Mahasiswa Sosiologi Univ. Airlangga

SMA Unggulan Garuda: Tempat Siswa Terbaik atau Proyek Elite?

jihan adila rahmi

3 min read

SMA Unggulan Garuda, dengan segala ambisi dan grand design-nya, memang terdengar seperti sebuah langkah besar menuju peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Namun, jika kita menilik lebih dalam, apakah program ini benar-benar memberi kesempatan yang setara bagi semua lapisan masyarakat atau justru menciptakan lebih banyak jurang pemisah antara yang unggul dan yang biasa?

Proyek ambisius SMA Unggulan Garuda digagas oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk menjawab kebutuhan akan sekolah unggulan demi mempersiapkan siswa-siswi menempuh pendidikan di universitas top dunia. Bisa dikatakan ini bukan sekolah biasa, melainkan pra-universitas dengan standar yang jauh lebih tinggi dibandingkan SMA pada umumnya.

Satryo menegaskan bahwa sekolah unggulan ini nantinya akan menjadi tempat persiapan siswa untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi terbaik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan sistem pendidikan yang dirancang sangat tinggi, para siswa ini diharapkan dapat mengimbangi, bahkan melampaui, siswa-siswa dari negara maju. 

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Stella Christie, mengungkapkan bahwa SMA Unggulan Garuda tidak hanya akan mendatangkan guru lokal, tetapi juga guru dari luar negeri. Guru asing ini diharapkan bisa memberikan wawasan mengenai pendidikan di luar negeri, serta bagaimana siswa Indonesia dapat memasuki universitas-universitas kelas dunia.

Baca juga:

Hingga saat ini, belum ada penjelasan jelas mengenai kriteria penerimaan siswa ke sekolah ini. Pemerintah hanya memastikan bahwa seleksi akan mempertimbangkan faktor inklusivitas dan keanekaragaman wilayah serta latar belakang ekonomi.

Pemerintah menargetkan akan ada 40 SMA Unggulan Garuda pada tahun 2029, dengan pembagian 20 sekolah yang akan ditingkatkan kualitasnya dan 20 sekolah baru yang akan dibangun. Program ini dipandang sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi tantangan pendidikan global. Namun, di balik ambisi besar ini, muncul beberapa pertanyaan dan kekhawatiran, terutama terkait dampak dari proyek ini pada sistem pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.

Pendidikan Unggul Milik Siapa?

Dalam sosiologi, kita mengenal konsep mobilitas sosial, yaitu kemampuan individu untuk bergerak di antara lapisan sosial dalam masyarakat. SMA Unggulan Garuda ini, meskipun tampaknya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, berpotensi menghambat mobilitas sosial. Sekolah-sekolah dengan standar sangat tinggi yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang akan membuat mereka yang kurang beruntung semakin terpinggirkan. 

Pernyataan Stella Christie mengenai kebutuhan akan guru asing juga sangat menggelitik. Ya, memang benar membuka wawasan internasional adalah hal yang penting, tetapi apakah solusi terbaik untuk masalah pendidikan di Indonesia adalah dengan mendatangkan guru asing? Ini justru mencerminkan kultur pendidikan kolonial yang terus menganggap bahwa sistem pendidikan luar negeri lebih unggul daripada sistem lokal.

Bukankah seharusnya kita mengutamakan pengembangan guru lokal yang lebih memahami karakteristik siswa Indonesia? Memiliki wawasan global tentu penting, tetapi apakah pendidikan Indonesia tidak bisa maju tanpa harus bergantung pada pendidikan asing?

Hegemoni pendidikan internasional ini juga tampak jelas dalam proyek SMA Unggulan Garuda. Mengandalkan pendidik dari luar negeri sebagai tolok ukur pendidikan berkualitas bisa dianggap sebagai wajah hegemoni negara-negara maju dalam mengatur apa yang dianggap sebagai standar pendidikan dunia.

Apakah kita benar-benar percaya bahwa pengetahuan global hanya bisa diakses dengan mendatangkan guru asing? Sering kali, solusi semacam ini tidak memperhitungkan konteks lokal yang penting bagi pemahaman pendidikan secara menyeluruh.

