Korea Selatan merupakan negeri yang penuh pesona. Tidak terbayangkan negara yang juga sama umurnya seperti negara kita sudah sangat maju dibanding kita yang masih begini-begini saja. Tidak dipungkiri meskipun maju, Korea Selatan juga banyak menuai kontroversi terkait isu-isu konservatifnya yang masih membuatnya menjadi negara paling aneh yang sering menuai polemik.
Sudah bukan rahasia umum betapa maraknya isu sekte sesat yang berkembang pesat di sana, padahal negara tersebut terkenal dengan mayoritas penduduk yang tidak beragama. Netflix bahkan pernah merilis serial dokumenter, In the Name of God: A Holy Betrayal, yang menjadi perbincangan bahwa sisi gelap Korea yang ‘bodoh’ juga tetap ada meski negara itu sangat sukses. Sudah bukan isu rahasia umum jika Anda seorang turis yang bepergian di Korea, banyak orang yang berusaha merekrut Anda ke dalam sekte-sekte sesat tersebut. Hal itu sering dieksplor dalam bentuk yang lebih mudah dipahami selain serial dokumenter, misalnya drama Korea ataupun cerita-cerita yang mengangkat isu sosial di karya sastra.
Selain isu-isu tersebut, sisi konservatif Korea Selatan yang sering sekali menjadi hot issue dalam banyak perbincangan ialah mereka mempunyai angka misogini atau patriarki yang tinggi. Ada sebuah akun di Twitter, @KM__arch atau Korean Men Archives, yang isinya mengabadikan momen-momen di internet terkait komentar atau apa pun dari para laki-laki Korea Selatan yang dinilai sangat tidak etis, patriarkis, jorok, dan merendahkan perempuan. Ini merupakan fenomena yang sangat menarik karena drama Korea terkenal dengan sisi romantis dari para laki-laki pemerannya mampu memikat perhatian perempuan mana pun. Dari hal-hal seperti itulah muncul anggapan bahwa drama Korea muncul untuk menyanggah fakta bahwa laki-laki di sana benar-benar “parah”. Itu mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa angka pernikahan di sana juga makin rendah.
Baca juga:
- Klaim Etis atas Pilihan Childfree
- Kehendak adalah Derita: Argumentasi Filosofis dan Ideologis untuk Childfree
- Childfree dan Kesadaran Hak Kesehatan Seksual
Lalu, bagaimana tanggapan Korea Selatan terhadap isu queer? Korea Selatan, meskipun seperti saya bilang tadi merupakan negara yang cenderung liberal, apatis, dan juga ateis, mereka tetap saja kolot dan patriarkis, terutama para laki-lakinya. Kepada isu feminisme saja Korea Selatan sangatlah aneh, apalagi jika membahas tentang LGBT. Masih susah untuk orang queer di sana untuk bisa bergerak bebas tanpa benar-benar terjaring dengan hal-hal seperti ini. Diskriminasi tentu masihlah ada dan penolakan terhadapnya benar-benar memprihatinkan.
Di sisi lain, di Korea Selatan, minimal terdapat beberapa wilayah yang mungkin terkesan lebih “lunak” dibanding wilayah lain jika membicarakan para teman queer di sana. Misalnya di kota-kota besar seperti Seoul, bagian-bagian kecil seperti Itaewon sebenarnya merupakan — kurang lebih — safe place bagi para pencari hiburan. Industri hiburan malam sangatlah marak di sana, pub gay pun berjejer di mana-mana menjadi satu dengan keindahan kota. Itaewon merupakan tempat bagi orang-orang luar negeri untuk bermain dan bebas di Korea Selatan makanya tempat itu dinilai sangat “liberal”. Hal itu juga sedikit banyak digambarkan dalam drama Korea, Itaewon Class, yang juga membahas isu-isu sosial di wilayah tersebut.
Meski begitu, tidak dapat dikatakan juga bahwa orang-orang queer di sana tetap bebas hanya karena terdapat wilayah-wilayah seperti Itaewon. Kontrol terhadap “penyimpangan norma” seperti itu tetap ada di mana-mana meski menggeliat-geliat berusaha untuk terlepas. Misalnya terkait industri seni seperti sastra dan sinema, mungkin mereka merupakan hal-hal yang paling susah untuk dikontrol, tetapi pengekangan itu tetaplah ada.
