Adat dan budaya Minangkabau menjadi tuntunan atau falsafah masyarakat setempat dalam menjalani kehidupan. Masyarakat Minangkabau menjelaskan serta merangkum tuntunan hidup tersebut menggunakan media pepatah yang diwariskan secara turun-temurun.
Lain dari filsafat Islam maupun Filsafat Barat yang dapat dilacak asal-usul produk pemikirannya, orang bijak di balik falsafah hidup masyarakat Minangkabau belum diketahui secara pasti hingga kini. Agar dapat memahami falsafah Minangkabau secara mendalam, kita perlu menelaah pemikiran para intelektual anonim itu melalui pepatah dengan mengetengahkan aspek metafisikanya.
Metafisika merupakan landasan yang paling fundamental dalam memahami, menjelaskan, dan menyingkap suatu realitas. Mengkaji metafisika berarti mengkaji semua hal yang dianggap sebagai pengetahuan tanpa membatasi kadar keilmiahannya. Dalam falsafah hidup masyarakat Minangkabau, kajian metafisika berhubungan dengan alam pikiran, akal budi, hingga hal gaib.
Baca juga:
Falsafah hidup Minangkabau yang berbunyi “alam takambang jadi guru”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “alam terkembang jadi guru”, memperlihatkan bagaimana para intelektual Minangkabau mengajak masyarakat Minangkabau untuk mempelajari realitas—dalam artian luas, termasuk alam—sebagai obyek kajian. Ada tiga sifat realitas dalam falsafah Minangkabau, yakni nan tasurek, nan tasirek, dan nan tasuruak.
Pertama, realitas ada yang bersifat nan tasurek (yang tersurat) sehingga dapat diidentifikasi secara indrawi atau material. Obyek material yang dapat diamati ini menjadi modal berupa data untuk mengkaji ilmu pengetahuan.
Realitas juga ada yang bersifat nan tasirek (yang tersirat). Realitas nan tasirek tidak dapat ditangkap secara indrawi, tetapi dapat dipahami menggunakan akal budi melalui perenungan yang kita lakukan sebagai subyek pemikir.
Budi di sini dipahami sebagai proses rasionalisasi dengan unsur raso jo pareso sebagai pengontrolnya sehingga memungkinkan berlangsungnya perenungan nonmaterial yang melibatkan emosi (raso) dan kearifan (pareso). Ketidakseimbangan penggunaan akal dan budi seseorang memantik timbulnya perilaku yang kasar atau tidak patut dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Selanjutnya, ada realitas yang bersifat nan tasuruak (yang tersembunyi). Realitas nan tasuruak tidak dapat diidentifikasi secara indrawi maupun disingkap menggunakan akal budi. Realitas ini hanya dapat dirasakan berkat bantuan Tuhan sehingga tergolong mistisisme. Kini, kemampuan merasakan nan tasuruak dikenal dengan istilah ilmu batin atau karomah.
Dalam epistemologi Minangkabau, orang yang memiliki kemampuan menyingkap ketiga realitas tersebut akan dianggap sebagai seorang intelektual. Kegiatan mengasah kemampuan membaca realitas nan tasurek, nan tasirek, maupun nan tasuruak biasa dilakukan di surau.
Kato Nan Ampek
Ruang lingkup metafisika falsafah Minangkabau mencakup alam pikiran, akal budi, hingga dunia gaib. Basis metafisika untuk mencari akar alam pemikiran orang Minangkabau terdapat dalam konsep budi dan “kato nan ampek”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “kata yang empat”. Kato nan ampek meliputi kato mandaki, kato malereang, kato manurun, dan kato mandata.
Kato nan ampek juga merupakan falsafah yang menjadi acuan masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Kato nan ampek adalah stratifikasi dalam berkomunikasi yang juga berfungsi untuk mencari tahu kedudukan dan eksistensi seseorang di masyarakat.
Kato mandaki (kata mendaki) digunakan ketika berkomunikasi dengan orang dewasa yang harus dihormati. Kemudian, ada pula kato malereang (kata melereng) yang juga menekankan penghormatan dalam berkomunikasi, tetapi peruntukannya adalah tamu khusus atau orang yang disegani.
Selanjutnya, ada kato manurun (kata menurun) untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih muda sehingga sifat komunikasinya menyayangi dan mengayomi. Terakhir, komunikasi dengan lawan bicara yang setara atau sepantaran dilakukan dengan mengacu pada aturan kato mandata (kata mendatar).
Baca juga:
Falsafah “alam takambang jadi guru” dan “kato nan ampek” membimbing masyarakat Minangkabau menjalani kehidupan mereka dari generasi ke generasi. Kedua falsafah tersebut merangkum secara komplet petunjuk untuk menjadi pribadi yang intelek dan berkelakuan baik sebagai penopang keberlangsungan tata masyarakat Minangkabau yang ideal.
Editor: Emma Amelia