Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Refleksi Menyambut Satu Abad NU: Perbedaan adalah Rahmat

Salman Akif Faylasuf

3 min read

Indonesia beruntung sekali memiliki dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 dan Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan tahun 1912. Namun, sampai saat ini masih banyak orang yang bertanya-tanya, apa perbedaan diantara NU dan Muhammadiyah?

Yang jelas, perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah hanya pada aspek furu’ al-din (hal partikural dalam Islam). Sementara yang menyangkut ushul al-din (hal pokok dalam Islam) tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Sebenarnya, secara nasab keilmuan, Kiai Hasyim dan Kiai Dahlan sama-sama pernah nyantri kepada Syaikhona Kholil al-Bangkalan. Singkat cerita, usai di Bangkalan, keduanya melanjutkan studi ke Semarang di bawah asuhan Kiai Sholeh Darat. Kiai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, tafsir, juga ahli ilmu falak.

Baca juga:

Kepada Kiai Sholeh Darat, Hasyim dan Darwis (berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, tabarruk dengan gurunya Syekh Ahmad Zaini bin Dahlan, Mufti Syafi’iyah di Tanah Haram) belajar tekun dan rajin. Hingga akhirnya oleh Kiai Sholeh keduanya diperintahkan untuk melanjutkan studi di Makkatul Mukarramah.

Setibanya di Makkah, keduanya menjadi murid kesayangan Imam Masjidil Haram, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dari sinilah perbedaan keduanya mulai tampak. Kiai Hasyim punya kecenderungan terhadap hadits, sementara Kiai Dahlan lebih tertarik pada bahasan pemikiran dan gerakan-gerakan Islam.

Menariknya, ketika terjadi gesekan antara anggota Muhammadiyah dengan kalangan pesantren, Kiai Hasyim turun tangan dan berkata: “Kita dan Muhammadiyah sama. Kita Taqlid Qauli (mengambil pendapat ulama salaf, mereka Taqlid Manhaji (mengambil metode).”

Perbedaan yang Tak Perlu Didebatkan

Itu artinya, perbedaan-perbedaan partikural dalam NU dan Muhammadiyah tentu saja tidak boleh diperpanjang, sebab sesuatu yang partikural memang tidak bisa dikonsensuskan (ijma’). Misalnya, apakah berqunut dan tidak saat melaksanakan shalat subuh, tentu tak bisa dikonsensuskan. Alih-alih konsensus, yang ada justru akan diperselisihkan sepanjang zaman.

Dalam suatu kesempatan, Kiai Hasyim Muzadi (cerita NU dan Muhammadiyah) pernah menyampaikan, “bahwa antara NU dan Muhammadiyah selisih sedikit saja ribut. Yang satu qunut dan satunya tidak. Padahal, sebetulnya di kitabnya orang NU ada qunutnya dan ada yang tidak qunutnya. Akan tetapi, karena dia terkooptasi oleh perkembangan akhirnya terjadilah keributan.”

Meski demikian, kedua ormas ini cukup mencerminkan perbedaan-perbedaan secara tradisi, cara berpikir, bahkan perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perbedaan cara menafsirkan tetap diperbolehkan sejauh perbedaan itu sama sekali tidak menyentuh esensi pokok dalam agama Islam.

Sekurang-kurangnya, pandangan ini didasarkan pada pendapat Imam at-Taftazani dalam kitab Hasyiyah al-Athar yang mengatakan: لا يمس لب العقيده “tidak menyentuh akidah”, bahwa ketika perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam tak menyentuh esensi pokok akidah, perbedaan itu adalah rahmat bagi seluruh umat Islam.

Pada dasarnya Muhammadiyah memang tidak bermazhab (Muhammadiyah tidak seperti NU dalam bermazhab, misalnya NU punyak mazhab akidah, fikih, tasawuf), dalam hal ini menggunakan “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”. Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi: “Tidak mengikat diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.”

Berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang mengharuskan diri bermazhab. Kita tahu, NU dalam tiga dimensinya memiliki mazhab. Dalam akidah ada Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, di fikih ada empat mazhab (Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi). Sementara dalam tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid al-Baghdadi.

