“This is our 9/11.”
Itulah penggambaran Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, atas serangan Hamas pada 7 Oktober lalu sebagaimana dikutip dari Wall Street Journal. Serangan Hamas beberapa waktu lalu menandai pergolakan baru di Palestina dan secara lebih umum di kawasan Timur Tengah. Dalil dan klaim teologis kedua belah pihak menambah kompleksitas persoalan, di samping tidak bekerjanya sistem politik dunia untuk menyelesaikan pertikaian yang panjang ini.
Serangan Hamas ke Israel beberapa waktu lalu mengundang beragam reaksi dari masyarakat internasional. Pro dan kontra saling bersaut argumen. Sesaat setelah kabar serangan tersiar, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa langsung mendeklarasikan dukungannya untuk Israel. Di lain sisi, dukungan kepada Palestina pun tidak kalah banyaknya. Fenomena ini mengindikasikan adanya polarisasi opini internasional dalam memandang konflik Israel-Palestina.
Konflik Israel-Palestina tidak bisa dipandang sebagai konflik dua negara ataupun konflik regional Timur Tengah semata. Perlu dilakukan suatu analisis lebih luas yang oleh Richard Mansbach dan Kirsten Rafferty disebut sebagai analisis sistem global. Dalam hal ini, saya akan menganalisis bagaimana konflik Israel-Palestina dalam konteks kepemimpinan global Amerika Serikat yang kini mengalami kemunduran, dunia disebut-sebut memasuki era Pasca-Amerika, serta munculnya persaingan antara great power dunia.
Bumerang Sang Elang
Amerika selalu memerankan figur sebagai kakak penyayang bagi Israel. Mulai dari Presiden Woodrow Wilson yang turut mengesahkan Deklarasi Balfour, Harry S. Truman yang turut membidani lahirnya negara Israel 1948, hingga kepresidenan Joe Biden saat ini, komitmen AS terhadap Israel tak pernah luntur. Trias Kuncahyono menyebut hubungan AS-Israel ini bagaikan laut dan ombaknya, tidak dapat dipisahkan.
Dukungan Amerika terhadap Israel sejak pendiriannya hingga saat ini begitu luar biasa dan kadang kala tanpa syarat. Komitmen kuat Amerika Serikat terhadap Israel yang kadang kala menafikan kepentingan nasional dikritik dengan tajam dan brilian oleh dua orang ilmuwan politik Amerika, John J. Mearsheimer dan Stephen Walt. Dalam bukunya yang berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy, Mearsheimer dan Walt mengevaluasi secara kritis kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah, terlebih dalam hal komitmen AS yang kuat dan lenggeng terhadap Israel.
Baca juga:
Salah satu poin penting dari buku tersebut adalah komitmen AS yang tanpa syarat kepada Israel kadang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Amerika Serikat baik secara global maupun di regional Timur Tengah. Bahkan dengan berani Mearsheimer dan Walt menyebut Israel sebagai beban strategis bagi Amerika, terutama pasca Perang Dingin.
Persoalan menyangkut komitmen AS kepada Israel pun turut mengenyahkan pertentangan ideologis partisan Partai Republik dan Partai Demokrat. Kedua partai tersebut akan berbeda tajam jika sudah menyangkut hak aborsi, hak kepemilikan senjata, komitmen perubahan iklim, pajak, serta isu-isu partisan lainnya. Namun, jika menyangkut dukungan Amerika terhadap Israel, mereka akan satu suara.
Menurut tesis meyakinkan Mearsheimer dan Walt, kuatnya dukungan Amerika kepada Israel, baik dari Gedung Putih maupun di Kongres, disebabkan oleh lobi Israel. Lobi Israel berperan membentuk opini publik Amerika untuk setia mendukung Israel. Kritik yang masuk akal terhadap Israel akan dicap sebagai antisemitisme. Mearsheimer dan Walt mengalami langsung pelabelan antisemit atas penerbitan buku mereka. Bahkan mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter, mendapatkan kritik sebagai antisemit atas bukunya yang berjudul Palestine: Peace Not Apartheid.
Respons AS atas serangan Hamas terhadap Israel baru-baru ini menunjukkan komitmen yang tidak berubah. Di Gedung Putih, Presiden Biden segera menyatakan mendukung Israel setelah kabar serangan Hamas tersiar. Ia juga tidak lupa menyebut Hamas sebagai teroris, sebagaimana yang diberitakan The Washington Post 7 Oktober lalu. Dalam rilis resmi Departemen Luar Negeri AS, Menteri Luar Negeri Anthony Blinken segera melakukan lawatan ke Timur Tengah, terutama ke Israel dan Yordania, untuk mengukuhkan dukungan Amerika terhadap perjuangan Israel mempertahankan diri dari serangan Hamas.
Di Kongres, kutukan terhadap serangan Hamas lebih tajam lagi. Mulai dari mantan Ketua DPR AS Kevin McCarthy, pemimpin mayoritas Senat Chuck Schumer, pemimpin minoritas senat Mitch McConnel, dan puluhan anggota Kongres dari kedua partai, menyatakan dukungan mereka untuk Israel dan kutukan atas serangan Hamas. Hal ini memperlihatkan bahwa Amerika Serikat satu suara dalam urusan yang menyangkut dukungan terhadap Israel.
