Kita menginginkan kehidupan yang lebih berkemajuan. Entah itu maju dalam ekonomi, intelektualitas, maupun banyak lagi aspek lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kata Bung Karno: Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, terutama sejarah terbentuknya bangsa yang bukan didapat dengan berleha-leha, tapi dengan darah, nanah, kudis, dan segala jerih payah yang terbentang di sepanjang prosesnya.
Jas Merah, tak terkecuali sejarah Hari Santri yang ditetapkan dengan rilisnya fatwa Resolusi Jihad dari K. H. Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ulama sekaligus pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, tentu berdasarkan keilmuan yang tinggi. Dalam konteks sekarang, kita tidak diharuskan berjihad melawan entitas di luar kita. Yang lebih penting untuk kita lawan justru ada pada diri kita sendiri dalam bentuk sifat buruk seperti kebodohan dan kedunguan.
Baca juga:
Saya tidak menafikan bahwa organisasi Islam lain pun memiliki andil dalam kontekstualisasi jihad pada zaman sekarang. Namun, seharusnya sekarang ini kita bisa melepaskan diri dari bias-bias keorganisasian. Sebab, NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, dan banyak lagi organisasi Islam jugalah bagian dari Islam, bukan malah Islam yang jadi bagian dari keorganisasian.
Santri bukan hanya mereka yang belajar secara formal di pesantren. Santri ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Ghozali sebagai himmah aliyah, yakni keinginan atau obsesi yang tinggi (untuk menuntut ilmu). Semua orang sudah pasti punya obsesi dan sulit melepaskan diri dari hal yang menjadi obsesinya itu. Sayangnya, obsesi itu bukan hanya terhadap hal-hal yang orientasinya berkemajuan, tapi juga kemunduran. Obsesi yang dimaksud oleh Imam Al-Ghozali adalah obsesi yang berorientasi pada kemajuan Islam.
Islam bukan hanya tentang peribatan intrinsik. Islam secara tegas juga menekankan aspek-aspek ekstrinsik. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” Islam, selain agama, jugalah Islam yang memiliki peradaban ukhrawi dan duniawi. Infrastruktur hanyalah salah satu dari sekian banyak simbol majunya peradaban Islam. Misalnya saja, Ka’bah yang sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW diutus. Muslim dari berbagai kalangan berbondong-bondong menuju Ka’bah sebagai ritus penghambaan kepada Allah SWT.
Meminjam istilah Marx, sains dan teknologi merupakan infrastruktur peradaban modern. Keduanya menentukan suprastruktur dunia internasional, termasuk kebudayaan, moral, hukum, bahkan agama. Bila peradaban Islam ingin kembali punya peran dalam masyarakat modern, umat Islam harus menguasai sains dan teknologi.
Kita dapat memulainya dari lingkungan yang paling dekat. Kecintaan terhadap pengetahuan terlebih dahulu ditularkan kepada anggota keluarga kita, teman-teman kita, atau, bagi yang punya jamaah, kepada jamaahnya. Tidak perlu berat-berat seperti mengajarkan nahwu shorof, justru mulailah dari mengajarkan hal yang sederhana.
Dorongan untuk memperluas wawasan itu akan memaksa kita untuk merekonstruksi pemahaman tentang Islam. Kemudian, kita akan tersadarkan tentang adanya bias mazhab yang, tak cuma mengkotak-kotakkan, tetapi juga menghalangi inovasi dan aksi yang berorientasi kemajuan.
Bias mazhab tidak lebih penting dari kemanusiaan. Sebab, selain membahas makna “hikmah” dan “mujadalah”, dakwah mestinya juga mengupas tentang psikologi, filsafat, hermeneutika, dan macam-macam ilmu lainnya. Ambil contoh, disiplin hermeneutika, kita diajarkan bukan hanya sekadar paham teks, tetapi juga konteks, supaya kita lebih cermat menyikapi serangan-serangan informasi di era hipermodern.
Baca juga:
Esai ini bolehlah dibilang sekadar tumpahan keresahan saya atas realitas di kalangan muslim. Tulisan ini jauh dari paparan ilmiah, tapi semoga terhitung sebagai pemenuhan tanggung jawab saya sebagai pemuda muslim untuk meninggalkan sikap apatis, pasif, dan netral terhadap perkembangan Islam.
Selamat Hari Santri untuk para santri. Tetap stay cool dan jangan ngelantur!
Editor: Emma Amelia