Seisi auditorium telah menggelap. Cahaya serupa biru safir mulai menerangi panggung. Delapan sosok penari muncul di atas panggung membentuk formasi menyerupai berlian dengan dua orang di depan, tiga di tengah, dan tiga di belakang. Tangan mereka serempak dan tegas membentuk gerakan ngiting, diikuti gerak kepala menengadah ke atas, ke bawah, serta ke samping kiri dan kanan. Biarpun gelap lebih mendominasi ruang ketimbang cahaya remang biru safir, tatapan tajam para penari masih mampu menerobos kegelapan, menyiratkan ketegasan.
Di sela-sela gerakan, terdengar embusan dan helaan napas. Kemudian, tubuh mereka melekuk, melentur, menyerupai makhluk laut surealis. Kemudian, tubuh mereka mulai membungkuk. Bersamaan dengan suara deburan ombak, para penari silih berganti berdiri membentuk gerakan body wave dengan gemulai. Koreografi itu membuat para penari semakin menjelma serupa makhluk laut yang sedang berselam menelusuri ombak.
Begitulah awal penampakan karya tari bertajuk La Sirène yang dipentaskan di auditorium Erasmus Huis, Jakarta pada 8 Februari lalu. Karya tari buah persembahan koreografer asal Belanda bernama Junadry Leocaria. Proyek kesenian ini sangat interdisipliner, menggabungkan tari, seni visual, hingga sastra. Seniman visual Richard Kofi membantu sang koreografer meramu berbagai karya interdisiplin itu sebagai pertunjukan dan pameran dengan tajuk yang sama.
Komposisi koreografi Leocaria mengisahkan mitologi Karibia tentang putri duyung penjaga lautan. La Sirène sendiri merupakan julukan dari makhluk putri duyung itu. Di Indonesia, La Sirène serupa mitos Ratu Nyi Roro Kidul sebagai penjaga Laut Selatan. Namun, perbedaannya terletak pada kekuatan yang dimiliki duyung Karibia. La Sirène digambarkan sebagai putri duyung dengan cermin magisnya, di mana cermin itu sebenarnya merupakan gerbang pemisah antara dunia realis dengan yang mistis. La Sirène merupakan putri duyung yang bakat sekali dalam bernyanyi, ia bisa mengontrol pikiran seseorang melalui lantunan lagu dan bisikan kata. Melalui bisikannya itu ia mampu menghipnotis orang yang mendengarnya.
Membaca Koreografi dan Rangkaian Fragmen La Sirene
Meski berkisah tentang mitologi orang-orang Karibia dan sekitarnya, koreografi yang dirancang Leocaria tidak berpusat pada tarian Karibia saja. Komposisi gerak tarian dieksplorasi dari kontemporer hip-hop, ballet, hingga berbagai unsur tari tradisional Indonesia. Kisah La Sirène yang direpresentasikan melalui diversitas gerak tarian tersebut dapat dimaknai lebih dalam dan lebih jauh dari sekadar hal-hal teknis gerakan saja.
Setelah mengamati gerak-gerak magis karya Leocaria, terlihat bahwa karya koreografinya terdiri atas beberapa fragmen. Fragmen pertama merupakan fragmen pembuka seperti yang diceritakan di awal tulisan ini. Setelah itu, para penari pergi ke balik tirai di belakang panggung. Lalu, muncul tiga orang perempuan berkisah lewat gerakan-gerakan ballet. Awalnya, ketiga penari tersebut menari bersama. Cahaya lampu masih menyorot ketiganya. Mereka tidak hanya bergerak secara individu, tetapi mereka juga berinteraksi satu sama lain melalui gerakan-gerakan ballet. Interaksi mereka seakan-akan mengisahkan kehidupan para putri duyung di dasar laut yang begitu aman dan damai.
Namun, kisah mulai berganti di mana dua penari terjatuh dan terkulai di sayap kanan panggung. Cahaya pun berpindah fokusnya ke arah penari yang satu, di mana ia menari sendiri. Bersamaan dengan senandung sendu perempuan, penari itu tetap bergerak dengan dinamis. Ia berjingkat, berdiri dengan satu kaki, lalu melompat dan berbaring di lantai. Kemudian, ia mengangkat tubuhnya dan berlutut dengan satu kaki. Tubuhnya meliuk, melenggok ke kanan dan ke kiri. Kini, gerakan itu menjadi lebih pelan. Lalu, sembari berdiri ia menggerakkan tangannya dengan lebih cepat. Tak lama kemudian, ia bergerak menghampiri kedua penari lainnya dan membuat mereka berdiri serta bergerak kembali.