Love in The Big City merupakan salah satu produk yang mengeksplor lebih lanjut terkait “geliat” dan resistensi terkait pengekangan-pengekangan tersebut. Series ini muncul belum lama ini dengan isi delapan episode, hampir bersamaan dengan filmnya yang tayang di bioskop (bahkan di bioskop Indonesia, tetapi tidak dalam waktu yang lama). Series ini didasarkan pada novel karya Park Sangyoung dengan judul yang sama. Dari series dan filmnya, pemeran-pemeran dan mengambil plot yang berbeda. Dalam filmnya, terdapat aktor dan aktris yang terkesan sudah lebih “matang” dibanding para pemeran di series. Nama seperti Kim Goeun muncul memerankan karakter utama perempuan dalam filmnya. Ia merupakan nama yang sama dengan dukun muda perempuan yang unik dalam film okultisme yang mengguncang bioskop Indonesia, Exhuma. Pemeran laki-lakinya, Steve Sang Hyun Noh, yang juga sempat bermain peran dalam drama Pachinko. Untuk seriesnya, pemerannya pun tak kalah menarik, seperti Nam Hyunsoo yang pernah tampil memukai di series Extracurricular, dan masih banyak pemeran lain yang juga sudah sering berakting.
Versi filmnya lebih banyak menekankan pada persahabatan antara Go Young (diperankan oleh Steve) dan Miae (diperankan oleh Kim Goeun). Keduanya merupakan para outcasts di departemen tempat mereka berkuliah karena dianggap aneh. Dinamika persahabatan antara laki-laki gay yang sering mencari hiburan di klub dan perempuan straight yang liar dan berani ditampilkan dengan begitu menarik. Kisah cinta yang platonis seperti ini jarang dimunculkan di sinema Korea yang dominasinya kisah-kisah romansa. Di sisi lain, porsi ini lebih sedikit ditampilkan pada seriesnya dan lebih mengeksplor kehidupan Go Young (diperankan oleh Nam Hyunsoo) sebagai queer di kota Seoul.
Ketika menonton pada masa-masa di mana Go Young masih mahasiswa, ada pertanyaan wajib yang muncul dalam benak, apa yang membuatnya menjadi gay? Sebab di dalam series, kesukaran Go Young sebagai gay terlihat dengan jelas. On the other side, anggapan bahwa seseorag bisa “melenceng” seperti itu hanya untuk nafsu semata merupakan anggapan kolot. Dalam series ini, perjalanan Go Young tidak hanya pada kehidupannya menjadi seorang gay semata. Dia mengalami berbagai hal yang dialami para queer pada umumnya, misalnya betapa susahnya untuk jatuh cinta dengan orang yang tepat. Jika kehidupan cinta heteroseksual pun tidak mudah, kehidupan cinta queer apalagi. Untuk mencari orang yang benar-benar menerima dan bersedia “melawan dunia” untuk bersama dengan anggapan tanpa masa depan yang jelas? Siapa yang berani menggadaikan hidupnya untuk hal seperti itu?
Tetap saja, untungnya karakter Go Young digambarkan sebagai seseorang yang ceria. Dia mempunyai banyak teman queer yang mendukungnya dalam kondisi apa pun. Ia juga menganggap pertemanannya dengan Miae bukanlah hal kebetulan semata. Menurutnya, dalam sekali seumur hidup, kita bertemu dengan teman yang benar-benar menerima kita, cocok, kemudian sampai berbagi hidup bersamanya. Namun, karakter itu seperti hanyalah polesan semata yang menyembunyikannya dari dirinya yang sebenernya, yaitu sepi. Momen ketika Miae akhirnya menikah justru menjadi momen yang memperlihatkannya dengan makin jelas. Go Young berusaha untuk mencari-cari cinta yang berusaha ia kais terus-terusan karena ia pun tumbuh dalam rumah yang tidak terlalu memperlihatkan cinta seharusnya seperti apa.
