Militer selalu punya cara untuk tetap eksis dalam dinamika kekuasaan. Reformasi 1998 membawa angin segar dengan menempatkan supremasi sipil sebagai prinsip utama dalam pemerintahan. Militer yang dulu bercokol dalam sistem politik dan pemerintahan perlahan dipisahkan dari urusan sipil. Tapi, siapa sangka, dua dekade setelahnya, perubahan itu berjalan mundur.
DPR RI baru saja mengetok palu revisi Undang-Undang TNI. Salah satu poin yang banyak disorot adalah prajurit aktif diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil. Dulu, ada aturan yang menegaskan bahwa militer harus pensiun atau keluar dari dinas aktif jika ingin masuk ke dalam pemerintahan. Kini, aturan itu diubah, memungkinkan mereka tetap berseragam sambil mengemban tugas di ranah sipil.
Bagi sebagian orang yang mendukung kebijakan ini, mungkin terdengar seperti langkah logis. Dengan semakin kompleksnya tantangan keamanan nasional—dari ancaman siber, terorisme, hingga konflik geopolitik—kehadiran militer di posisi strategis pemerintahan dianggap sebagai solusi praktis. Tapi bagi saya, ini bukan hanya soal efektivitas birokrasi. Ini adalah masalah prinsip: sejauh mana demokrasi bisa bertahan ketika batas antara militer dan sipil semakin kabur?
Baca juga:
Di banyak negara yang mengalami transisi demokrasi, supremasi sipil adalah fondasi yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State pernah mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, militer idealnya tunduk pada otoritas sipil yang sah. Jika militer mulai berperan di luar ranah pertahanan, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Sejarah Indonesia sendiri sudah cukup memberikan pelajaran. Era Orde Baru menunjukkan bagaimana dominasi militer dalam pemerintahan dapat mengarah pada penindasan dan pengekangan kebebasan sipil. Setelah lebih dari 20 tahun reformasi, revisi UU TNI ini justru seolah membuka kembali peluang bagi militer untuk merambah ruang-ruang yang dulunya sudah dibersihkan dari pengaruh mereka.
Tentu, ada dalih bahwa ini semua dilakukan demi stabilitas negara. Tapi, pertanyaannya, stabilitas untuk siapa? Apakah stabilitas yang dimaksud adalah ketertiban yang dijaga dengan kontrol ketat, atau stabilitas yang tumbuh dari pemerintahan yang sehat dan partisipatif?
Demokrasi atau Militerisme Terselubung?
Dalam teori politik, ada istilah civil-military relations yang merujuk pada bagaimana hubungan antara sipil dan militer seharusnya dikelola di suatu negara. Konsep ini bukan sekadar teori di atas kertas, tetapi menjadi indikator kesehatan demokrasi. Ketika batasan antara keduanya mulai kabur, yang sering terjadi bukanlah harmoni, melainkan dominasi.
Keberadaan prajurit aktif di jabatan sipil bisa menciptakan ketimpangan dalam birokrasi. Militer, dengan budaya komandonya, cenderung bekerja dalam struktur hierarkis yang menekankan kepatuhan dan disiplin. Ini bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan transparansi, partisipasi, dan kebebasan berpendapat.
Jika perwira aktif mulai mengisi pos-pos strategis di pemerintahan, apakah kita masih bisa berharap ada kebijakan yang benar-benar berbasis kepentingan publik, atau justru kebijakan yang lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan institusi militer?
Banyak contoh di dunia yang bisa menjadi pelajaran. Di Myanmar, keterlibatan militer dalam pemerintahan berakhir dengan kudeta dan pembungkaman hak-hak sipil. Di Thailand, militer berulang kali menggunakan dalih stabilitas untuk mengambil alih kekuasaan. Meski Indonesia tidak berada di titik yang sama, tetapi dengan semakin besarnya peran militer dalam pemerintahan sipil, kita seakan bergerak menuju arah yang serupa, perlahan tapi pasti.
Selain itu, pertanyaan lain yang perlu direnungkan adalah bagaimana mekanisme akuntabilitasnya? Ketika seorang pejabat sipil melakukan kesalahan atau terlibat dalam skandal, ada proses hukum dan politik yang bisa menjeratnya. Tapi, bagaimana jika pejabat itu berasal dari militer? Apakah mereka akan tunduk pada sistem hukum yang sama, atau justru mendapat perlindungan dari institusi mereka?
Pakar hukum militer, Geoffrey Corn, dalam bukunya The Law of Armed Conflict menyebutkan bahwa sistem hukum yang berlaku di kalangan militer sering memiliki standar yang berbeda dengan sistem hukum sipil. Ini bisa menjadi masalah besar jika personel militer yang berada di jabatan sipil justru kebal dari mekanisme hukum yang berlaku bagi pejabat sipil lainnya.
Baca juga:
Bagi saya, yang paling mengkhawatirkan bukan hanya soal legalitas, tetapi dampak jangka panjangnya terhadap demokrasi. Jika masyarakat mulai terbiasa dengan kehadiran militer di ranah sipil, secara perlahan kita kehilangan daya kritis terhadap hal-hal yang seharusnya menjadi prinsip demokrasi. Akhirnya, kita bisa sampai pada titik di mana keterlibatan militer dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang perlu diperdebatkan, melainkan diterima begitu saja sebagai hal yang wajar.
Dan jika itu terjadi, reformasi 1998 yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata bisa jadi tidak lebih dari catatan sejarah yang kehilangan relevansinya.
Demokrasi yang Rawan Tergerus
Pengesahan revisi UU TNI ini bukan hanya sekadar perubahan administratif. Ini adalah ujian bagi komitmen kita terhadap demokrasi. Apakah kita masih percaya pada prinsip supremasi sipil, atau justru tanpa sadar memberi ruang bagi militerisme untuk kembali menguat?
Saya tidak mengatakan bahwa militer adalah ancaman. Mereka adalah bagian dari sistem pertahanan negara yang harus dihormati dan didukung. Tetapi ketika mereka mulai merambah ranah pemerintahan sipil, ada alarm yang sebaiknya kita dengarkan.
Dalam demokrasi, keseimbangan adalah segalanya. Dan saat ini, keseimbangan itu sedang diuji. Kita bisa memilih untuk tetap kritis dan waspada, atau membiarkan semuanya berjalan tanpa perlawanan—sampai suatu saat kita menyadari bahwa demokrasi yang kita banggakan selama ini sudah tidak lagi ada.
Editor: Prihandini N