Fragmen tersebut seakan-akan mengisahkan bagaimana kehidupan di dasar laut yang awalnya begitu tenang dan damai mulai dirundung tragedi. Dengan kekuatan welas asih salah satu duyung, ia berusaha membangkitkan lagi kedua kawannya yang terpuruk. Meski baru di awal, gerak-gerik penari itu tidak terasa membosankan. Komposisi gerak yang dinamis ini membuat mata penonton seakan-akan tak bisa lepas dari setiap aksi sang penari.
Fragmen kedua mengisahkan kehidupan para duyung yang mulai terusik. Para penari sudah berganti. Bukan tiga orang lagi, melainkan enam orang penari. Gerakan yang ditarikan pun sudah bukan ballet, tetapi banyak gerakan eksploratif. Pada fragmen tersebut terlihat ada beberapa penari yang terjatuh, kemudian berusaha diangkat dan digendong oleh penari laki-laki. Mereka yang terjatuh dan digendong ini ibarat para duyung yang disiksa, menandakan kehidupan mereka yang sudah jauh dari kata damai. Sembari menarikan kisah tragedi, suara petir menyambar ikut memperjelas kondisi carut-marut. Komposisi koreografi tersebut seakan ingin menggambarkan invasi kolonial yang brutal dan tragis.
Setelah para penari itu kembali ke balik tirai, muncul seorang penari dengan wajah sedih. Ia bergerak ke kiri, tengah, lalu kanan panggung. Kesedihan yang tergambar di wajah dan gerakannya ke sana kemari seakan-akan menggambarkan kebingungannya setelah tragedi siksaan terhadap para duyung. Ia bagaikan duyung kesepian yang berusaha meluapkan kesedihannya karena mengetahui bahwa semua yang ia miliki di habitatnya telah dirampas.
Masih dengan suara perempuan yang bersenandung dengan sendu, ia menari dengan macam-macam gerak. Terlihat tangannya dengan gemulai menunjukkan gerak ngukel seperti pada tarian Jawa, kemudian tangannya menepuk-nepuk dada dan paha seperti gerak tari Saman dari Aceh. Sementara, unsur gerak kontemporer tetap melekat kuat. Adanya unsur-unsur gerakan tradisional Indonesia yang ditarikan seakan-akan menunjukkan bahwa si penari ingin menyampaikan bagaimana rasanya menjadi subjek terjajah yang ditindas dan dirampas kekayaannya. Hal itu bisa jadi sama dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang Karibia dan sekitarnya dahulu. Fragmen ini menggambarkan sama rasa dan sama nasib dari negara-negara yang pernah dijajah atau bisa kita sebut sebagai shared-histories.
Fragmen ketiga diawali dengan gerakan dan formasi acak satu dengan yang lain dari tujuh penari. Kemudian, mereka tersungkur di samping kanan panggung bagai habis diserang kekuatan yang melebihi mereka. Seketika, suasana berubah menjadi hening. Namun, keheningan perlahan memudar setelah seorang penari datang dari balik tirai, berjalan dengan sikap kuda-kuda serta kedua lengan ditekuk di depan wajahnya. Jari telunjuknya mengarah ke depan, seakan-akan ia menunjuk para penonton untuk menyampaikan sesuatu. Ketika ia berjalan, suara gemerincing kerang selalu mengikutinya. Terlihat sepasang gelang kerang terikat di kedua pergelangan kakinya. Langkahnya bukan asal-asalan, melainkan langkah yang menghasilkan suatu irama dari suara gemerincing kerang. Sembari terus melangkah, telunjuknya tetap mengarah ke depan diiringi lantunan kalimat puitik tajam serta berintonasi tinggi. Kalimat itu berbahasa Inggris, lalu dilantunkan juga ke dalam bahasa Indonesia.
Kalimat yang diucapkan berupa rentetan amarah akibat eksploitasi dan siksaan yang sudah diberikan kepada para duyung-duyung sebelumnya. Terdapat kalimat repetitif yang berkata, “Berani-beraninya kau!” Melalui kalimat itu, koreografer seakan-akan mengkritik eksploitasi dan invasi kolonial.
