Tatanan internasional liberal atau international liberal order telah gagal bekerja dan mengalami kemandulan. Tatanan dunia yang bekerja sejak berakhirnya Perang Dunia II ini tidak mampu membebaskan dunia dari konflik dan peperangan. Manifestasi paling konkret dari tatanan dunia pascaperang ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. PBB dibentuk dalam upaya untuk menyalurkan harapan akan perdamaian universal di tengah kelesuan psikologis yang diderita pascaperang.
Ternyata harapan akan perdamaian yang disimbolkan dalam kokoh berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa ini kian terkikis habis, bahkan hilang sama sekali. PBB gagal untuk mencegah serta menangani konflik antarbangsa yang selalu membayangi wacana politik dunia kita. Terbaru, dalam usianya yang ke 78 tahun, PBB mengalami kemandulan dalam menangani konflik di Eropa Timur antara Rusia-Ukraina serta genosida berdarah yang terjadi Gaza. PBB terkerangkeng dalam dilema dan kelumpuhan menyedihkan.
Baca juga:
Kemandulan PBB mengonfirmasi gagalnya tatanan internasional liberal yang terbentuk sejak 1945. Sebagai negara sentral dalam tatanan dunia pascaperang, Amerika Serikat terbukti tidak mampu menjadi pionir perdamaian, bahkan dalam beberapa konflik justru menjadi penyulut perang berdarah yang berkepanjangan. Oleh karena, perlu ada penilaian kritis untuk mengatasi persoalan ini, apa penyebab mandulnya tatanan internasional liberal ini dan juga alternatif penggantinya.
Antara Keseimbangan dan Otoritas Internasional
Perdebatan paling fundamental dalam diskursus politik internasional adalah perdebatan menyangkut soal tatanan dan arsitektur global apa yang paling ideal dijalankan. Ini sudah berlangsung paling tidak sejak diakhirinya Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) di Eropa dengan diselenggarakannya Perjanjian Damai Westphalia 1648. Perjanjian yang berisi 128 pasal ini memunculkan satu wacana baru dalam relasi antarbangsa, yakni kedaulatan negara. Sejak saat itulah sejarah politik dunia memasuki era negara bangsa atau nations-state.
Kesadaran akan kebangsaan melahirkan nasionalisme yang cenderung fanatik terhadap batas-batas spasial yang dikenal dengan negara. Hal ini diperkuat dengan munculnya kekuatan politik kerakyatan dan republikanisme setelah meletusnya Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18. Konsepsi akan negara bangsa telah memunculkan kosakata baru, yaitu kepentingan nasional atau national interest. Kepentingan nasional suatu bangsa dapat menyulut konflik berdarah dengan bangsa lain karena benturan kepentingan yang tidak bertitik temu.
Kepentingan suatu negara yang tidak sesuai dengan kepentingan negara lain akan berakhir menjadi perang yang mengerikan. Untuk mengatasi ini, muncullah argumen teoritis dalam diskursus hubungan internasional, terutama untuk meminimalisasi konflik antarbangsa, yakni paradigma realisme dan liberalisme idealis.
Realisme menekankan pada perimbangan kekuasaan (balance of power) antara kekuatan-kekuatan besar untuk meminimalisasi konflik antarnegara. Dengan adanya perimbangan kekuasaan, tidak akan terjadi kelebihan kekuatan (power surplus) di suatu negara yang bisa memicu hasrat ekspansionisme dan menyulut konflik. Sedangkan paradigma liberalis atau idealis menekankan upaya menciptakan otoritas global untuk meminimalisasi konflik antarbangsa. Pendekatan idealis ini erat juga dengan paham internasionalisme.
Untuk memahami bagaimana kedua paradigma itu bekerja, kita bisa melihat contoh sejarah. Pada awal abad ke-19, panggung Eropa diguncang oleh ambisi ekspansionisme kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte. Pasca mengukuhkan diri sebagai kaisar Perancis di hadapan Paus Pius VII, Napoleon menjadi kaisar dan penakluk Eropa paling hebat dan disegani di seluruh dunia. Napoleon mengguncang keseimbangan Eropa dengan ambisi penaklukannya yang berhasil dan brilian tetapi tentu dibenci musuh-musuhnya.
Pada Tahun 1805, Napoleon menghadapi laksamana Inggris termasyhur, Horatio Nelson. Ia berhasil mengalahkan laksamana Inggris tersebut dalam Pertempuran Trafalgar. Kemudian pada 1812, Napoleon mengepakkan sayap ekspansionisme ke Rusia, tetapi kemudian mengalami kekalahan di Leipzig pada 1813, dan sang kaisar diasingkan ke Pulau Elba.