Baca juga:
- Bayang-Bayang Maskulinitas Dominan dalam Wacana Ketubuhan Queer
- Kebencian dan Optimisme dalam Romansa Queer
- Melupakan Queer dalam Pertunjukan Orkestra G20
Menonton Love in The Big City menampar banyak sekali isu tabu seperti seksualitas, kesehatan mental, kesehatan seksual, ketenagakerjaan yang diskriminatif, masalah sosial, relasi antara orang tua dan anak, agama, ayah yang tidak berguna; semuanya pun disentil dengan porsi yang pas. Ada gambaran ketika Go Young pernah bersama orang yang benar-benar mencintainya, tetapi cinta itu hanya sepihak dan di akhir Go Young merasa bersalah. Rasa kehilangan atas seseorang yang pernah mencintainya dengan sangat di masa lalu tentunya masih menghantui diam-diam dalam lubuk hati. Ada juga ketika Go Young memberi cinta terlalu banyak kepada orang yang salah, yang menjadi titik di mana ia benar-benar hampir kehilangan dirinya sendiri. Dalam series itu juga digambarkan ketika ia akhirnya menemukan seseorang yang menerima dirinya apa adanya dan menjalani kisah cinta yang biasa-biasa saja tanpa bumbu-bumbu terlalu romantis dan tidak realistis.
Nah, mungkin di situlah poinnya mengapa series ini begitu dibenci. Love in The Big City menjadi gebrakan yang terlalu sakit untuk mengatakan bahwa kehidupan queer di kota besar seperti Seoul bukanlah kehidupan yang selalu menyenangkan. Meski begitu, Love in The Big City bukan merupakan series pertama yang mengangkat tema queer di Korea Selatan. Series boys love semacam ini sebenarnya sudah banyak, misalnya salah satu yang terbaik seperti Semantic Error yang juga menuai banyak pujian. Keduanya sama-sama diambil dari karya sastra sebelumnya — Love in The Big City dari novel, sedangkan Semantic Error dari komik atau manhwa. Jalan ceritanya pun tidak semata-mata kisah romansa penuh nafsu, tetapi kisah cinta yang sebetulnya. Kisah yang terlalu realistis, it feels too much like home that’s why it hurts. Menjadi queer pada kenyataannya tidak membuat kehidupan cinta yang lebih mudah, tetapi malah jauh lebih sakit. Banyak sekali ketidakpastian yang datang dan tidak semua orang berani untuk melaluinya sehingga lebih baik hidup dalam kebohongan.
Korea Selatan, untuk beberapa alasan, sebenarnya sangatlah “terbuka” pada karya yang menyentil isu LGBT. Banyak sekali manhwa boys love yang diproduksi negara tersebut dan bahkan dijual, digelar pamerannya, dan laris di mana-mana sampai ke kancah internasional. Jejeran komiknya mentereng di toko buku, seperti halnya Jepang yang juga tidak begitu memedulikan buku-buku dengan isu tabu yang diproduksi di sana. Karya sastra maupun seni di negara-negara tersebut tentu kesannya lebih “bebas” daripada di sini yang penekanan norma sosialnya juga ketambahan dengan norma agama. Anggapan bahwa buku-buku tersebut menjual kisah seks semata merupakan anggapan yang dangkal. Jika hal seperti ini bukan hal baru di sana, mengapa Love in The Big City menuai banyak sekali kecaman? Apakah karena, seperti tadi, kisah cinta queer yang terlalu glamor dan berdarah-darah tersebut, merupakan sesuatu yang terlalu realistis sehingga sulit diterima?
Kisah cinta queer yang jelas seharusnya merupakan kisah yang sepi. Sampai akhir pun, bukan hanya kisah cinta Go Young yang ditonjolkan, tetapi lebih kepada kisahnya sebagai manusia pada umumnya. Ia juga pernah berdarah-darah, bebas seperti anak muda pada umumnya, dan berusaha mencari orang untuk bersandar. Orang yang tidak pernah menonton kisah boys love pun mungkin tidak akan terlalu memberi perhatian pada “seksualitas” yang ditonjolkan saking terlalu subtilnya hal tersebut untuk menjadi bahasan utama. Love in The Big City adalah kisah cinta manusia biasa yang telah melalui banyak hal dan terus-terusan mencari. Go Young merasa sangat kesepian dan lelah, sedangkan menemukan pasangan yang tepat is almost just a wishful thinking (itu diucapkannya sendiri pada salah satu dialog). Ending yang tidak terlalu memberi kesimpulan malah memberi rasa kesepian dan kalut yang ditularkan Go Young kepada penonton dengan amat sangat. (*)
Editor: Kukuh Basuki