“Jika saja ia tahu bahwa ia bukan berasal dari kumpulan telur yang sama, tentu ia tidak perlu bertanya-tanya mengapa adik-adiknya menetas dalam jarak yang teramat jauh. Jika saja ia tahu, ibunya bukanlah bebek yang mengeraminya, tentu ia bisa mengerti mengapa ia terlahir dengan keadaan seperti itu.” (Halaman 5)
Kalau Hans Christian Andersen mengenalkan kita pada itik buruk rupa dalam fabel The Ugly Duckling (1843), Clara Ng mengenalkan kita pada bebek paling aneh dan berbeda dalam novel terbarunya, Mao Mao dan Berang-Berang: Penerbangan Ajaib ke Ujung Dunia (2023).
Cinta pada pandangan pertama. Perasaan itu mencuat ketika Clara membikin saya menyaksikan penetasan Mao Mao. Sejak prolog, dalam sekejap saja Mao Mao, bebek berwarna ungu magenta dan berbulu tebal, sudah menjadi pencuri. Upaya Mao Mao saat mau menetas amat menyentuh dan berhasil mencuri hati dan perhatian. Penetasannya pun membikin saya ingin mendekap Mao Mao dan tidak bisa tidak berempati sekaligus bersimpati.
Boleh dibilang, hidup Mao Mao tidak mudah, bahkan sejak penetasannya. Tubuh, kepala yang sangat besar, dan bulu yang tidak sama dengan bebek-bebek lain, serta keanehannya kerap menjadi bahan olok-olok bagi anak-anak bebek lain di seluruh perkampungan hutan rawa-rawa. Namun, perundungan itu sama sekali tidak membuat Mao Mao berkecil hati dan minder. Ia kebal ejekan. Malahan, kepercayaan diri akan kepintaran dan kecerdasan, serta gayanya yang berbeda membikin bebek-bebek lain terganggu dan kesal. Mao Mao tetap memilih menjadi berbeda meskipun tidak disukai bebek-bebek lain.
Baca juga:
Dalam novel setebal 252 halaman ini, Clara mengajak kita mengikuti penerbangan solo Mao Mao ke Danau Tak Bertepi. Penerbangannya terbilang amat sukar dan tidak melulu mulus sekalipun ia bertemu banyak hewan baik dan membantunya selama perjalanan. Tidak bermigrasi bersama-sama dengan bebek-bebek lain tidak menjadi soal baginya. Sebab, ia percaya bahwa ia bisa dan ingin membuktikan anggapan Paman Kwak, seekor bebek tetua yang paling dihormati bebek-bebek lain, salah.
Cara berpikir Mao Mao berbeda dengan bebek-bebek lain. Identitas diri sebagai bebek, apalagi dengan warna unik tidak membikin ia mesti bersikap selayaknya bebek saja.
Keingintahuan yang besar dan kekritisan Mao Mao amat tampak dari pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Misalnya, tiga pertanyaan pada halaman 10, “Kenapa kita harus seperti bebek? Memang kenapa kalau kita bersikap seperti kelompok lutung?” atau ketika menuntut penjelasan atas perbedaan warna bulunya, “Kenapa bulu anak-anak bebek berwarna kuning? Memang kenapa kalau ada yang berwarna seperti buluku?” Contoh lain, keheranannya akan bisik-bisik tentang hutan eceng gondok yang disebut sebagai daerah Abu-Abu—daerah yang dikuasai bayang-bayang kegelapan dan larangan bepergian ke sana bagi anak-anak bebek, “Kenapa semua takut dengan hutan eceng gondok? Kenapa … kenapa … kenapa?”
Untuk menuju Danau Tak Bertepi, Mao Mao harus menempuh tujuh penerbangan yang melintasi negeri, pulau, dan kerajaan-kerajaan yang baru diketahuinya. Perjalanan yang sungguh panjang, namun justru memberinya pelajaran dan pengalaman tentang hidup, pilihan, dan menjadi berbeda. Bukan bagi Mao Mao saja, tetapi juga bagi pembaca.
Perubahan dan pertumbuhan Mao Mao tampak jelas sekali dari setiap perjalanan dan kejadian yang dialami. Misalnya, ketika bertemu Pak Rahib, rohaniwan monyet, yang tergeletak di jalanan. Tanpa menaruh curiga, ia membantunya. Saat mengetahui kenyataan sebenarnya tentang Pak Rahib sontak ia terpukul dan dihadapkan pada pilihan menyangkut kepercayaan.
Seolah-olah semesta belum puas dalam memberi pelajaran kehidupan kepada Mao Mao, ia harus menghadapi kenyataan pahit ketika perjalanannya ke Danau Tak Bertepi mau tak mau mesti ditunda lantaran sayapnya patah. Di lain sisi, kemalangan Mao Mao boleh dibilang titik balik atau momen penting dalam proses pertumbuhan dan perubahan dirinya. Hal ini tergambar jelas saat ia mempertanyakan eksistensi bebek hingga menemukan jati diri. Kemalangannya pun tidak sepenuhnya merugikan. Malahan, ia memperoleh kemujuran, banyak teman baru, serta menemukan teman hidup.