Fragmen-fragmen selanjutnya menampilkan dua orang penari bertubuh lelaki yang saling berinteraksi melalui gerak-gerik kontemporer dan adat Jawa. Tubuh mereka begitu lekat, kemudian semakin menjauh, dan mendekat lagi.
Terakhir, fragmen ditampilkan oleh semua penari. Koreografer masih menampilkan gerakan-gerakan eksploratif dari masing-masing penari. Akhirnya, karya tari ditutup oleh gerak lari kecil para penari ke belakang panggung dengan pola air mancur. Bersamaan dengan pergantian cahaya dari biru menjadi putih, riuh tepuk tangan penonton memenuhi ruang auditorium.
Tentang Gerak Tari dan Shared Histories
Koreografi dalam La Sirène menunjukkan kepemilikan bersama atas sejarah panjang kolonialisme. Masyarakat Karibia, Afrika Barat, Jawa, dan wilayah-wilayah lain koloni Kerajaan Belanda, memiliki memori kolektif yang sama soal penindasan berlapis.
Untuk itu, mengingat memori kolektif soal penjajahan selalu merupakan upaya translokal. Mustahil memahami Jawa dari sejarah Jawa saja, tanpa persinggungannya dengan Suriname atau Karibia. Toh, ada fakta historis soal para budak dari Jawa yang dikirim Belanda ke Suriname atau pola sistem perkebunan tebu yang sama antara Jawa dan Karibia.
Sejarah bersama yang dimiliki subjek terjajah itu dituturkan melalui gerak dan rangkaian fragmen La Sirène , seakan gerak tubuh membawa kita kembali pada tubuh-tubuh leluhur, membawa kita kembali pulang ke rumah sejarah. Estetika kemarahan dalam fragmen La Sirène menjadi penting, bahwa kolonialisme telah membuat tubuh Ibu Bumi rusak oleh eksploitasi dan invasi.
Terkait narasi soal queendom dan Ibu Semesta yang dituturkan dalam La Sirène juga menunjukkan pentingnya melihat “herstory“, bukan hanya “history“. Nyi Roro Kidul, Dewi Sri, La Sirène , dan para Ibu penjaga semesta adalah bagian dari memori kolektif pra-kolonial, di mana pemeliharaan semesta dilakukan sosok mitologis yang adalah perempuan. Hal yang diinvasi oleh kolonialisme akhirnya bukan hanya tatanan sosial politik pra-kolonial, tapi juga kosmologi ulayat yang melihat sang pemelihara semesta sebagai Ibu Bumi (mother earth).
Dalam industri perkebunan yang mengandalkan budak-budak transnasional dan bentuk eksploitasi kolonial lainnya, tubuh Ibu Bumi dihancurkan. Tubuh-tubuh para penari La Sirène seakan pulang pada tubuh Ibu Bumi itu, mengambil serpihan yang tersisa dari kehancuran dan mengubahnya menjadi gerak tubuh yang baru. Tubuh Ibu Bumi dibangkitkan kembali melalui koreografi dan ternyata membicarakan kolonialisme dalam gerak tari dimungkinkan.
Selama ini pembicaraan soal kolonialisme mungkin hanya dilakukan para sejarawan, politisi, diplomat, atau ilmuwan saja. Ada anggapan bahwa isu sebesar ini hanya layak dibicarakan sosok tertentu saja. Tetapi, nyatanya pembicaraan formal soal kolonialisme dan sejarah panjang kejahatan kemanusiaan pun penuh keterbatasan. Permintaan maaf Perdana Menteri Kerajaan Belanda, Mark Rutte, tentang 250 tahun perbudakan dan kejahatan kemanusiaan mungkin hanya pernyataan diplomatik. Toh, siklus kolonialitas yang mengakar dalam Dunia Utara dan Dunia Selatan masih tetap menjadi hantu abad 21. Permintaan maaf atau tetek-bengek diplomatik mungkin bisa dilakukan, tapi bagaimana dengan siklus kolonial yang masih hidup pada gerak sejarah kini?
Keterbatasan ruang-ruang formal untuk membicarakan kolonialisme bisa dilampaui oleh kesenian. Tari dan seni pertunjukan bisa menjadi upaya mengisahkan sejarah kelam kolonialisme pada tubuh-tubuh subjek terjajah, La Sirène bisa dilihat sebagai upaya estetik untuk membicarakan ulang sejarah yang dimiliki bersama rakyat Karibia, Indonesia, dan wilayah jajahan lainnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars