Kambing dan Hujan. Membaca judulnya saja sudah aneh bukan kepalang, apalagi ketika menilik sampulnya yang begitu konyol. Novel macam apa ini? Begitu pikir saya waktu itu, sampai seorang teman merekomendasikannya kepada saya. Ia berkata, “Bagus, kok. Apalagi yang nulis Mas Mahfud, beliau ‘kan alumnus kita. Jadi cobalah dibaca.”
Belum lama ini, saya juga mengikuti diskusi yang diselenggaran Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) di Wisdom Park, UGM, dan salah satu pembicaranya adalah Mas Mahfud. Jadi, ada dua alasan mengapa saya harus membaca karya beliau: (1) saran teman karib, dan (2) Mas Mahfud adalah alumnus yang punya nama di dunia sastra.
Masalahnya, Kambing dan Hujan itu relevansinya di mana, sih? Lebih absurd lagi, novel ini pernah menang Sayembara Novel DKJ 2014, Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat, dan Buku Terbaik 2015 versi Mojok. Baiklah, saya mulai baca. Sedari awal sampai beberapa halaman, akhirnya saya mengetahui poin penting dari alur ceritanya: ternyata cinta yang terhalang dua ormas!
Novel ini menceritakan sejoli yang saling mencintai, tetapi keduanya berasal dari dua keluarga yang berbeda pandangan agama. Berlatar di Centong, suatu desa yang terpelosok dan masih asri dengan tegalan-tegalan-nya, suasana desa dan latar tahun 60-an benar-benar terasa. Sejoli yang saling mencintai itu bernama Mif dan Fauzia. Namun, cinta mereka terhalang bukan hanya karena ormas, melainkan karena sejarah panjang nan pelik yang terjadi di masa lalu terkait kedua keluarganya juga orang-orang di kampung mereka. Mereka harus mengurai satu persatu benang merah, menguak apa yang menyebabkan kondisi mereka menjadi begitu sulit, dan berusaha mencari jalan keluarnya. Melalui jalan yang mereka tempuh dan banyaknya badai, mereka berusaha untuk saling mengerti, saling berbagi, dan saling damai.
Novel ini begitu menarik karena banyak hal, tetapi yang paling utama ialah karena saya merasakan relevansi dan benang merah yang sangat dekat dengan kehidupan saya. Saya hidup di keluarga yang murni dari Nahdlatul Ulama. Di kampung saya, hanya ada beberapa saja yang merupakan bagian dari ormas lainnya. Seperti yang ada di Kambing dan Hujan, masalah salat menggunakan usalli dan allahu akbar kabiro merupakan hal yang wajib ada pada orang muslim menurut orangtua dan orang-orang di sekitar saya. Bapak saya selalu mencibir ketika tetangganya yang Muhammadiyah, setelah rakaat ke-11 pada salat tarawih, kemudian melipat sajadahnya dan bergegas pulang.
Kambing dan Hujan menggunakan beragam sudut pandang (yang menjadi menarik karena pergeseran ini memakan porsi yang banyak dan dari cerita tokohnya masing-masing). Tokoh Is, bapaknya Mif, bercerita tentang ajaran Islam yang menurutnya benar, dan apa saja yang harus ia hadapi ketika berusaha “memperbaiki” Islam di Centong. Tokoh Moek, bapaknya Fauzia, juga menceritakan hal yang sama kepada putrinya dengan sudut pandangnya sebagai santri. Ia mengetahui “gerakan pembaruan” yang ada di Centong, dan ia menemukan “guru” yang sanggup menyaingi guru sahabatnya, yaitu Is. Namun, betullah ketika permasalahan keduanya tidak hanya soal beda pandangan cara mengerjakan agama, tetapi justru hal yang pelik ialah yang menyelimuti semua itu. Semua masa lalu, semua kesalahan, dan semua keangkuhan menyebabkan masa depan kedua anak mereka menjadi buram.
Mahfud Ikhwan menceritakan dua pandangan, dengan dua sumber yang sama-sama kentalnya sampai saya takjub dan merasa beliau benar-benar orang yang pandai (ataupun pandai riset). Namun, menceritakan dua pandangan ini tidak membuat pandangan pribadinya merasuki novel yang sedang ia tulis. Ketika saya membaca Kambing dan Hujan ini, berbekal apa yang saya terima semasa hidup, bahwa saya adalah NU, saya memiliki bias yang jelas terhadap tokoh Is, Masjid Utara, dan Muhammadiyah. Saya sangat merasakan itu ada pada diri saya sebagai pembaca dan merasa malu sendiri ketika saya tidak bisa menemukan “siapa yang menang”, atau “siapa yang dijagokan” oleh Mas Mahfud di dalam novel ini. Beliau benar-benar seperti orang yang mendongeng, dengan banyak riset yang dibaca, dan menceritakan dengan genah tanpa menimbulkan hegemoni, apalagi dominasi, pada novel ini.
Membaca novel Kambing dan Hujan akan membawa kita pada pandangan yang baru, pada sebuah roll film yang kita alami semasa hidup ketika melihat dua ormas yang saling menjawil satu sama lain. Relevansi dan kedekatannya begitu kuat kepada saya, betapa saya seolah melihat sendiri apa saja yang pernah terjadi di lingkungan saya. Bahwa betapa betulnya apa yang ditulis Mas Mahfud, betapa nyatanya hal itu pernah terjadi, betapa seringnya penjawilan itu sampai terkadang keusilannya membawa bencana yang bukan main. Mas Mahfud menutup novel ini dengan pendekatan yang pas, entah bisa diterima oleh pembaca yang lain ataupun tidak, tapi tidak bisa dipungkiri dia telah menyelesaikan karya yang benar-benar bagus. Karya sastra yang dekat dengan pembacanya, yang membuat pembacanya menilik pada situasi sosial terdekat dan merenungkannya dalam-dalam.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Kambing dan Hujan: Roman Pelik antara Ijo dan Biru”