Jamuan Sarat Keajaiban dan Makna
Membaca novel Mao Mao dan Berang-Berang seperti sedang menikmati sebuah jamuan manis dan hangat. Di tengah-tengah perjamuan itu, kita akan mendapati banyak hal ajaib sarat makna, baik secara gamblang maupun implisit. Penerbangan ajaib Mao Mao ke ujung dunia yang penuh liku akan membawa kita pada perjumpaan dengan beragam hewan serta perjuangan dan perubahan dirinya. Perlahan tapi pasti, Clara membuat kita turut bertumbuh bersama Mao Mao dan merasakan keajaiban demi keajaiban yang dialaminya. Penerbangan ajaibnya dapat juga dikatakan sebagai perjalanan mencari identitas.
Bagi saya, hal paling ajaib adalah pertemuan Mao Mao dengan rusa jantan raksasa berwarna putih keperakan. Saya tidak bisa melenyapkan pemikiran malaikat atau dewa pelindung saat menyadari kemunculannya yang ajaib. Ibarat malaikat ataupun dewa pelindung, Rusa suka tiba-tiba muncul dan menolong ketika Mao Mao mengalami kesulitan dan memberi dorongan maupun pencerahan saat dihampiri kebimbangan. Rusa pula yang membantunya menyadari dan memahami sekaligus menerima identitas pun takdirnya sebagai bebek. Hal yang tak kalah ajaib, Rusa tahu nama Mao Mao padahal belum pernah berkenalan.
Saat menilik latar belakang Mao Mao dan Pangeran Merah Delima—anak Raja Merak yang memimpin Kerajaan Keramik dan satu-satunya keturunan dari klan burung merak yang berwarna merah, kita dapat melihat kesamaan sekaligus kekontrasan di antara mereka. Keduanya sama-sama pongah dan memiliki warna bulu yang berbeda dari sejenis mereka. Perbedaan warna bulu dan sikap boleh sama, namun kepribadian keduanya amat berlainan. Kepongahan Mao Mao bisa dikatakan sebagai cara bertahan dan melindungi diri dari kekejaman dunia, sedangkan Pangeran Merah Delima memanfaatkan keistimewaannya untuk bertindak semena-mena.
Melalui karakter Mao Mao dan Pangeran Merah Delima, Clara menunjukkan pada kita bahwa keunikan atau perbedaan itu ibarat koin yang punya dua sisi; bisa mengungguli yang lain, bisa pula memunculkan sikap arogan. Lebih-lebih, arogansi yang disertai kekuasaan dapat menerbitkan penindasan. Sebagaimana yang dilakukan Pangeran Merah Delima terhadap Mao Mao dan hewan lain; menghukum dengan siksaan fisik kalau tidak memberikan penghormatan. Selain soal kekerasan fisik, Clara juga membicarakan isu-isu lain yang dekat sekali dengan kita, seperti perundungan, kekejaman dan dampak perang, serta konflik batin dan sosial.
Baca juga:
Menemukan salah satu hal paling menarik dan penuh makna dalam novel untuk pembaca 10 tahun ke atas ini serupa dengan memecahkan teka-teki. Seru dan membahagiakan.
Banyak pelajaran hidup dan insight yang tersirat pun tersurat dari penerbangan solo Mao Mao. Bagi saya, ada tiga pelajaran paling kentara sekaligus pengingat untuk kita: mau kita melakukan hal apa pun yang tidak biasa atau dianggap tidak mungkin oleh orang lain, senantiasa akan ada orang yang meremehkan; menerima dan tidak menjadi gusar saat kejadian apa pun menimpa kita; tidak ada kebaikan dalam perang. Perang hanya menyisakan trauma, lupa, pun derita.
Kita tidak perlu susah-susah mengira ataupun berekspektasi ketika membaca novel ini. Sebab, pada sinopsis tertera jelas kisah Mao Mao bukan kisah hewan-hewan biasa yang membahagiakan, melainkan agak menyedihkan. Di antara momen-momen menyedihkan itu kita bisa merasakan kehangatan dan hal-hal manis dari banyak hewan yang berkenalan maupun menolong Mao Mao. Clara berhasil menghanyutkan kita dalam pembuktian hasrat Mao Mao mencapai tujuan dengan banyak kejadian ajaib sekaligus emosional.
Kisah Mao Mao tidak begitu banyak memunculkan konflik. Konfliknya pun tidak berlarut-larut, bahkan ada kalanya hanya muncul sekejap mata. Clara lebih memfokuskan pada pengalaman yang didapat Mao Mao selama melakukan perjalanan ke Danau Tak Bertepi.
Kita tidak bisa lari dari ingatan fabel populer The Ugly Duckling karangan Hans Christian Andersen saat membaca novel ini. Mao Mao milik Clara serupa dengan itik milik Andersen dalam hal perbedaan warna bulu, bentuk tubuh, dan korban perundungan. Saya menduga Clara suka dan terinspirasi oleh fabel Andersen sehingga lahirlah Mao Mao dengan nasib yang niscaya jauh berbeda.
Novel Mao Mao dan Berang-Berang: Penerbangan Ajaib ke Ujung Dunia memberi kesegaran pada ingatan saya akan fabel Andersen dan menambah banyak perspektif baru. Mao Mao bisa menjadi contoh baik ketika hendak memanifestasikan mimpi, namun muncul keraguan dalam diri. Keberanian menjadi berbeda, keteguhan prinsip dan pendirian, hasrat yang tinggi untuk mencoba, serta percaya diri dalam mengambil pilihan membikin saya salut dan kagum sekali dengan Mao Mao. Di hati saya Mao Mao kekal abadi sebagai bebek spesial yang menggemaskan.
Editor: Emma Amelia