. Bimbel seakan jadi sekolah kedua bagi kebanyakan siswa SMA yang justru lebih giat mengikuti pembelajaran di sana. Sementara itu, pendidikan formal seakan cuma ditempuh buat mendapatkan nilai dan ijazah.
Perkembangan lembaga-lembaga bimbingan belajar sendiri pun pesat bukan main. Jangkauan mereka semakin luas, cabang-cabangnya pun semakin terintegrasi. Bimbel beralih fungsi dari hanya membantu siswa yang kesulitan belajar menjadi solusi buat berbagai permasalahan akademis. Mau meraih peringkat tertentu atau latihan seleksi masuk perguruan tinggi? Semua bisa bimbel tangani!
Sebagai siswa salah satu SMA negeri di Semarang saat menulis esai ini, pengalaman saya bersinggungan dengan bimbingan belajar sudah tidak bisa dihitung lagi jumlahnya. Meski tidak terdaftar di bimbel mana pun, keberadaan jasa bimbel tidak serta merta bisa disisihkan dari hidup saya. Yang paling remeh, misalnya, perkara pergaulan. Persentase siswa dalam satu angkatan saya yang mengikuti bimbel bisa dipastikan lebih dari lima puluh persen. Yang lebih khusus dan mengusik salah satunya adalah berseliwerannya trik-trik khusus pengerjaan soal berikut latihan-latihannya dari beberapa bimbel.
Lantas, bagaimana sekolah, selaku institusi pendidikan formal, menempatkan diri di tengah fenomena maraknya bimbel?
Baca juga:
Menariknya, bukan hanya siswa SMA yang termakan tren industri raksasa bimbingan belajar. Beberapa sekolah bahkan secara terang-terangan merekomendasikan dan mengarahkan anak didiknya untuk mengikuti program bimbel. Ini terlihat dari bagaimana sekolah memberikan satu hingga dua jam pembelajaran untuk promosi bimbel.
Promosi bimbel umumnya dibungkus dengan judul-judul seperti Tips Menjadi Juara Kelas atau Strategi Menembus Perguruan Tinggi Negeri Favorit. Struktur promosinya juga relatif sama. Setelah pengantar dari pihak sekolah, pembicara dari bimbel yang dipromosikan akan menampilkan data-data mengenai betapa “menakutkannya” proses masuk perguruan tinggi negeri: seleksinya ketat, hanya sedikit yang diterima. Kemudian, bak juru selamat, bimbel muncul dengan aneka solusi serba jaminan sukses.
Keunggulan yang ditawarkan bimbel satu dengan bimbel lainnya bisa berbeda-beda. Bimbel Operasi Gajah, misalnya, menawarkan prediksi soal yang diklaim paling akurat, berikut metode penyelesaian yang lebih cepat. Tawaran yang diberikan oleh bimbel lain juga tidak kalah menggiurkannya, mulai dari layanan yang buka 24 jam hingga gratis tryout antarcabang. Ujung-ujungnya, macam-macam gimmick itu akan ditutup dengan salindia berisi penawaran paket bimbingan belajar dengan embel-embel diskon khusus bagi calon peserta didik yang memenuhi kriteria tertentu.
Pernah sekali sekolah saya mendatangkan promosi dari tiga bimbel sekaligus dalam satu hari. Masing-masing diberi waktu sekitar dua jam pembelajaran untuk berpromosi. Selain, dari Operasi Gajah yang sudah jadi langganan, kali ini datang pula bimbel Elektron dan Intan. Sebenarnya, lucu melihat tiga bimbel tersebut sama-sama berupaya menarik anak didik sebanyak-banyaknya lewat promosi yang difasilitasi oleh sekolah. Namun, karena berlangsung selama seharian penuh, yang berkesan pada saya hanya rasa eneg belaka.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jasa bimbel hanya mengemban peran komplementer alias hanya melengkapi apa yang tidak dapat disediakan oleh sekolah, yakni penguasaan materi dalam waktu yang terbatas. Artinya, siswa-siswa yang merasa kurang mampu mengejar materi baru akan memperkaya referensi belajar mereka dengan bantuan bimbel.