Namun, ambisi Napoleon belum padam. Ia melancarkan perang di Waterloo. Pada pertempuran penghabisan di Waterloo ini, Napoleon mengalami kekalahan melawan tentara koalisi yang dipimpin Inggris. Kekalahan di Waterloo ini menandai akhir dari Perang Napoleon yang membuat sang kaisar dibuang ke St. Helena. Dalam periode akhir Perang Napoleon, diselenggarakan sebuah pertemuan tingkat tinggi di Wina, yang dikenal dengan Kongres Wina. Kongres Wina menghasilkan keputusan yang salah satunya adalah mengembalikan tatanan politik pra-Napoleon di Eropa, yang dikenal dengan sistem Metternich atau Metternich system, diambil dari nama tokoh penting Kongres Wina di Austria, yakni Karl von Metternich, yang oleh Henry Kissinger dijuluki sebagai seorang realis tertinggi.
Ambisi Napoleon dalam perangnya tersebut merupakan bukti surplus kekuatan suatu bangsa yang mengancam bangsa lain dan menghancurkan perimbangan kekuasaan. Dalam bukunya yang berjudul A World Restored, Henry Kissinger mengatakan bahwa keinginan suatu kekuatan untuk mendapatkan kekuatan absolut adalah ketidakamanan bagi kekuatan lainnya. Oleh karenanya tatanan politik Eropa selepas Kongres Wina berusaha untuk mencapai keberimbangan kekuasaan antarnegara agar perang destruktif Napoleon tidak terulang kembali.
Contoh sejarah lainnya yang menarik untuk diulas adalah kurun waktu antara Perang Dunia I hingga meletusnya Perang Dunia II pada abad ke-20. Perang Dunia I yang begitu destruktif tersebut diakhiri oleh Konferensi Versailles untuk mengatur tatanan dunia pascaperang. Menariknya, di akhir perang ini muncul suatu ide baru tentang internasionalisme, yakni gagasan mengenai pembentukan Liga Bangsa-Bangsa yang termaktub dalam salah satu pasal dari Empat Belas Pasal Woodrow Wilson yang terkenal itu. LBB diharapkan mampu mencegah terulangnya konflik antarbangsa yang dialami sejak 1914.
Cita-cita luhur perdamaian dalam wujud LBB ini adalah suatu paradigma idealisme liberal. Namun, LBB mengalami kegagalan dan kemandulan peran, terutama dengan bangkit dan menguatnya kekuatan-kekuatan fasisme dunia di Italia, Jerman, dan Jepang yang akan berakibat pada konflik yang lebih hebat dan berdarah pada tahun 1939. Periode antara kedua perang dunia ini adalah periode uji coba tatanan liberal internasionalis yang ternyata mengalami kegagalan.
Dalam bukunya yang berjudul The Twenty Years Crisis 1919-1939, Edward Hallett Carr menekankan bahwa tidak adanya otoritas yang lebih tinggi membuat tidak terciptanya harmoni dalam kepentingan global, yang ada hanyalah kepentingan nasional yang saling berbenturan. Invasi Hitler ke Polandia pada 1939 mengonfirmasi kegagalan tatanan politik liberal Wilsonian.
Baca juga:
Kegagalan tatanan dunia liberal Wilsonian telah membawa dunia pada Perang Dunia II. Di akhir perang besar ini pada 1945, sebuah tatanan dunia baru terbentuk. Tatanan dunia tersebut adalah tatanan internasional liberal yang dilandasi oleh Piagam Atlantik Franklin D. Roosevelt dan Winston Churchill tahun 1941, yang kemudian dimanifestasikan dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa yang gagal bekerja. PBB adalah cita-cita idealis-liberal yang berusaha menegakkan perdamaian di seluruh belahan dunia. Kendati demikian, konflik baru justru membayang-bayangi dunia pascaperang, yakni rivalitas antara dua kekuatan besar dalam sistem dunia bipolar, yang tiada lain adalah konfrontasi Amerika Serikat dan Uni Soviet yang lebih dikenal dengan era Perang Dingin.
Paradoks Perserikatan Bangsa-Bangsa
PBB adalah organisasi yang melambangkan harapan akan perdamaian. Dengan adanya organisasi dunia ini, diharapkan perang destruktif di awal hingga pertengahan abad ke-20 tidak lagi terulang. PBB menjadi pengejawantahan dari cita-cita idealis-liberal yang memimpikan perdamaian dengan menghadirkan suatu otoritas global.
