Ketika kecil, saya senang menjaga memori melalui benda-benda, tidak peduli benda itu berguna atau tidak. Hal ini tak jarang membuat saya berdebat dengan ibu saya tentang barang-barang usang yang terus saya simpan. Tak jarang juga saya kena omel karena lebih suka memakai baju lusuh pemberian nenek daripada baju baru yang ibu saya belikan. Entah kenapa selalu ada perasaan tidak tega ketika saya akan membuang sesuatu yang pernah menjadi bagian dari momen indah, bahkan jika itu hanya sekadar karcis parkir. Saya terlalu takut kehilangan akan kenangan. Bahkan terkadang saya lebih memilih untuk tidak mencari sesuatu daripada menemukan bahwa ternyata sesuatu itu telah tiada atau hilang.
Seiring berjalanya waktu, saya menyadari bahwa saya tidak dapat menggenggam segalanya. Satu persatu, semua yang saya jaga pergi meninggalkan, baik itu benda, manusia, maupun perasaan. Mengantarkan saya pada kesadaran bahwa dunia memang tempatnya kepergian. Namun juga menyadarkan saya bahwa memori tidak pernah benar-benar pergi. Jika pun terasa hilang, ke mana ia sebenarnya bersembunyi? Sesuatu yang pernah singgah dalam hidup kita, meski tampak menghilang, selalu meninggalkan jejak yang tak kasatmata. Ia tidak lenyap begitu saja, melainkan menyusup ke dalam setiap sudut pikiran dan hati, merayap pelan, menyatu dengan cara kita melihat dunia.
Pada akhirnya semua pengalaman subjektif yang saya miliki menjadi balok-balok yang membentuk identitas diri. Beberapa ruang kosong yang belum menemukan kepingan balok yang tepat, untuk sementara terisi oleh butiran-butiran pertanyaan. Di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan klise seorang perempuan usia awal 20-an, yang jawabanya tidak dapat ditemukan di tepi jalan sembarangan, seperti “Seberapa penting eksistensi saya di dunia ini?”, “Semua ambisi saya ujungnya untuk apa?”, “Apa itu kebahagiaan?”, dan yang akhir-akhir ini menjadi bahan renungan saya adalah “Apakah hasrat yang saya miliki murni berasal dari dalam diri saya?”. Kegelisahan tersebut muncul setelah saya membaca kutipan Jacques Lacan, “Desire is the desire of the other” yang berarti bahwa keinginan kita sebetulnya merupakan bentukan dari apa yang orang lain atau “society” inginkan.
Baca juga:
Agaknya kutipan tersebut benar, mengapa saya harus merasa tertinggal ketika melihat notifikasi pencapaian baru yang orang-orang sematkan di aplikasi Linkedin? Merasa tidak berkembang ketika tidak sesibuk yang lainya? Atau merasa kehilangan eksistensi setelah tidak mengunggah apa pun di Instagram selama beberapa bulan lamanya? Padahal saya yang memang tidak senang update di sosial media. Namun, terkadang rasa bersalah menghampiri, seakan saya telah mengabaikan tanggung jawab yang seharusnya saya lakukan. Tanpa saya sadari konstruksi sosial telah memainkan peran dalam mengendalikan hasrat, serta mengaburkan posisi antara pilihan dan kewajiban.
Konsekuensi Kehidupan Modern
Gejala-gejala tersebut menjadi konsekuensi dari kehidupan modern, yang sering kali menuntut diri kita untuk tetap merasa produktif, ingin terus mencapai lebih, dan selalu up-to-date dengan tren terbaru, tidak lain karena kita melihat orang lain melakukan hal serupa. Dorongan untuk terus mengejar karier, akademik yang sempurna, atau kesuksesan material sering kali tidak muncul dari kesadaran pribadi, melainkan dari apa yang dipersepsikan sebagai standar sosial. Manusia memang pada dasarnya bersifat survival dan tidak ingin merasa tertinggal, namun apabila tidak disikapi dengan baik, ini semua dapat menghantarkan kita pada ambisi buta. Kita tidak memaknai secara mendalam apa yang sedang kita perjuangkan, yang pada akhirnya menjebak kita dalam pandangan hidup yang sempit.
Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Jean Paul Sartre, final dari eksistensi manusia adalah kematian. Jika ujung dari segalanya adalah ketiadaan, mengapa kita harus terburu untuk menggapai apa yang orang lain harapkan? Bukankah mereka yang menitipkan harapan juga akan berakhir dalam ketiadaan. Terkadang kita terlalu takut untuk melangkah keluar dari kotak asumsi, takut dianggap gagal, takut dianggap menyimpang, merasa terburu waktu, dan takut apabila tidak dapat memenuhi standar yang diciptakan oleh orang lain. Namun, pada akhirnya, standar itu hanyalah konstruksi yang fana, sama seperti kita. Lalu, apakah yang sebenarnya ingin kita kejar? Nampaknya kita perlu pertanyakan kembali apa yang benar-benar kita inginkan, bukan apa yang orang lain anggap layak untuk kita capai.
Baca juga:
Pribadi yang Peka dan Rendah Hati
Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini bukan bermaksud mengajak pembaca untuk hidup sewenang-wenang, melainkan untuk memikirkan konsekuensi dari segala keputusan hidup yang kita pilih. Seberapa sering kita lebih memilih pekerjaan yang dianggap lebih bergengsi daripada pekerjaan yang memang kita cintai? Seberapa sering kita memilih untuk mengubur mimpi dengan tidak mencoba daripada harus menghadapi rasa sakit akibat penolakan? Atau seberapa sering kita mempertahankan seseorang karena telah terbiasa bersama bukan karena cinta? Sekiranya sampai kapan membohongi diri?
Perenungan seperti ini setidaknya dapat membantu kita menjadi pribadi yang lebih peka dan rendah hati. Sebagaimana petuah yang diberikan Krisna terhadap Arjuna ketika akan berperang melawan Kurawa, “berbuatlah tanpa perlu mengindahkan buah dari apa yang kamu lakukan.” Artinya, tindakan yang autentik tidak memerlukan validasi dari hasil atau penilaian orang lain. Kehidupan mungkin penuh dengan absurditas, tetapi kehidupan yang dihidupi secara autentik dan tanpa pamrih akan mengarahkan kita dalam menemukan esensi hidup yang lebih bermakna.
Editor: Prihandini N