Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Rafah dan Rimba Anarki Dunia

Adrian Aulia Rahman

4 min read

26 Mei Minggu malam, kamp pengungsian Rafah terasa kelam dan mencekam. Dunia menyaksikan aksi serangan biadab Israel terhadap kamp pengusian di kota itu. Serangan itu terjadi dua hari setelah Mahkamah Internasional (ICJ) meminta Israel untuk menghentikan operasi militernya di Kota Rafah. Namun, seruan itu tak dihiraukan dan dianggap angin lalu. Bahkan, melalui keterangan juru bicara pemerintah, Avi Hyman, dengan pongahnya Israel mengatakan bahwa tidak ada kekuatan dunia yang bisa menghentikan negara itu dalam melindungi warganya dan memburu Hamas. Ia keliru, mungkin maksudnya adalah, tidak ada kekuatan dunia yang bisa menghentikan aksi genosida Israel. 

Dunia menyaksikan pembantaian biadab yang dipertontonkan Israel secara telanjang. Seluruh mata penduduk dunia menuju ke Rafah. All eyes on Rafah. Ini sebuah momentum. Selain momen dukacita dan pengutukan kebiadaban Israel, ini adalah momen kita untuk berefleksi.

Mengapa ini masih terjadi? Hasrat gila apa yang harus terpenuhi agar ini berhenti? Peradaban apa yang kita banggakan saat kekejaman dipertontonkan secara telanjang? Di era apa kita hidup saat ini? Kebekuan otoritas PBB dan badan pengadilannya dalam menghentikan serangan Israel menjelaskan satu hal: kita masih hidup dalam rimba raya anarki dunia.

Baca juga:

Anarki Dunia

Kutukan terhadap serangan Israel maupun simpati dan dukungan moral terhadap Palestina didasarkan pada nilai-nilai luhur humanisme dan moralitas. Ini merupakan satu hal yang sangat wajar terjadi dan sudah seharusnya terjadi. Perlu ditanyakan apabila ada individu yang kemanusiaannya tak terusik melihat kekejaman tersebut. Dukungan moral ini termanifestasi secara nyata dengan populernya ungkapan All Eyes on Rafah. Semua mata tertuju ke Rafah. Hormat setinggi-tingginya kepada siapa pun yang turut menyuarakan dukungan dan simpati atas penderitaan warga Palestina. Namun, dalam tulisan ini, saya berusaha untuk melihat peristiwa di Rafah dalam lingkup analisis sistem dunia yang masih terjebak dalam rimba anarki dan nir-otoritas yang berbahaya. 

Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lainya. Itulah ungkapan terkenal yang dicetuskan Thomas Hobbes, sang penulis Leviathan. Ungkapan Hobbes tersebut merupakan penggambaran akan realita yang dikaitkan dengan absennya otoritas atau tatanan anarki nir-aturan, di mana perasaan saling mengancam menjadi dasar relasi yang tak henti-henti. Keadaan nir-otoritas ini akan bermuara pada kekacauan. Setiap orang bisa dengan bebas saling bunuh dan saling bantai karena adanya rasa terancam tadi.

Pandangan Hobbesian tersebut turut merepresentasi realita tatanan dunia yang ada. Dunia adalah anarki yang nir-otoritas. Jauh sejak era Yunani, era caesaropapisme abad pertengahan, ataupun era negara-bangsa pasca-Westphalia, tiada satu otoritas tunggal yang mengatur tatanan dunia. Namun, pada abad ke 20, setelah Perang Dunia I, dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa (LBB) melalui prakarsa Woodrow Wilson. LBB menjadi semacam lembaga dengan otoritas yang mencakup seluruh negara di dunia yang menjadi anggotanya. LBB jelas bukan sebuah pemerintahan dunia (world government), tetapi cakupan otoritasnya melintasi batas teritorial negara-bangsa. Ironisnya, LBB gagal bekerja dan mengalami kemandulan. Berkobarlah Perang Dunia II.

Pada penghujung Perang Dunia II, dengan kemenangan sekutu, lembaga dengan otoritas global yang serupa dengan LBB berusaha dibentuk. Dengan semangat Piagam Atlantik 1941 yang dirumuskan Franklin Roosevelt dan Winston Churchill, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berdiri melalui Konferensi San Francisco pada 1945. Perdamaian dunia menjadi orientasi dibentuknya PBB. Sebagaimana pendahulunya, Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah pemerintahan dunia. Ada kekecewaan saat PBB gagal menyatukan seluruh negara-bangsa dalam kesatuan pemerintahan dunia. John F. Kennedy adalah salah satu di antara yang kecewa itu. Kennedy menganggap konferensi di San Francisco nihil idealisme. Menurutnya, bangsa-bangsa tidak bersedia menyerahkan kedaulatan mereka pada organisasi internasional. 

