Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Epistemologi Islam dan Kondisi Iptek Islam Masa Kini

Salman Akif Faylasuf

3 min read

Dewasa ini, peradaban Islam tertinggal dari peradaban agama-agama besar lainnya. Negera-negera Islam jauh tertinggal oleh Australia dan selandia Baru yang didominasi pemeluk Protestan, Eropa selatan dan Amerika selatan dengan pemeluk Katolik Romawi-nya, Eropa Timur dengan Katolik Ortodoks, Israel dengan Yahudi, India dengan didominasi agama Hindu; Cina, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura dengan Budha-Konfusianis, Jepang dengan Budha Taois, dan Thailand dengan agama Budha.

Praktis tidak ada satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan Ipteknya daripada Islam. Dengan kata lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.

Islam Tertinggal di Bidang Iptek

Ketertinggalan umat Islam dalam hal Iptek ini menjadi persoalan yang sangat krusial bagi umat Islam, sebab seolah membenarkan dugaan orientalis Barat bahwa Islam adalah agama yang anti ilmu pengetahuan, agama teroris yang merupakan saingan sekaligus musuh utama peradaban modern Barat.

Pandangan minor dari orientalis Barat ini tidak mungkin dijawab dengan menyodorkan sejumlah argumen apologetik dari sumber-sumber normatif Islam, bahwa Islam adalah agama yang sangat mendukung ilmu pengetahuan dan mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Realita yang ada di lapangan menunjukkan negara-negara muslim umumnya berada dalam kawasan negera terbelakang dan sangat tergantung pada negara Barat.

Setiap muslim pasti meyakini bahwa Al-Qur’an, sebagai sumber referensi utama umat Islam, sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, mengapa umat Islam malah terpuruk dan terbelakang? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap individu muslim. Asumsi terkuat yang bisa dikemukakan adalah kemungkinan besar telah terjadi kekeliruan dalam cara berpikir umat Islam.

Umat Islam belum mampu menangkap kembali ajaran agamanya yang otentik dan dinamis sebagaimana pernah dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim sekitar abad ke-8 hingga 13 M. Ajaran tersebut telah mengantarkan Islam pada puncak keemasannya dalam penguasaan filsafat dan Iptek. Oleh karena itu, apabila umat Islam ingin meraih kembali kejayaannya, harus ada perubahan pada cara berpikir mereka dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.

Perubahan pada cara berpikir ini menuntut adanya perumusan kembali pada epistemologi Islam yang ideal, yang relevan dengan tuntutan zaman tanpa ada pertentangan dengan semangat ajaran Islam yang mulia. Mengapa harus pada epistemologi? Epistemologi sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Ia adalah cara mendapatkan ilmu pengetahuan yang menjadi kunci untuk mengejar ketertinggalan umat Islam saat ini.

Epistemologi Islam dan Cara Berpikir Umat 

Ilmu pengetahuan yang merupakan kunci dari kemajuan umat manusia, tentunya tidak bisa datang begitu saja tanpa ada suatu proses sebelumnya. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ini dalam kajian filsafat dikenal sebagai epistemologis. Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, sebab membicarakan tata cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Kepiawaian dalam menentukan epistemologis akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.

Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologis. Pertama, aliran rasionalisme. Aliran pemikiran ini menekankan pentingnya peran akal, ide, kategori, atau bentuk sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran panca indera dinomorduakan. Aliran yang kedua adalah realisme. Aliran ini lebih menekankan peran “ indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan, pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.

Baca juga:

Tidak jauh berbeda dengan aliran epistemologis yang berkembang di Barat, menurut Muhammad Abid al-Jabiri, secara umum epistemologi Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.

Epistemologi dan Sumbernya

Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti Hadis, Fiqh, Ushu al-Fiqh, dan lainnya menggunakan epistemologi ini. Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam arti secara langsung, pemikiran baryani menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Sementara dalam artian tidak langsung, teks dijadikan pijakan untuk bernalar.

Kedua, epistemologi irfani. Epistemologi ini beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unik karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, sebab sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan.

Bahkan epistemologi ini lebih mengandalkan rasa individual daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi. Oleh karenanya, teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definitif.

Ketiga, epistemologi burhani. Epistemologi ini berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan. Bahkan dalam bidang agama sekalipun, akal mampu untuk mengetahui masalah baik dan buruk.

Epistemologi burhani dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu khaldun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah (knowledge by intellect). Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir Yunani, ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas secara teologis mendapatkan justifikasi dari Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi, meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email