Hari-hari belakangan ini, mencuat lagi kabar perpanjangan masa jabatan presiden. Banyak ketua umum dari partai-partai koalisi pendukung pemerintah mendukung perpanjangan masa jabatan presiden. Sikap yang sangat mengherankan jika dipandang melalui sudut pandang demokrasi dan konstitusi.
Baca Editorial: Jokowi for Life?
Tetapi dari sisi realitas politik, di mana oligarki sedang jaya-jayanya, maka hal itu berubah dan tidak menjadi hal yang mengherankan lagi. Tetapi tetap saja, isu ini adalah isu yang bersifat anti-demokrasi, mengapa? Karena pada dasarnya konstitusi kita mengaminkan dua periode paling lama bagi seorang presiden untuk menjabat.
Nilai demokrasi dalam konstitusi terlihat terciderai, akibat dari pernyataan-pernyataan ketua umum partai-partai koalisi pemerintah. Seolah para ketua umum partai politik tersebut tak paham akan esensi demokrasi atau bisa dikatakan: mereka buta huruf akan demokrasi.
Perpanjangan masa jabatan presiden tentu saja akan merambat kemana-mana. Karena nantinya anggota DPR pun akan menuntut hal yang serupa dengan dalil: hak.
Pejabat-pejabat tinggi negara ini, mempertontonkan tontonan yang sangat tidak seru untuk ditonton.
Demokrasi dan Esensinya
Esensi dari demokrasi adalah sirkulasi elit, penyebaran nilai keadilan pada warga negara, dan menutup pintu agar otoritarianisme tidak kembali ke Indonesia. Demokrasi mengaminkan konsep oposisi. Tetapi pada rezim ini, hal itu hampir tidak terlihat.
Konsep check and balance dalam demokrasi kita hari-hari ini terlihat tidak terlaksana. Ada banyak ketidakseimbangan dalam perjalanan pemerintahan di negeri ini. Penyebab dari hal itu adalah minimnya suara oposisi, sehingga pemerintah harus berhadapan one by one dengan kritisisme masyarakat, karena kurangnya penyaluran aspirasi tersebut (oposisi). Demokrasi Indonesia semakin hari semakin termarjinalkan atau terpinggirkan karena esensi-esensi demokrasi yang terciderai akibat dari keserakahan akan kekuasaan.
Beberapa tahun belakangan ini, kita – manusia Indonesia merasa sangat sedikit hak untuk berbicara. Karena ketika berbicara mengkritisi kebijakan negara, UU ITE sudah dengan gagah menyergap segala argumen yang bertolakbelakang dengan dalil pemerintah dan para pendukungnya.
Demokrasi Deliberatif
Demokrasi deliberatif sangat melekat pada Pancasila sila keempat. Berawal dari musyawarah untuk mencapai suatu mufakat dan segala kesepakatannya dapat dijalankan dengan tenang oleh warga negara. Demokrasi deliberatif seperti pada pemikiran Hannah Arendt, mengaminkan hal tersebut.
Hal ini pula yang mengandung value dari politics citizenship. Kebebasan yang ada pada warga negara, melekat dengan sistem itu sendiri. Tetapi fakta lapangan sangat bertolak belakang dengan teori indah tersebut. Karena yang tiba pada masyarakat adalah pembungkaman demi pembungkaman.
Pada rezim ini kita melihat bagaimana kekuasaan memperlakukan penduduk desa Wadas. Presiden pun belum dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Desa Wadas hanya satu contoh saja bagaimana kesewenang-wenangan bekerja atas nama pembangunan. Belum lagi Papua yang hingga kini juga masih menjadi persoalan yang tak terselesaikan.
Pertanyaannya kini: Apakah para pejabat tinggi negara yang ikut mengamini perpanjangan masa jabatan presiden tidak melihat hal ini? Tidak melihat begitu banyak persoalan-persoalan yang belum selesai? Lalu mengapa mereka menambah persoalan lagi? Jawaban dari segala pertanyaan ini barangkali adalah ketidakmampuan mereka menjalankan sistem demokrasi deliberatif atau keserakahan mereka akan kekuasaan dan kekayaan.
Adalah sangat sial bagi bangsa ini jika wacana perpanjangan masa jabatan terlaksana karena otoritarianisme kembali datang. Apakah bangsa ini lupa penderitaan yang sangat perih pada masa Soeharto dan Orde Barunya?
Demokrasi Indonesia tergolong muda dan masih dalam kondisi transisi ke demokrasi yang matang dan stabil, dan sangatlah wajar jika tantangan demi tantangan datang. Dalam tekanan untuk mundur ke arah otoritarianisme ada saja pihak yang menyerang dengan menuduh kondisi sekarang demokrasi kebablasan.
Hal ini yang sedang dihadapi negeri ini. Bahkan sebelum adanya wacana perpanjangan masa jabatan presiden pun hal ini sudah dihadapi oleh masyarakat yang mendukung demokrasi.
Otoritarianisme dalam hal ini seolah menjelma menjadi kuda Troya (Trojan Horse). “Berpura-pura kalah lalu menyerang kemudian.” Ini adalah hal yang dilakukan oleh mereka para penunggang kuda Troya. Tentu saja, penunggangan kuda Troya adalah pembajak demokrasi dan bukti dari adanya gejala buta huruf demokrasi.
Buta Huruf Demokrasi
Tentu saja kebutahurufan pejabat pada demokrasi akan berdampak buruk pada kehidupan demokrasi negeri ini.
Dampak pertama dan paling menyakitkan adalah kembalinya otoritarianisme. Dan dampak-dampak lain dari hal itu adalah pembungkaman, tidak adanya sirkulasi elit, dan itu artinya perpanjangan masa penderitaan daerah seperti Papua dan Wadas.
Ini adalah akibat dari pembajakan demokrasi. Tentu saja mereka yang membajak demokrasi adalah mereka yang tidak paham dengan demokrasi sebagai konsep etis bernegara. Lalu ucapan pejabat negara: demi bangsa dan negara juga demi rakyat Indonesia akan terdengar sebagai bunyi-bunyian yang bahkan menyakitkan hati dan telinga saja.