Sayangnya, ada yang luput dari perhatian. Para politisi Amerika baik di Gedung Putih maupun di Kongres melihat persoalan ini di permukaan semata. Mereka tidak mencari akar masalah dan penyelesaiannya. Palestina selalu luput dari perhatian Amerika, padahal ada hak bagi mereka untuk meraih kemerdekaannya. AS gagal memahami bahwa ada narasi kontra yang kuat di dunia terhadap aneksasi Israel dan dukungan AS, yakni suara-suara dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Narasi kontra ini menganggap bahwa serangan Hamas merupakan sebuah upaya untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan Palestina. Selama Palestina belum merdeka, konfrontasi dan perang akan terus membayangi. Inilah persoalan dasar yang gagal dipahami AS, yang akan jadi bumerang terhadap posisi AS di dunia. Terlebih dalam dunia seperti sekarang ini, ketika AS mengalami deklinisme kekuasaan globalnya.
Beralihnya Kepemimpinan Global
Disela pertemuan Conference on Interaction and Confidence-Building Measures in Asia (CICA) di Kazakhstan, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas menemui Presiden Vladimir Putin dengan sambutan hangat, sebuah pelukan persahabatan. Abbas, sebagaimana diberitakan Aljazeera, ‘mengadu’ kepada Putin atas situasi yang sedang terjadi serta ketidakpercayaannya kepada Amerika dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Abbas juga memuji komitmen Rusia atas upaya penyelesaian konflik dengan berdasar pada resolusi PBB.
Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia Al-Sudani, Presiden Putin mengkritik AS atas konflik Israel-Palestina. Ia menganggap kebijakan AS gagal untuk menegakkan perdamaian di Timur Tengah. Dalam hal ini, Rusia mendukung suatu penyelesaian konflik dengan dimerdekakannya Palestina. Sebagaimana yang dikatakan juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, Palestina merdeka adalah solusi untuk menghentikan konflik, dengan rujukan wilayah tahun 1967, dengan ibu kota Yerusalem Timur.
Baca juga:
Sebagaimana Rusia, Cina bersikap hampir serupa. Dalam artikel berjudul Where Does China Stand on the Israel-Hamas War? Di Foreign Policy (FP), Cina menempatkan diri di posisi yang netral tentu untuk kepentingan politiknya. Namun, Beijing berharap segera tercapai kesepakatan damai antara pihak yang berkonflik. Kunci utama perdamaiannya adalah diterimanya solusi dua negara serta kemerdekaan Palestina, sebagaimana yang dipaparkan Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi.
Apabila melihat respons Rusia-Cina serta Amerika dan kita membandingkannya, respons Rusia dan Cina memperlihatkan ketepatan bersikap dalam merespons konflik Israel-Palestina. Amerika dalam hal ini memperlihatkan kegagapan dalam kebijakan luar negerinya, dengan tidak memahami perlunya solusi memerdekakan Palestina untuk menyelesaikan persoalan. Alih-alih berinisiatif untuk penyelesaian internasional yang inklusif, AS justru melakukan orkestrasi mengutuk Hamas dan membela Israel dengan nonkompromi. Dalam hal ini, skeptisisme Mahmoud Abbas terhadap AS cukup beralasan.
Realita ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa konflik Israel-Palestina secara internasional telah berwujud saling berhadap-hadapannya kekuatan besar dunia, dalam hal ini Amerika, Rusia, dan Cina. Amerika dengan dukungan yang begitu kuat kepada Israel berhadapan dengan penilaian yang lebih realistis-objektif dari Cina dan Rusia. Ada beberapa poin yang menurut saya penting kita garis bawahi.
Pertama, kebijakan AS terhadap Israel ini hemat saya akan semakin melunturkan wibawa dan kedigdayaan AS di mata internasional. AS akan dicurigai oleh berbagai pihak sebagai negara yang berat sebelah, tidak objektif, dan bahkan musuh bersama, terutama bagi para pihak yang mendukung kemerdekaan Palestina. Sikap reaksioner AS akan dianggap sebagai lemahnya kepemimpinan global AS dan mengharumkan reputasi rivalnya, Rusia dan Cina.
Kedua, konflik Israel-Palestina dan respons Washington mengindikasikan gagalnya kepemimpinan global AS. Amerika Serikat, sebagai super power dunia, gagal menjamin perdamaian sebagaimana yang diamanatkan dalam Piagam PBB. AS juga gagal memahami atau pura-pura tidak memahami hak bangsa Palestina untuk merdeka sebagaimana termaktub dalam Empat Belas Pasal Woodrow Wilson, Piagam Atlantik, ataupun semangat antikolonialisme Franklin Delano Roosevelt dan Menlu Cordell Hull.
Ketiga, semakin menguatnya paradigma pasca-Amerika dalam politik dunia. Pasca-Amerika adalah masa ketika Amerika Serikat sudah tidak lagi dominan dalam sistem internasional dan kekuatan-kekuatan baru muncul sebagai pesaingnya. Dalam konteks ini, gagasan perdamaian realistis dan objektif Rusia dan China tentang konflik Israel-Palestina akan membuat masyarakat internasional menjustifikasi kepemimpinan global Cina dan Rusia. Washington akan banyak kehilangan dukungan internasional karena ketidakmampuannya bersikap adil dan objektif.
Editor: Prihandini N R
One Reply to “Konflik Israel-Palestina dan Dunia Pasca-Amerika”