Bermain-main transdisiplin.

Melihat Tuhan dalam “Setelah 16.200 Hari”

Amos Ursia

3 min read

“Kau tidak perlu merisaukan apa-apa lagi, Nyai. Apa pun yang kau cari ada di dalam dirimu. Jika kau mencari laut, laut ada di dalam dirimu. Jika kau mencari harum pohon jati, harum pohon jati ada di dalam dirimu.”

“Tentu saja aku mencari Allah.”

“Allah ada di dalam dirimu.”

“Aku tidak perlu mencari Allah lagi?”

“Allahlah yang mencarimu.”

Dialog-dialog antara Malaikat Izrail dan Nyai yang adalah istri seorang Kyai mengisi hampir seluruh cerita pendek Triyanto Triwikromo, cerpen itu berjudul “Setelah 16.200 Hari”. Cerpen ini menjadi pembuka dalam buku Sayap Anjing yang diterbitkan cetakan pertamanya oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2003. Premis yang disajikan dalam cerpen ini sangat sederhana, yaitu tentang dialog dan proses pencabutan nyawa seorang Istri dari Kyai yang hampir meninggal karena sakit. Dialog antara sang Nyai, istri Kyai, dengan malaikat izrail begitu sengit, berisi tawar-menawar, ketidaksepakatan, dan perlawanan sang Nyai terhadap kematian.

Menariknya, cerpen ini secara dramatis dan personal menggambarkan sang Nyai yang tak siap dicabut nyawanya, lantaran ia begitu khawatir dengan persoalan keseharian sang Kyai. Dalam cerpen ini, sang Nyai dan Kyai memiliki sebuah relasi cinta yang sangat kuat, bahkan Malaikat pun tahu seberapa besar kapasitas dua manusia ini untuk saling mencintai. Apa yang sang Nyai pikirkan menjelang kematiannya justru hanya sang Kyai dengan makanan kesukaannya, buku-bukunya yang selalu berantakan, jadwal ceramah yang dengan cerobohnya terlupakan, dan segala tetek bengek keseharian mereka. Bahkan, sebelum Malaikat mencabut nyawanya, sang Nyai terpikir untuk mengupas buah pepaya untuk suami tercintanya, pada momen menuju kematian itu ia pun hanya memikirkan bumbu-bumbu dapur yang siap ia racik untuk makan malam keluarganya.

Antara yang Ilahi dan Duniawi

Sudut pandang sang Nyai yang hampir mati merupakan sudut pandang yang unik, Nyai hidup dalam alam perantara antara dunia manusia dengan alam barzah. Pergulatan Nyai adalah pergulatan seorang manusia yang kaki kirinya masih berada di kamar tidur dan kaki kanannya sudah dipangku Malaikat. Ia melihat rumahnya dalam posisi sebagai makhluk ghaib, sementara ia masih bisa merasakan aroma dan nuansa akrab dalam ruang-ruang rumah itu. Sudut pandang ini menarik karena membuka perspektif ketiga dalam memandang yang Ilahi dan duniawi, katakanlah perspektif ambivalen. Dampaknya, posisi sang Nyai membuat segala percakapannya dengan entitas gaib bernama Malaikat Izrail menjadi sangat sakral sekaligus profan, sangat transenden sekaligus imanen, sangat surgawi sekaligus duniawi.

Baca juga:

Triyanto Triwikromo dalam karya-karyanya memang dikenal sebagai sastrawan yang gemar menulis dengan pendekatan imajinatif yang kadang terlewat gila. Menurut beberapa kritikus, ia memakai modus fantastik yang merongrong tradisi sastra mapan, di mana ia memakai bentuk-bentuk imaji terliar pada ambang batas nalar sehat manusia sehingga menggoyangkan tradisi sastra nan tertib, rasional, logis yang mengarusutama secara konvensional di zamannya.

Afrizal Malna mengomentari cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo sebagai “tubuh penuh tato”, di mana risiko dan realitas sosial yang perih ditorehkan pada tubuh cerpen itu. Tingkat perusakan estetik dan etik dalam tubuh cerpen Triyanto Triwikromo menjadi titik penting untuk menyelami dunia pengisahan yang berusaha ia tuturkan. Teks yang saya tulis ini kemudian bukan ulasan, bukan review, atau esai kritik sastra seperti yang Nirwan Dewanto lakukan pada cerpen Triyanto Triwikromo. Saya justru hanya ingin melihat bagaimana posisi teologis cerpen ini dalam melihat Tuhan pada ruas jalan raya yang membentang pada kematian hingga alam gaib bernama surga, pun jika surga benar-benar ada.