Baca juga:

Ya. Itulah realitanya. Kendati PBB sudah berdiri, dunia tetaplah anarki. Konsekuensinya, hukum yang berlaku condong ke arah hukum rimba anarki dengan unjuk kekuatan dan kesemena-menaan daripada hukum internasional. Peristiwa di Rafah dan berbagai kekejaman Israel lainnya adalah bukti nyata dari absennya otoritas ini. Israel tak menghiraukan otoritas PBB ataupun Mahkamah Internasional yang berkali-kali menyerukan penghentian serangan dan kekejaman. Dan ironisnya, PBB ataupun ICJ tak bisa bertindak lebih jauh.

Memang, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sempat mengeluarkan surat perintah penangkapan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar. Dengan marah Netanyahu menolak surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC tersebut. Amerika Serikat turut memberikan penolakannya. Bahkan secara ironi, muncul beberapa ancaman di Kongres AS yang akan memberikan ‘hukuman’ terhadap ICC atas surat perintah penangkapan Netanyahu tersebut. Ini mengindikasikan bahwa otoritas lembaga internasional tersebut tak cukup dihargai dan diindahkan. Kita bisa menyimpulkan bahwa dunia kita masih terjebak dalam rimba anarki yang tak berujung.

Lantas Apa?

 Kekejaman Israel didorong oleh tidak adanya otoritas yang ditakuti Israel. Ini terlihat dalam pernyataan juru bicara pemerintah Israel, Avi Hyman. Ini adalah konsekuensi dari nir-otoritas dalam anarki dunia. Setelah kita melihat persoalannya, lantas apa selanjutnya? Apakah kita hanya akan menonton Rafah-Rafah berikutnya? Atau bahkan kekejaman yang lebih nir-humanis lagi? Apabila kita berakal dan bermoral, jawabannya tentu tidak. 

Saya berusaha merumuskan beberapa solusi dari persoalan ini. Cukup idealis atau mungkin juga beberapa orang menganggapnya naif. Silakan. Tak ada larangan untuk berkomentar. Namun, tentu tak ada juga larangan untuk saya merumuskan gagasan. Untuk mengatasi kondisi anarki yang masih membelit tadi, serta menghindari kesemana-menaan negara, sebagaimana yang dilakukan Israel di Rafah, ada beberapa poin yang berusaha saya ketengahkan untuk menghindari atau meminimalisasinya. 

Pertama, kehendak (will) dan inisiatif para great power. Cukup rumit mengelompokkan negara kekuatan besar (great power) dunia saat ini. Namun, apabila merujuk pada pandangan John Mearsheimer, negara great power saat ini adalah Amerika Serikat, Cina, dan Rusia. Ketiganya adalah anggota tetap dewan keamanan PBB. Berdasar pada realita, kita tak bisa berimajinasi bahwa ketiga negara tersebut akan seiya-sekata. Namun tatanan dunia ini perlu dirumuskan ulang. Dan mereka tentu yang paling otoritatif dari segi kekuatan politik maupun ekonomi.

Baca juga:

Kehendak dan inisiatif negara adidaya ini berupa upaya untuk menyusun ulang tatanan dan cara kerja dunia. Kecurigaan dan sinisme harus diraibkan. Mereka bisa bekerja sama (betapa pun susahnya) untuk menjadikan dunia ini lebih damai dan multilateralisme semakin menguat, serta daya guna organisasi internasional seperti PBB semakin meningkat. Konferensi Big Three saat PD II bisa diulang, dengan aktor yang berubah dan orientasi yang sama: tata dunia yang lebih damai.

Kedua, membentuk koalisi internasional penjaga perdamaian. Apabila poin pertama dirasa terlalu mengawang-ngawang dan idealis, poin kedua ini bisa dilakukan. Negara-negara di dunia bisa membentuk satu koalisi sukarela yang bisa dinamakan koalisi penjaga perdamaian (peace guard). Koalisi ini bisa berguna untuk mengawal setiap dinamika politik global. Secara satu suara, koalisi ini bisa mengutuk tindakan kekerasan global di mana pun ataupun memberikan bantuan moral dan materil bagi korban kekejaman.

Asumsinya, setiap negara yang bersedia terlibat berorientasi total dan ideal pada nilai-nilai luhur moralitas akan perdamaian dan keadilan global. Dalam konteks ini, Indonesia dengan kapasitasnya berpeluang besar menjadi negara pelopor untuk membentuk koalisi internasional penjaga perdamaian ini. Apabila negara yang dikecam, Israel misalnya, tetap tak menghiraukan seruan perdamaian, konsekuensi logisnya adalah dilakukan pengucilan oleh negara koalisi terhadap Israel. 

Ketiga, membentuk pemerintahan dunia (world government). Solusi ketiga ini adalah solusi yang paling rumit dan penuh tantangan. Untuk membentuk suatu pemerintahan dunia, diperlukan komitmen dari setiap negara untuk tunduk patuh pada otoritas dunia. Negara harus berbesar hati dilucuti kedaulatannya dan terikat sepenuhnya pada peraturan dan tata kerja sistem pemerintahan dunia yang berjalan. Tulisan ini tidak untuk merumuskan cara mencapainya, karena perlu kajian yang lebih lengkap. Namun ide besarnya jelas, pemerintahan dunia, sebagaimana yang diimpikan Kennedy, bisa dirumuskan untuk membangun dunia yang lebih aman dan teratur.

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email