Setelah keberhasilan Ngeri-Ngeri Sedap (2022) yang membawa kesegaran lewat drama komedi bertemakan budaya lokal Batak, kali ini giliran Onde Mande! (2023) yang unjuk gigi dalam keragaman film lokal dengan mengangkat budaya Minangkabau yang kental. Film ini berangkat dari kisah kehidupan masyarakat Desa Sigiran yang tinggal di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat.
Onde Mande! ibarat sebuah surat cinta dari sang sutradara, Paul Fauzan Agusta, untuk kampung halaman orangtua dan keluarga besarnya di Desa Sigiran. Terlihat jelas kedekatan historis yang ia selipkan dalam film ini, mulai dari pemilihan nama tokoh yang notabene adalah nama-nama kerabat dekatnya (Ridwan, Ilyas, Huda, Hadi, dll.) hingga pemilihan sederet aktor lokal asli maupun yang masih berdarah Minang.
Dari banyaknya film Indonesia berlatar Sumbar atau suku Minangkabau, mungkin Onde Mande! menjadi salah satu representasi percakapan orang Sumbar yang tingkat akurasinya mendekati sempurna. Sebagai bahan perbandingan, coba saja tonton Negeri 5 Menara (2012) dan Perjalanan Pertama (2022) yang sama-sama berlatar di Sumbar, ataupun serial film Saiyo Sakato (2020) yang tampaknya masih dibayang-bayangi bias Jakartasentris.
Meskipun masih terdapat beberapa dialog yang diucapkan dengan terpatah-patah menurut kesaksian orang-orang asli Padang yang menonton—contohnya, karakter Ni Ta (Jajang C. Noer) yang kebetulan mendapat porsi dialog agak banyak—setidaknya mayoritas aktor dalam film ini terdengar fasih berbahasa Minang dengan dialek dan aksen yang otentik. Apalagi, lokasi film ini hampir 90 persennya berlatar Sumbar sehingga berimbas pada cerita dan karakter yang jadi terlihat jujur karena lebih dekat dengan realitas.
Representasi Altruisme
Kendati dianggap sebagai penghormatan serius terhadap budaya lokal Minangkabau, premis dan isu utama yang menjadi fokus film ini tetap tak menihilkan nilai-nilai universal. Lihatlah bagaimana upaya warga Desa Sigiran dalam memperjuangkan hadiah sayembara senilai dua miliar rupiah dari perusahaan sabun meski pemenangnya—seorang tetua desa bernama Angku Wan (Musra Dahrizal)—telah meninggal dunia lebih dulu.
Usaha masyarakat Sigiran untuk menyiasati perusahaan sabun PT Dua Sayap demi mengklaim hadiah pun nyatanya tak berkaitan dengan alasan keserakahan, melainkan sebuah tujuan mulia: membangun desa demi kesejahteraan bersama, seperti pesan terakhir Angku Wan sebelum meninggal. Nilai semacam inilah yang disebut filsuf Auguste Comte sebagai altruisme, yaitu perilaku yang diniatkan untuk memberi manfaat bagi orang lain di luar dirinya sebagai fokus utama.
Dalam artikel jurnal berjudul A Fat Lady in a Corset: Altruism and Social Theory, Kristen Renwick Monroe menjelaskan bahwa salah satu ciri altruisme yakni bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Nilai moral ini jugalah yang menjadi titik tolak konflik utama dalam Onde Mande! besutan Paul Agusta. Hebatnya lagi, dalam menggambarkan watak orang-orang Sigiran, ia tak terjebak pada tipikal karakter yang serba biner, hitam-putih, atau baik-jahat.
Walaupun segelintir orang meyakini bahwa manusia pada dasarnya cenderung mementingkan diri sendiri, tetapi menurut Samir Okasha, seorang ahli biologi dari Stanford, umat manusia sejatinya memang membawa gen altruisme di dalam dirinya. Bahkan, penelitian lain menyebutkan bahwa dorongan pertama manusia pada dasarnya untuk bekerja sama, bukan bersaing.
Keputusan Da Am (Jose Rizal Manua) pada mulanya memang mengundang pro dan kontra, terutama ditentang oleh anaknya, Si Mar (Shenina Cinnamon), dan pemuka desa bernama Haji Ilyas (Yusril Katil). Meskipun demikian, sebetulnya mereka punya satu mufakat untuk mencairkan uang sayembara demi kemajuan pembangunan di Desa Sigiran.
Di sisi lain, sikap altruistik juga ditunjukkan oleh karakter Si Mar, gadis lulusan sarjana dari kampus di Jakarta yang kemudian rela pulang kampung untuk mengabdi sebagai guru sekolah dasar di Sigiran. Di sela rutinitas mengajar, sehari-hari ia juga masih harus membantu kedua orangtuanya menjaga warung. Begitu pun dengan duo kakak beradik Huda (Shahabi Sakri) dan Hadi (Ajil Ditto) yang rela mengembara ke Jakarta demi mencari ahli waris Angku Wan. Jelas bahwa mereka masih memikirkan orang lain di samping kepentingan pribadi.
Kepiawaian Sang Sutradara
Mungkin sering kali kita tidak sadar, film yang kita tonton bisa memberi lebih banyak dari apa yang kita bayangkan. Bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga pelajaran tentang banyak hal—meskipun sebetulnya menuntut pesan moral dari sebuah tontonan bukanlah suatu keharusan. Bagaimanapun juga, film adalah produk dari industri hiburan.
Onde Mande! tak hanya menjadi sajian yang “rancak bana” di tangan Paul Agusta, yang meski dulunya fokus dengan film-film independen bertema berat, di film komersial pertamanya ini ia berhasil menyuguhkan drama komedi yang sukses memancing tawa sekaligus mengundang haru.
Dalam film ini pun, Paul Agusta tak lantas terjebak dengan adegan romansa klise meski harus memadukan kembali pasangan Shenina Cinnamon dan Emir Mahira yang sebelumnya beradu akting dalam Dear David (2023). Di tangan sutradara lain, mungkin kita harus siap-siap menyaksikan berbagai adegan romantis di luar konteks yang alih-alih bikin baper, malah membuat mual isi perut.
Baca juga:
Pada akhirnya, di antara hegemoni film berlatar Jakarta atau daerah lain di Pulau Jawa, film ini patut diberi atensi lebih. Memang filmnya sangat personal bagi sang sutradara, tapi pesan yang ia usung tetaplah universal.
Seperti kata pepatah adat: barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Jadi, betul yang disampaikan narator dalam adegan pembuka film ini bahwa orang Minang akan melakukan segala hal demi keluarga, kampung, dan tanah kelahirannya.
Editor: Emma Amelia