***

Tuhan sebagai Peristiwa

Esai ini saya tulis ketika selesai membaca “Setelah 16.200 Hari” dan menyadari betapa teologisnya perdebatan antara dua tokoh utama, yaitu Nyai dan Malaikat Izrail. Jika dialog itu diringkas dalam sebuah kalimat, dialog itu hanyalah tarik ulur antara realitas yang sangat sakral sekaligus profan, dunia yang transenden sekaligus imanen, sangat surgawi sekaligus duniawi. Tuhan dalam cerpen ini kemudian dipandang sebagai peristiwa, alih-alih sebagai entitas atau identitas ilahiah yang dibekukan melalui ritus. Tuhan justru berada pada ambang batas yang transenden dan imanen, sosok “Tuhan” justru “terjadi ketika” dibanding “hadir sebagai”.

Pada situasi kematian, sang Nyai yang mencari Tuhan dihadapkan dengan ucapan Malaikat, bahwa Allah ada di dalam dirimu. Sehingga Nyai tak perlu mencari sang Tuhan, melainkan Tuhan yang akan mencarinya. Pada bagian terakhir sebelum cerpen selesai, sang Tuhan hadir sebagai peristiwa:

“Doa-doanya (Kyai) akan membuatmu husnul khatimah, Nyai.”

“Sangat lama Abah (Kyai) berdzikir. Sangat lama. Tepat pada hitungan 16.200 hari kami bersama, pelan-pelan tubuh Abah diselimuti cahaya.”

“Sekarang kalian tidak perlu mencari Tuhan lagi. Tuhan telah menemukan kalian!”

Dzikir yang dilakukan sang Kyai sebagai relasi cinta yang teologis pada Nyai adalah peristiwa “kemunculan Tuhan”. Tuhan yang kadung dianggap sosok transenden—bertahta di Surga sebagai sosok mengawang-awang jauh di seberang—ternyata hadir saat cinta dua manusia bertautan sangat kencang. Sisanya, dunia gaib antara Malaikat dan Nyai hanya sekadar kumpulan cahaya. Dunia arwah dalam cerpen ini adalah dunia profan, dunia keseharian hidup manusia.

Baca juga:

Membaca kisah Nyai dan Kyai ini membuat saya teringat pada sebuah orasi Slavoj Zizek dalam aksi Occupy Wall Street tahun 2011. Melalui sebuah argumen teologi kritis, Zizek melihat Roh Kudus (Holy Spirit) yang merupakan manifestasi diri Tuhan dalam kekristenan pada hakikatnya adalah “peristiwa”. Roh Kudus bagi Zizek bukan entitas supranatural, melainkan “peristiwa” yang terjadi ketika solidaritas dan saling cinta antar manusia. Dunia arwah bagi Zizek sudah usai dan tak benar-benar ada, dalam metafora Nietzschean: Gott ist tot (Tuhan telah mati). Roh Kudus justru terjadi sebagai peristiwa dalam perayaan cinta, solidaritas, dan rasa saling peduli antar manusia. Imanensi Tuhan, atau katakanlah pembumian Tuhan yang bertahta di dunia seberang, terjadi dalam relasi kecintaan antar manusia. Justru hanya dalam ketersalingan cinta itulah Tuhan hadir sebagai peristiwa.

Ratusan tahun sebelum orasi berapi-api Zizek di pusat imperium ekonomi global, nyanyian gerejawi abad 8 telah mencatat syair luar biasa soal itu. Himne ini biasa dinyanyikan dalam rangkaian Kamis Putih menjelang peringatan gerejawi akan kematian Yesus. Syair utama dalam lirik itu adalah Ubi cáritas et amor, Deus ibi est, artinya di mana ada cinta dan kasih (karitas) disitulah Tuhan ada. Jelas bahwa peristiwa kehadiran sang Ilahi adalah perayaan akan cinta kasih. Nyai dan Kyai abadi dalam pelukan cinta kasihnya, maka Allah hadir melampaui dzikir sang Kyai, Ia hadir justru sebagai peristiwa cinta Kyai pada sang Nyai. Untuk membuat Nyai paham, Malaikat mengutarakan hakikat Tuhan, sang Cahaya Mahacahaya:

“Cinta adalah pintu suci yang memungkinkan siapa pun mengintip Cahaya Mahacahaya yang bersembunyi dari kefanaan dunia.”

Teringat ucapan lain Malaikat pada sang Nyai, bahwa ia tak perlu mencari Allah, sebab Allah ada dalam diri Nyai. Allah tak perlu dicari-cari. Ia perlu diwujudkan dalam relasi cinta sehari-hari yang sederhana, di mana cinta bukan sekadar diungkap, tapi menjadi laku hidup sehari-hari.

 

 

Editor: Prihandini N

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email