Mazhab Syafi’i dan NU

Jika ada empat mazhab kenapa harus Syafi’i? mafhum, kalangan NU lebih cenderung pada mazhab Syafi’iyah. Ini terlihat dalam penerapan ushul fikih Imam Syafi’i yang sampai detik ini tetap dioperasikan oleh kiai-kiai NU dalam pengambilan hukum atas suatu persoalan. Bahkan, keputusan-keputusan hukum terdahulu yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, sampai saat ini masih diadopsi dan menjadi tradisi yang kuat dikalangan NU, khususnya di pasantren.

Baca juga:

Oleh karena itu, untuk melihat kerangka utuh fikih yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i, kita bisa melihat salah satu kitabnya yang termasyhur bertajuk Ar-Risalah. Melalui kitab ini, Imam Syafi’i kemudian populer dalam khazanah fikih dan ushul fikih. Bagaimana tidak, seluruh ide Imam Syafi’i tentang ushul fikih terdokumentasikan detail dalam kitab tersebut. Tak mengherankan jika para pemikir Barat dan Timur mengatakan bahwa Imam Syafi’i lah pencetus lahirnya kaidah-kaidah ushul fikih dalam dunia Islam.

Masih tentang as-Syafi’i, dominannya NU pada mazhab Syafi’i ini bukanlah tanpa alasan. Alasan tersebut dapat kita pahami bahwa Imam Syafi’i adalah tokoh fikih yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Ia adalah murid senior dari tokoh fikih yang termasyhur pada zamannya, yaitu: Imam Malik dan Abu Hanifah.

Dari kedua guru inilah, Imam Syafi’i berhasil menciptakan nalar fikih. Nalar fikih yang dimaksud adalah memadukan dua epistemologi sekaligus, antara metodologi ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi. Dua paduan epistemologi fikih inilah juga yang menjadikan alasan paling kuat mengapa para kiai-kiai NU banyak mengadopsi fikih-nya Imam Syafi’i.

Terlepas dari itu semua, dalam bermazhab, hakikatnya kita hanya mengambil satu dari empat (qauli dan manhaji), yang kalau ditelusuri rumpun dan genealoginya sama. Sebut saja Imam Ahmad bin Hambal yang berguru kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berguru pada Imam Malik, Imam Malik berguru kepada Imam Abu Hanifah meski secara tidak secara langsung, tapi melalui muridnya, Hasan as-Syaibani,

Jika ditelusuri, semuanya akan berpuncak kepada Jakfar as-Shadiq. Ia adalah salah satu rujukan utama dalam mursyid tariqah-tariqah muktabarah yang dianut di lingkungan Nadhlatul Ulama. Hal ini perlu sekali dijelaskan di tengah kecenderungan orang yang acap kali membeda-bedakan mazhab secara membabi-buta, seakan mereka dari golongan yang lain. Itu artinya, jika belakangan ada orang berkata “kita harus kembali pada manhajnya ulama salaf”, pertanyaannya adalah, manhajnya siapa? sebab dikalangan para sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat di dalam memahami hadits.

Sebuah Catatan

Jakfar as-Shadiq adalah anak dari Muhammad al-Bakir. Muhammad al-Bakir anak dari Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin anak dari Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jakfar as-Shadiq mempunyai ibu bernama Siti Fatimah. Siti Fatimah mempunyaki bapak bernama Qasim. Qasim mempunyai bapak, namanya Muhammad bin Abi Bakr as-shiddiq. Muhammad bin Abi Bakr as-shiddiq mempunyai ibu namanya Asma binti Umaits.

Asma binti Umaits ini adalah mantan istri dari Jakfar bin abi Thalib. Kita tahu, Jakfar bin abi Thalib adalah saudara kandung dari Ali bin Abi Thalib yang meninggal dalam perang Muktam (meninggalkan empat orang anak). Akhirnya, pasca meninggal dinikahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu memiliki anak bernama Muhammad bin Abu Bakar. Muhammad bin Abu Bakar mempunyai anak Qasim, dan Qasim punyak anak bernama Fatimah (ibu dari Jakfar shadiq).

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email