Kehadiran guru asing untuk memberikan wawasan tentang universitas terbaik dunia memang terdengar seperti solusi instan yang sederhana. Namun, hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa guru lokal kita kurang mampu memberikan wawasan yang sama. Padahal, jika kita berfokus pada pengembangan kualitas guru lokal—baik dari segi materi, metodologi, maupun pengembangan profesional mereka—mungkin kita akan mendapatkan hasil yang lebih substansial dalam jangka panjang.

Pemerintah mengklaim bahwa SMA Unggulan Garuda akan inklusif, memberikan kesempatan kepada semua anak dari berbagai wilayah dan latar belakang ekonomi. Namun kenyataannya, siapa yang bisa benar-benar mengakses pendidikan dengan standar setinggi itu? Tentu hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial dan akses informasi yang cukup.

Baca juga:

Lalu, bagaimana dengan anak-anak di daerah terpencil, di luar jangkauan proyek ambisius ini? Apakah mereka hanya akan menjadi penonton dari kejayaan pendidikan unggul yang hanya dapat dijangkau oleh segelintir orang?

Teori ketimpangan sosial yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu sangat relevan dalam kasus ini. Menurut Bourdieu, sistem pendidikan sering memperkuat ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan adanya sekolah-sekolah unggulan seperti SMA Garuda, yang cenderung hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, kita justru memperbesar jurang ketimpangan ini. Siswa yang memiliki latar belakang ekonomi kuat akan semakin mudah mengakses pendidikan berkualitas, sementara mereka yang kurang beruntung tetap terjebak dalam pendidikan yang jauh dari standar internasional.

Jika SMA Unggulan Garuda benar-benar ingin mengedepankan kualitas pendidikan yang merata, program ini seharusnya tidak hanya fokus pada segelintir orang yang beruntung. Harus ada upaya untuk memastikan bahwa anak-anak dari seluruh pelosok Indonesia, dengan segala keterbatasannya, juga bisa mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus “ditandai” sebagai tidak layak untuk sekolah unggulan.

Melanggengkan Sistem Kasta dalam Pendidikan

Proyek SMA Unggulan Garuda ini, meskipun disusun dengan niat baik, justru berpotensi melanggengkan sistem kasta di Indonesia.  Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, malah menciptakan kesenjangan yang lebih lebar.

Dalam sistem stratifikasi sosial, sistem pendidikan yang cenderung tidak inklusif akan memperkuat stratifikasi sosial yang sudah ada. Di sini, kita melihat bahwa SMA Unggulan Garuda berisiko menjadi tempat yang hanya mengakomodasi individu yang sudah memiliki status sosial dan berasal dari kelas ekonomi atas, sementara anak-anak dari kalangan ekonomi menengah ke bawah tetap kesulitan untuk mengakses pendidikan bermutu.

Kita perlu bertanya: Apakah ini adalah pendidikan yang inklusif dan merata? Apakah pendidikan tetap menjadi sarana untuk mobilitas sosial atau justru menjadi alat untuk menjaga status quo?

Baca juga:

Jika proyek ini bertujuan untuk memberikan akses pendidikan yang setara, harusnya kita fokus pada kualitas pendidikan di seluruh jenjang, bukan hanya berfokus pada sekelompok siswa yang dianggap unggul. Masih banyak masalah pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian, seperti sekolah-sekolah di pelosok daerah yang tidak memiliki fasilitas yang memadai dan kesejahteraan guru yang masih diabaikan. Bukankah hal tersebut menjadi perhatian utama yang perlu dibenahi sebelum menggelontorkan dana besar untuk membangun SMA unggulan?

Jadi, apakah SMA Unggulan Garuda akan menjadi “tempat terbaik untuk yang terbaik” atau justru sebuah proyek elite yang akan mengabaikan hak anak bangsa yang tidak beruntung? Kita tentu berharap bahwa tujuan pemerintah untuk mencetak lulusan unggul tidak akan menjadi alasan untuk menutup akses bagi mereka yang belum beruntung.

 

 

Editor: Prihandini N

jihan adila rahmi
jihan adila rahmi Mahasiswa Sosiologi Univ. Airlangga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email