Namun, PBB tidak sampai pada taraf otoritas global yang berupa pemerintahan dunia (world government), sebab dibatasi oleh keengganan negara-negara untuk menyerahkan kedaulatannya. Hal ini membuat seorang muda yang menyaksikan langsung konferensi PBB di San Francisco pada Juli 1945 merasa kecewa karena ketiadaan idealisme dalam pembentukan badan dunia tersebut. Pemuda itu tiada lain adalah John Fitzgerald Kennedy, yang pada tahun 1961 berhasil menjadi penguasa Gedung Putih. Kennedy mengatakan bahwa bangsa-bangsa tidak bersedia menyerahkan kedaulatan mereka kepada organisasi internasional.
Kendati demikian, PBB tetaplah perwujudan dari cita-cita idealis-liberal. Namun menariknya, ada paradoks dalam organisasi dunia ini. Kendati dibangun atas cita-cita liberal, paradigma realis tetap kuat memengaruhi badan internasional ini. Perimbangan kekuasaan dalam paradigma realis secara nyata dapat dilihat dalam badan inti PBB, yakni Dewan Keamanan. Anggota tetap Dewan Keamanan adalah Amerika Serikat, Rusia (Uni Soviet), Inggris, Prancis, dan Tiongkok. Kelima negara tersebut dalam sejarahnya sering kali terlibat dalam rivalitas tajam, terlebih pada masa Perang Dingin, ketika aliansi negara Barat yaitu AS, Inggris, dan Prancis berhadapan dengan Rusia dan Tiongkok.
Rivalitas antara kekuatan besar ini dapat dilihat dalam bekerjanya Dewan Keamanan PBB. Dalam beberapa isu misalnya, satu resolusi DK PBB yang diajukan oleh Amerika Serikat akan mendapatkan veto dari Rusia atau Tiongkok, begitupun sebaliknya. Contoh terbarunya adalah beberapa resolusi yang diajukan menyangkut konflik di Ukraina dan Palestina dijawab oleh veto karena kuatnya benturan kepentingan. Adanya rivalitas antara great power yang selalu saling amputasi kepentingan ini membuat tatanan internasional tidak bekerja dengan baik.
Oleh karena itu perlu ada reformasi, paling tidak dalam struktur Dewan Keamanan PBB yang saat ini sudah tidak lagi relevan. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang diduduki lima negara tidak lagi relevan karena mencerminkan tata politik dunia yang usang sejak 1945. Menteri Luar negeri Australia, Penny Wong juga sempat mengemukakan bahwa perlu ada reformasi PBB, terutama dalam anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Ada beberapa hal yang menurut saya bisa dilakukan untuk mereformasi PBB dan memulihkan tatanan dunia yang gagal bekerja saat ini.
Pertama, memperkuat politik regionalisme di berbagai kawasan. Politik regional yang bisa diwujudkan dengan organisasi regional seperti ASEAN. Organisasi regional bisa diperkuat untuk mengurangi implikasi konflik antara great power terhadap negara-negara middle power. Dengan menguatnya politik regionalisme, pengimbangan kekuatan di dunia bisa lebih multiporal ketimbang bipolar atau tripolar. Regionalisme kawasan juga bisa menjadi alat untuk mereformasi anggota tetap DK PBB, dengan diajukannya wakil-wakil dari negara organisasi-organisasi kawasan yang ada. Dengan demikian, setiap kawasan atau regional memiliki representasi di DK PBB. Dan dengannya, pengimbangan kekuatan di dunia dan di PBB bisa lebih merata.
Kedua, memperkuat peran PBB dengan meningkatkan komitmen internasionalis. Keluhan Kennedy di San Francisco tahun 1945 tentang keengganan bangsa-bangsa menyerahkan kedaulatan kepada PBB masih relevan. Memang sangat sulit memangkas peran dan kedaulatan negara untuk berkomitmen lebih tinggi pada kepentingan global karena masih terjerat pada doktrin kepentingan nasional. Namun rasa-rasanya, di tengah dunia yang semakin terintegrasi secara global dalam berbagai aspeknya, komitmen internasionalis dan perdamaian universal masih bisa diwujudkan tanpa mengikis habis kedaulatan negara. Negara-negara hanya perlu berorientasi pada komitmen perdamaian universal, dan kemudian bersama-sama membawa PBB lebih berperan setelah terpuruk dalam jurang kelumpuhan tak berdaya.
Editor: Prihandini N