Undergraduate Law Student who has completed Bachelor of Law program at the Faculty of Law, Universitas Airlangga, Surabaya

Anomali Negara Demokrasi

Calvin Wie

2 min read

“Demokrasi tidak mati di genggaman senjata prajurit berbaju loreng dengan tank-tank di jalanan, tetapi ia mati di tangan pemimpin yang dipilih dari hasil pemilihan umum (pemilu).”

Tulisan dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt itu pada mulanya berupaya menjawab pertanyaan, “Apakah demokrasi kita (Amerika Serikat) dalam bahaya?” Tatkala rakyat masih bisa makan dari hasil keringatnya sendiri, sulit untuk membangunkan alarm peringatan darurat. Sementara itu, pemimpin yang dipilih melalui pemilu—secara lambat namun pasti—membajak proses demokrasi dengan cara-cara yang nyaris tak kasat mata: menjadikan pengadilan dan badan netral lainnya sebagai alat melegitimasi kekuasaan, menggencet media dan sektor swasta agar diam, atau bahkan mengubah aturan politik agar keseimbangan kekuatan berubah menjegal lawan. Semua itu dilakukan secara perlahan, halus, bahkan dilegalkan. Erosi demokrasi semacam itu hampir tak dirasakan oleh banyak orang.

Jika benar sejarah selalu berulang, itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Meskipun tak pernah terbayangkan sebelumnya sejak Reformasi yang melahirkan era demokratisasi, dalam setengah dekade terakhir, rakyat disuguhkan dengan pelbagai upaya melemahkan pilar-pilar demokrasi.

Pejabat eksekutif bersekongkol dalam satu gerbong yang sama dan menjadikan parlemen sekadar tukang stempel kebijakan pemerintah. Pada saat yang sama, aksi semacam itu justru didukung oleh partai politik yang beramai-ramai membangun koalisi raksasa, nyaris tanpa oposisi. Tak ketinggalan, badan peradilan yang semestinya merdeka dari pengaruh kekuasaan kini tercemar akibat didesak dalam pusaran politik dengan berbagai political question yang menjebak dirinya.

Baca juga:

Tak pernah terbayangkan pula kami bertanya: Apakah keadaan semacam ini adalah anomali demokrasi? Reformasi 1998 yang mengakhiri otoritarianisme Orde Baru pada mulanya memang banyak mengubah wajah tata kelola pemerintahan menjadi demokratis: Undang-Undang Pers membuka keran kebebasan pers, lahirnya lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga digelarnya pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin nasional dan daerah. Kesungguhan itu bahkan diwujudkan dengan membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) guna menjamin kemurnian Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen.

Namun, praktik yang terjadi saat ini menunjukkan gelagat yang menjauh dari Pembukaan UUD 1945. Tak penting menentukan titik anjak pelanggaran yang sudah kadung terjadi. Pembangkangan terhadap konstitusi terjadi hampir di semua lini kehidupan bernegara. Celakanya kehancuran demokrasi itu terjadi saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sosok pemimpin yang diidentikkan sebagai kemenangan terhadap oligarki lantaran sosoknya yang makan di pinggir jalan bak rakyat kebanyakan. Seakan melempar sinyal bahwa tak perlu berharap terlalu banyak sebab tak ada yang benar-benar ideal dalam politik.

Masih hangat di ingatan kita, tak berselang terlalu lama setelah pemungutan suara lima tahun silam, seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat—tak peduli koalisi atau oposisi—kompak menyetujui revisi Undang-Undang KPK. Melalui undang-undang ini, KPK berada di bawah presiden yang membuatnya tak bisa bergerak bebas dan leluasa.

Dugaan gratifikasi Kaesang adalah contoh paling mudahnya. Dalih pejabat KPK: Kaesang bukan penyelenggara negara dan oleh karenanya tak ada kewajiban bagi KPK untuk memanggil Kaesang untuk klarifikasi. Namun semua juga tahu Kaesang bukan rakyat biasa. Ia adalah putra presiden petahana yang tak sembarang orang boleh memberikan hadiah secara cuma-cuma.

Di sisa masa jabatan periode kedua, semua dikejutkan dengan restu sang ayahanda menyusul majunya putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Belum terpenuhinya syarat minimal usia 40 tahun bukan menjadi halangan bagi Gibran. Seakan mendapatkan karpet merah, ia melenggang ke kontestasi pemilihan presiden (pilpres) usai MK—yang diketuai pamannya Anwar Usman—mengutak-atik aturan batas usia minimal calon wakil presiden menjadi dikecualikan bagi jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada.

Baca juga:

Majunya Gibran sekaligus membuka lembaran baru kontestasi pilpres yang diikuti oleh anak presiden yang sedang menjabat. Meskipun pernah mewanti-wanti pejabat negara agar bersikap netral dalam gelaran pilpres, sikap presiden seakan berbalik arah usai pernyataannya ihwal presiden boleh berpihak dan mengampanyekan kandidat calon tertentu.

Seakan belum cukup dengan kemenangan telak dalam kontestasi nasional, kini strategi dan siasat yang sama diterapkan dalam kontestasi di tingkat lokal. Partai politik utama penyokong Prabowo-Gibran dengan segala bujuk rayu merangkul partai-partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju untuk mendukung jagoannya dalam pilkada di banyak daerah, membuat rakyat tak punya pilihan lantaran mengunci langkah politik rival untuk mengusung lawan tanding. Inilah cara berpolitik paling kotor abad ini: kontestasi tak lagi dianggap penting, keputusan politik didasarkan pada elektoral semata, dan terhadap mereka yang berbeda dianggap penganggu yang memecah belah bangsa.

Kami tak tahu persis apa yang akan terjadi pada bangsa ini hari-hari ke depan. Sama halnya kami juga tak tahu-menahu soal apakah pemerintahan yang baru dapat menuntaskan pekerjaan rumahnya dalam lima tahun. Tapi satu hal yang pasti. Apabila kehancuran demokrasi seperti ini terus dilakukan dan dibiarkan, pembangkangan sipil niscaya terjadi di mana-mana. Dan apabila generasi terdahulu telah berkorban demi institusi demokrasi dari serangan dari luar, generasi kita—yang saat ini sudah tumbuh dalam demokrasi—menghadapi tugas yang berbeda: kita mesti mencegahnya mati dari dalam.

 

 

Editor: Prihandini N

Calvin Wie
Calvin Wie Undergraduate Law Student who has completed Bachelor of Law program at the Faculty of Law, Universitas Airlangga, Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email