Reformasi Setengah Hati

nuzul mboma

1 min read

Sejarah militer di belahan dunia turut membentuk dan menentukan arah perjalanan suatu negara. Sebagai diskursus kontemporer, wacana militerisme terus dikaji dalam sebuah negara modern yang mengadopsi berbagai corak sistem pemerintahan dari kerajaan hingga demokrasi sipil.

Semenjak Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, banyak negara yang sebelumnya merupakan koloni atau berada di bawah kekuasaan protektorat Barat mendeklarasikan kemerdekaannya. Negara-negara tersebut diasosiasikan sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga pasca-kolonial. Hal tersebut diikuti dengan pembentukan angkatan bersenjata modern sebagai benteng penjaga kedaulatan negara dari ancaman dalam dan luar negeri.

Peran angkatan bersenjata sebagai kekuatan otonom dalam perkembangannya tidak sedikit yang berhasil menggulingkan pemerintahan sipil dan menguasai panggung politik. Alhasil kekuasaan politik tersentralisasi di tangan korps perwira militer dan mereka menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan dalam kehidupan sosial politik.

Baca juga:

Implikasinya ialah hegemoni militerisme dalam kesadaran sipil, baik yang dilakukan melalui indoktrinasi maupun mistifikasi, membangun manipulasi kesadaran terhadap pihak yang dihegemoni. Kesadaran palsu yang diperoleh melalui proses ini menghasilkan hilangnya kesadaran kritis dengan menerima segala sesuatu yang ditawarkan tanpa disadari penyebabnya. Itulah mengapa rezim militer berkuasa begitu lama dalam sebuah negara.

Indonesia, Chile, Mesir, Korea Selatan, Thailand, Myanmar, dan Argentina adalah contoh kasus negara-negara yang pernah dipimpin rezim militer dalam pemerintahannya. Eric A. Nordlinger dalam karyanya Militer dalam Politik menganalisis bahwa bentuk intervensi yang dilakukan oleh perwira militer dalam banyak negara di dunia ketiga bersifat terbuka dan tertutup.

Dalam teorinya, Nordlinger membagi tiga klasifikasi tipologi campur tangan militer dalam politik yakni Moderators, Guardians dan Rulers. Artinya, peran militer sering kali bertransformasi dari satu tipe ke tipe lainnya tergantung sistem pemerintahan yang berjalan.

Ia menjelaskan bahwa meskipun pemerintahan dipimpin oleh pihak sipil akan tetapi kekuasaan mereka dikontrol dan diawasi oleh militer yang tidak menerima supremasi penuh pihak sipil. Sikap militer ini dapat dikatakan sebagai “pretorianisme”. Istilah ini mengacu kepada tampilnya tentara (baca:perwira) sebagai aktor politik terkuat yang sering kali menggunakan kekuatan senjata atau mengancam dengan pola kekerasan.

Seiring perkembangannya, berbagai rezim negara otoritarian tumbang dan transisi politik demokrasi berkumandang di tengah-tengah rakyat sebagai solusi ideal. Kendati demikian, militerisme sebagai diskursus kontemporer sering menciptakan ketegangan antara kelompok militer vis a vis rakyat sipil dan pada umumnya kajian relasi sipil–militer masih tetap relevan diperbincangkan bagi warga negara berkembang seperti Indonesia.

Baca juga:

Relasi Sipil–Militer Pasca-Reformasi

Setelah orde baru bangkrut, reformasi TNI salah satu menjadi agenda prioritas utama yang diamanahkan kepada TNI. Desakan publik menghapuskan peran politik dan ekonomi TNI serta tanggung jawabnya atas pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 1998 berhasil menanggalkan Dwifungsi ABRI dan diperkuat dengan legalisasi UU TNI 2004 sebagai pedoman prajurit militer menuju tentara modern dan profesional. Di sisi lain, arsitektur dan ideologi militerisme yang terbentuk sejak orde baru di tengah masyarakat khususnya warga pedesaan belum sepenuhnya tercerabut dari akarnya.

Disahkannya UU TNI beberapa waktu lalu merupakan jalan mundur dan akan menjadi ancaman besar bagi transisi politik dan supremasi sipil itu sendiri di masa depan. Apa yang melandasi tidak terbangunnya fondasi supremasi sipil yang kokoh seperti di negara-negara pasca-otoritarian di negara dunia ketiga adalah terpecahnya elite sipil dalam partai politik yang notabenenya sebagai perwakilan demokratis sipil “veto player” (Haripin, 2021). Pada akhirnya, reformasi setengah hati mengakibatkan Indonesia seperti kapal yang tersesat di tengah lautan.

nuzul mboma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email