Namun, melihat apa yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah negeri cenderung langsung mengarahkan siswa untuk menggunakan jasa bimbel. Bagi saya, ini adalah penanda adanya sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan kita.
Saya jadi menduga, bagaimana jika promosi bimbel di sekolah adalah bentuk sponsorship atau paid promote? Jadi, sekolah menerima sejumlah uang sebagai kompensasi karena telah menyisihkan jam belajarnya untuk promosi bimbel. Jika benar motifnya ekonomi, patut dipertanyakan bagaimana aliran dana dari pusat sampai pada sekolah-sekolah di daerah sampai-sampai sekolah negeri perlu menerima sponsor swasta. Kemudian, kalaupun menerima pendanaan swasta bukan pelanggaran, apakah etis bila sekolah negeri mencari pendanaan dari pihak yang mendulang untung dari ketidakmampuan sekolah negeri mendidik secara maksimal?
Rasa-rasanya, tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa industri bimbel raksasa ini adalah gejala kebobrokan sistem pendidikan formal di tanah air. Mengapa begitu?
Pertama, pemberian legitimasi dari institusi pendidikan formal kepada industri bimbel berarti mencederai cita-cita mewujudkan pendidikan yang inklusif. Dukungan terbuka terhadap industri bimbel—yang mengapitalisasi pendidikan—oleh sekolah negeri—yang idealnya menjadi penggerak pendidikan inklusif—membentuk cara pandang tenaga pendidik terhadap peran sekolah, yakni menjadi sekadar pencatatan nilai belaka. Sementara itu, kewajiban menyediakan pendidikan yang bermutu justru berpindah tangan ke penyedia jasa bimbel. Sungguh ironis melihat betapa mudahnya tenaga pendidik masa kini berucap, “Nanti bisa ditanyakan ke guru les kalian, ya,” setelah memberi penjelasan yang sukar dipahami.
Legitimasi itu jugalah penghinaan bagi kebijakan yang berusaha menghadirkan pendidikan bermutu bagi seluruh kalangan. Misalnya, kebijakan menghapus uang SPP di sekolah negeri yang jadi omong kosong belaka kalau kewajiban menyediakan pendidikan bermutu ujung-ujungnya ditimpakan pada bimbel. Atau, keputusan Mendikbud Ristek di akhir 2022 lalu untuk menghapus Tes Kemampuan Akademik (TKA) dan menggantinya dengan Tes Potensi Skolastik (TPS) pada UTBK SBMPTN agar peserta didik tidak bergantung pada bimbel dalam menyiapkan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Tak kehabisan akal, lembaga bimbel kini menjanjikan prediksi akurat soal-soal TPS.
Kedua, apabila benar sekolah membiarkan bimbel berpromosi dengan motif ekonomi, artinya sekolah memosisikan siswa sebagai sumber daya yang dieksploitasi untuk menarik modal dari bimbel. Bimbel kerap meminta siswa mengisi formulir berisi data diri dan kontak ketika berpromosi di sekolah. Berbekal isian formulir itu, bimbel bisa dengan leluasa membombardir ponsel siswa dan wali murid dengan spam promosi. Secara tak langsung, sekolah mengambil untung dengan menjual data pribadi siswanya kepada bimbel.
Eksistensi dan perkembangan masif industri bimbel memang tidak lepas dari tingginya permintaan terhadapnya. Namun, kita jangan sampai menafikan bahwa maraknya bimbel adalah masalah struktural, yakni kurangnya kualitas sistem pendidikan dan tenaga pendidik di sekolah-sekolah negeri.
Akhir kata, semoga refleksi dari esai sekadarnya ini dapat bermanfaat buat penciptaan iklim pendidikan yang lebih baik.
Editor: Emma Amelia