Pendidikan di Indonesia masih mengabaikan pentingnya pengembangan kreativitas siswa. Sekolah-sekolah cenderung kurang apresiatif terhadap kemampuan siswa dalam mengembangkan imajinasi. Tak jarang, olah kreativitas hanya dijadikan pelajaran tambahan atau kegiatan ekstrakurikuler yang alokasi waktunya sangat terbatas. Perlakuan yang setengah hati begini mengesankan bahwa kegiatan olah kreativitas sekadar formalitas untuk memenuhi kolom isian di rapor.
Lebih banyak kritik terhadap sekolah:
Lebih lanjut, sikap acuh tak acuh sekolah terhadap olah kreativitas siswa menunjukkan bagaimana pendidikan Indonesia lalai menjalankan perannya sebagai fasilitator. Alih-alih memfasilitasi, pendidikan Indonesia justru memenjarakan dan mengubur potensi kreatif siswa.
Ironisnya, pada musim penerimaan siswa baru, atribut promosi sekolah seperti baliho dan brosur selalu mencantumkan kegiatan ekstrakulikuler yang bermacam-macam, mulai dari karya ilmiah, olahraga, bahasa, hingga kesenian. Namun, nama-nama kegiatan itu tidak lebih dari sekadar materi promosi. Praktiknya, saat kegiatan belajar mengajar sudah mulai, keberadaan kegiatan ekstrakurikuler itu justru dianggap sebagai pengganggu.
Salah satu faktor yang melanggengkan pembelengguan kreativitas ini adalah budaya konservatif pada pendidikan Indonesia. Padahal, belajar mestinya bisa dari siapa atau apa saja, metode pengajaran pun tidak cuma ceramah guru di kelas saja. Pembelajaran yang lebih luwes ini mendorong siswa maupun guru untuk terus mengembangkan kreativitas masing-masing.
Mendidik siswa tentang bagaimana menumbuhkan kreativitas dan keingintahuan seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti, pemikiran kritis, literasi, dan matematika adalah cara terbaik untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang senantiasa berubah secara cepat. Sekolah harus memfasilitasi hal-hal tersebut, bukan malah memaksakan budaya dogmatis dan konservatifnya.
Menurut psikolog Mihaly Csikszentmihalyi (2013), kreativitas adalah proses penciptaan makna domain simbolis dalam kebudayaan yang terus berubah (nyanyian baru, ide baru, mesin baru). Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya yang ada. Kreativitas juga dapat diartikan sebagai segala tindakan yang mentransformasikan domain yang ada menjadi sesuatu yang baru.
Setelah melakukan studi lintas kultur, Csikszentmihalyi menyimpulkan bahwa orang-orang berbakat akan menjadi pribadi yang kreatif bila menemukan ekosistem kreatif yang memuat tiga elemen: domain simbolis, bidang pendukung, dan keberadaan orang kreatif.
Baca juga:
Elemen domain simbolis berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan, dan informasi atau meme simbolis yang menjadi titik tolak sekaligus titik ubah kreativitas. Domain simbolis juga dapat diartikan sebagai domain budaya.
Elemen bidang pendukung (field) meliputi orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya. Penting untuk dicatat bahwa domain (budaya) tak bisa diubah tanpa dukungan atau persetujuan secara eksplisit maupun implilsit dari suatu bidang yang bertanggung jawab atas hal itu. Sementara itu, orang kreatif adalah elemen yang memproduksi pikiran dan tindakan yang dapat mengubah suatu domain atau membentuk domain baru.
Menariknya, dalam pandangan ini, subyek kreatif justru memiliki posisi yang agak pasif. Ia baru hadir pada tahap lanjutan, setelah domain budaya dan bidang pendukung. Hal ini karena subyek kreatif memerlukan domain budaya dan bidang pendukung untuk menunjukkan kehadirannya (kreativitas). Sementara itu, pandangan yang berkembang di Indonesia sekarang ini justru sebaliknya. Bagi kebanyakan orang Indonesia, subyek harus ada terlebih dahulu untuk menciptakan domain budaya dan bidang pendukung.
