Ancaman terhadap kebebasan pers kembali terjadi. Tempo, salah satu media yang dikenal berani dalam mengungkap fakta, mendapat kiriman kepala babi dan enam ekor tikus di depan kantornya. Sebuah simbol teror yang terang-terangan ingin membungkam. Sebuah pesan gelap dari mereka yang gerah dengan keberanian jurnalis dalam mengungkap kebenaran. Sayangnya, ini bukan kasus pertama. Dunia pers di Indonesia masih terus bergelut dengan ancaman dan intimidasi, sebuah ironi di negeri yang mengaku demokratis.
Teror semacam ini bukan hanya tindakan iseng atau gertakan belaka. Ini adalah bentuk nyata dari upaya membungkam kebebasan berbicara dan menyampaikan informasi. Insan pers yang bekerja untuk menyajikan fakta sering kali menjadi target mereka yang merasa terancam oleh kebenaran. Mulai dari tekanan verbal, penggembosan media, serangan digital, hingga ancaman fisik seperti yang dialami Tempo. Seolah ada pihak yang ingin mengatakan: berhenti bicara, atau ada konsekuensi.
Padahal, hak untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Maka, segala bentuk upaya pembungkaman terhadap jurnalis dan media adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional yang seharusnya dilindungi negara.
Sejarah Pembungkaman Suara Kritis
Jika kita tarik ke belakang, kasus ini mengingatkan kita pada sosok Widji Thukul. Penyair yang lantang menyuarakan ketidakadilan melalui puisi-puisinya, namun akhirnya “dibungkam” oleh rezim Orde Baru. Suaranya yang membakar semangat perlawanan justru membuatnya menjadi target penguasa. Sama seperti Tempo hari ini, Widji Thukul juga mengalami tekanan karena keberaniannya berkata jujur. Ia menulis puisi sebagai bentuk perlawanan, sementara Tempo dan media-media lain menuliskan fakta-fakta yang ingin disembunyikan. Bedanya, Widji Thukul dipaksa hilang secara fisik, sedangkan media saat ini berusaha dibungkam dengan cara lain.
Baca juga:
“Hanya ada satu kata: lawan!” tulis Widji Thukul dalam salah satu puisinya. Kata-kata ini masih relevan sampai sekarang. Kebebasan berbicara dan mengungkapkan kebenaran, baik melalui puisi maupun jurnalistik, seharusnya menjadi hak yang dilindungi. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Baik jurnalis maupun seniman yang kritis kerap kali mendapat ancaman, bahkan bisa menghilang tanpa jejak. Jika media tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, bagaimana rakyat bisa mendapatkan informasi yang jujur dan transparan?
Kasus intimidasi terhadap jurnalis bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak era reformasi, banyak wartawan mengalami ancaman, kekerasan, hingga pembunuhan karena berita yang mereka tulis. Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi setiap tahunnya. Bentuknya pun beragam, dari peretasan, intimidasi fisik, ancaman hukum, hingga serangan langsung seperti yang dialami Tempo.
Kebebasan Pers dalam Bayang-Bayang Rezim Otoriter
Sayangnya, kasus-kasus kekerasan terhadap pers sering kali tidak berujung pada keadilan. Pelaku teror jarang tertangkap, sementara korban hanya bisa berharap sistem hukum bisa berpihak pada mereka. Nyatanya, perlindungan terhadap jurnalis masih sangat lemah. Alih-alih mendapat dukungan, media yang kritis sering kali justru dianggap sebagai ancaman. Di beberapa kasus, tekanan datang bukan hanya dari pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, tetapi juga dari institusi yang seharusnya melindungi kebebasan pers.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan terhadap pers semakin beragam. Jika dulu ancaman datang dalam bentuk kekerasan fisik, kini ada cara lain yang lebih halus namun tetap mematikan: kriminalisasi jurnalis. Melalui undang-undang yang multitafsir, media dan jurnalis bisa dengan mudah diperkarakan jika pemberitaan mereka dianggap mencemarkan nama baik atau mengganggu stabilitas. Alih-alih menggunakan hak jawab atau mekanisme pers yang sehat, pihak-pihak yang merasa terancam lebih memilih jalur represif untuk menghentikan suara-suara kritis.
Apa Jadinya Demokrasi Tanpa Pers
Kiriman kepala babi dan tikus ke kantor Tempo bukan sekadar iseng. Ini adalah bentuk nyata dari upaya membungkam. Pertanyaannya, sampai kapan kebebasan pers di negeri ini akan terus diteror? Jika media tak bisa berbicara, dan suara kritis terus dibungkam, apakah kita masih bisa menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka? Kebebasan pers adalah indikator utama dari sebuah negara demokratis. Jika pers dikebiri, maka demokrasi hanya akan menjadi jargon kosong tanpa makna.
Baca juga:
Widji Thukul telah lama hilang, namun suaranya masih menggema. Sementara Tempo dan media-media lain masih bertahan, melawan arus tekanan dan ancaman. Tetapi kita semua tahu, tanpa perlindungan yang jelas terhadap kebebasan pers, ancaman ini bisa berubah menjadi kenyataan yang lebih buruk. Jika suara mereka dibungkam, lantas siapa lagi yang akan bersuara? Kita sebagai masyarakat juga harus sadar bahwa kebebasan pers bukan hanya milik para jurnalis. Ini adalah hak kita semua untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan.
Saat ini, kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan ancaman terhadap kebebasan pers terus berlanjut, atau bersama-sama melawan dengan memberi dukungan terhadap media yang masih berani menyuarakan kebenaran. Jika kita diam, maka para pelaku teror akan semakin leluasa. Kita harus belajar dari sejarah bahwa kebungkaman adalah awal dari hilangnya kebebasan. Hari ini, kepala babi dan tikus dilempar ke kantor media. Jika tidak ada perlawanan, besok bisa saja yang diteror bukan hanya jurnalis, tetapi siapa saja yang berani berbicara lantang Menyuarakan kebenaran yang seharusnya dilindungi kebebasannya oleh negara harusnya juga dijamin perlindungannya.
Perlawanan terhadap represi tidak bisa hanya dilakukan oleh media. Masyarakat harus berdiri di belakang mereka, memastikan bahwa kebebasan pers tetap terjaga. Sebab, ketika pers dibungkam, maka rakyatlah yang sesungguhnya kehilangan suara. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga kebebasan ini. Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Editor: Prihandini N