Contoh sederhananya, saya pernah mengajukan permintaan kepada yayasan sekolah tempat saya mengajar agar dibuatkan ruang kreatif seperti lab seni atau lab bahasa. Alih-alih mendapatkan penolakan teknis, saya justru memperoleh jawaban pesimistis seperti “siapa yang mau main seni dan teater?” atau “adakah siswa yang berminat?” Saya tentu kesulitan menjamin kebersediaan siswa karena budaya berkesenian tidak terbentuk secara instan. Kita perlu menyediakan ruang (domain) dan dukungan (field) terlebih dahulu secara simultan sebelum mengharapkan partisipasi subyek di dalamnya.
Contoh yang lebih umum, ada berapa banyak bidang pendukung kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan, sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat inkubasi, komunitas-komunitas epistemis, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator, dan kritik seni lainnya di tiap kota? Di kota besar saja jumlahnya terbatas dan lebih mirip seperti ruang yang hidup segan mati tak mau. Aktivitas kreatif di ruang-ruang semacam itu ibarat gerilya kreatif yang susah-payah dihidupkan oleh komunitas-komunitas kecil. Akibatnya, mereka gagal tumbuh sebelum berkembang. Untuk itu, tidak mengherankan apabila kita kesulitan mendapatkan subyek kreatif dari sana.
Sekolah sebagai Ekosistem Kreatif
Unit sekolah yang sederhana, menyebar, dan banyak bisa dijadikan pionir dalam pembentukan domain dan field kreativitas. Masalahnya, sekolah menyikapi isu pentingnya kreativitas secara pasif selama ini. Sekolah gagal menciptakan budaya berkesenian karena terlalu sibuk melakukan labelisasi pengetahuan.
Kemudian, sekolah di Indonesia kekurangan dukungan kebijakan terkait domain reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemulihan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan. Selain itu, sekolah-sekolah di Indonesia nyaris tak melahirkan politik kebudayaan. Sebagai agen perubahan bangsa, sekolah telah salah kaprah memandang kebudayaan dan kreativitas.
Saya pernah bekerja sebagai pengampu ekstrakurikuler teater di salah satu SMK. Sekolah tempat saya mengampu ekstrakurikuler teater ini tidak punya lab drama. Semua kegiatan ekstrakurikuler dilakukan di lapangan sekolah yang terbatas. Terkadang, jadwal ekstrakulikuler selalu menumpuk dalam satu hari sehingga kami mesti berebut menggunakan lapangan dengan ekstrakurikuler lain. Kondisi ini membuat pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler menjadi tidak efektif.
Kemudian, di pengembangan minat seni rupa, fasilitas kuas dan pewarna yang disediakan oleh sekolah tidak cukup. Sekolah juga tidak menugaskan praktisi seni yang kompeten untuk mengampu kegiatan berkesenian. Selama ini, pelaksanaan ekstrakurikuler seni rupa dipercayakan kepada guru seni budaya yang orientasi pemahamannya sangat text book. Hasilnya, kegiatan berkesenian menjadi ruang pemahaman teks, bukan pengaplikasian imajinasi.
Sekolah harus menjadi domain dan field pertama dalam mendukung lahirnya politik kreativitas. Jangan sampai sekolah tidak memfasilitasi minat dan bakat murid. Ke depannya, jangan sampai masih banyak sekolah yang tidak menyediakan ruang berkreasi.
Baca juga: Guru yang Membebaskan
Pemanfaatan Teknologi Digital
Teknologi hadir untuk mempermudah aktivitas manusia, tidak terkecuali dalam hal transisi dari pendidikan berorientasi konservatif menjadi pendidikan yang berorientasi kreatif. Penggunaan teknologi dan cara berpikir yang adaptif terhadap perkembangan teknologi di ruang-ruang kelas harus dioptimalkan untuk memfasilitasi perkembangan kreativitas siswa.
Media sosial dapat digunakan sebagai alat bantu sekaligus katalisator pengembangan potensi kreatif siswa. Fitur-fitur di media sosial hit seperti klip tiktok dan reels memberi ruang dan kesempatan bagi siapa saja untuk unjuk kreativitas. Jika kucing saja bisa eksis berkreasi di platform-platform tersebut, manusia yang tingkat imajinasinya tak terbatas tentu lebih bisa. Untuk itu, sekolah harus setop mendidik secara dogmatis dan konservatif agar imajinasi para siswa dapat berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan peradaban Indonesia di masa depan.