Polyphia, Math Rock, dan Ketakutan akan AI

Risang Parandika

3 min read

Kehadiran musik AI-generated sejatinya telah diprediksi sejak jauh-jauh hari, tepatnya 2016 silam. Kala itu, Dream Theater secara tidak ironis mengaplikasikan pendekatan musik artifisial tersebut dalam konsep album kolosalnya, The Astonishing.

Pada dasarnya, alur cerita The Astonishing berkutat di pemberontakan kaum marjinal terhadap kekuasaan keluarga kerajaan. Seolah tak cukup, kehadiran mesin artifisial penghasil musik sintetis bernama NOMACS yang melayang di seluruh negeri juga turut meramaikan intrik pertempuran. Konon, kehadiran mesin-mesin tersebut mampu mengeraskan hati dan mengacaukan pikiran siapa pun yang terpapar.

Di sinilah Dream Theater menyuntikkan bebunyian artifisial ke dalam albumnya lewat 5 tracks khusus yang salah satunya berjudul The Hovering Sojourn. Kelima tracks ini merepresentasikan bagaimana NOMACS atau musik AI terdengar.

Musik yang dihasilkan NOMACS bak menyimpan bayangan ketakutan para musisi akan dunia distopia pasca matinya teknik produksi karya secara organik. Gemuruh dari senarai nadanya yang saling tumpang tindih seolah meniadakan hadirnya “rasa” karena terlampau dingin untuk menghantarkan emosi. Inilah peristiwa apokaliptik dalam realitas musikal.

Baca juga:

Kontradiksi akan tersaji ketika tumpang tindihnya nada dalam sebuah komposisi dimaknai sebagai pencapaian teknis. Banyak metode untuk menghasilkan ketukan ritme ganjil, salah satunya adalah dengan penggunaan tuplet. Math rock merupakan satu dari sekian genre yang berhasil memanipulasi metode tersebut, lalu mengimplementasikannya ke sebuah rangkaian nada melodis, alih-alih ketukan ritmis perkusi.

Alhasil, nada bentukan para praktisi math rock kebanyakan hanya terdengar ritmis karena luput menonjolkan aspek melodisnya. Pendengarnya tidak diberikan ruang untuk turut menjalin emosi dan berpartisipasi menyenandungkan riff gitar yang dibawakan sang musisi, hanya mengentak-entak sambil menghitung ketukan ritmis macam apa ini.

Lantas, apa bedanya math rock dengan NOMACS, musik AI-generated, dan bebunyian artifisial lainnya?

Perkembangan Math Rock

Math rock lahir dari eksperimentasi skena musik Amerika Serikat di akhir tahun 70-an. King Crimson menjadi dedengkotnya dengan mengenalkan album Discipline ke pasar dunia.

Walau King Crimson sebenarnya adalah band bergenre progresif, mereka menegaskan bahwa Discipline masih beririsan dengan genre sebelumnya. Bedanya, jika biasanya lagu progresif terkesan berjalan linear seperti menuntaskan sebuah cerita, album baru ini justru repetitif layaknya pakem lagu tradisional, tapi tanpa mengindahkan kompleksitas komposisinya.

Bakal tumbuhnya math rock dalam album ini ditandai oleh adanya petikan gitar non konvensional, penggunaan progresi chord eksotis, dan pergantian tempo maupun ketukan yang tak dapat diprediksi. Album ini menjadi pendobrak tradisi di zamannya meskipun sejumlah pengamat menilainya terlalu subversif—lagi-lagi karena ketiadaan “rasa”.

Apa boleh buat, karena tajuk awalnya saja sudah berupa eksperimentasi, album Discipline bagaikan medium penyaluran ego bagi para musisi di baliknya. Pendekatan semacam itu akhirnya menjamur di seluruh Amerika Serikat, lalu melahirkan banyak musisi yang membutuhkan koridor menantang untuk berekspresi.

Polyphia, Revolusioner atau Perusak?

Di periode awal 2010-an, muncul monster math rock baru bernama Polyphia. Polyphia disebut-sebut sebagai ikon math rock dunia karena teknik dan style bermusik mereka yang revolusioner dengan Playing God sebagai magnum opus-nya. Siapa coba yang kepikiran menggabungkan trap, hiphop, math rock, dan bossanova, lalu mengolahnya kembali menjadi elemen baru?

Muatan musik super kompleks dan komplit itulah yang membuat Playing God kini dikultuskan oleh para musisi dunia—khususnya gitaris—dan diperlakukan seperti etude.

Berbekal keahlian bermusik setara virtuoso, Polyphia makin rajin menelurkan lagu-lagu baru yang makin complicated. Pencapaian teknis dan kerumitan komposisi adalah harga mati karena image sebagai rajanya math rock kadung tersemat pada diri mereka. Namun, sayangnya, musik produksi mereka makin ke sini malah menyajikan keruwetan yang dingin dan tidak jelas maunya apa.

Coba dengarkan dengarkan lagu-lagu di album terbaru mereka, Remember That You Will Die. Meski berbagi linimasa perilisan serupa dengan Playing God, musiknya yang berorientasi pada teknik malah mengenyahkan pentingnya sebuah “rasa” dan, tentu saja, berandil pada penurunan kualitasnya.

Polyphia seolah terobsesi untuk menghasilkan lagu superrumit, alih-alih menggaet pendengar baru melalui intimasi musikal. Hampir semua amunisi di album ini terdengar generik, robotik, dan melelahkan untuk diikuti karena bombardir nada-nadanya yang saling tumpang tindih dan terlalu padat. Jenis musik seperti inilah yang menjadi musuh bersama di album The Astonishing.

Perasaan ini kian merangsang kita untuk bertanya, “Seperti inikah suasana masa depan ala-ala cyberpunk terdengar?”

Baca juga:

Menghakimi Pelaku Industri Musik

Sepintas, tidak adil rasanya jika menyoroti peran AI dalam industri musik hanya dengan menghakimi satu genre spesifik. Sebab, keterlibatan AI sebenarnya sudah ada sejak para produser mengenal teknologi autotune.

Apa dampaknya? Siapa pun, termasuk Giant si temannya Nobita, tak lagi risau kalau-kalau bernyanyi dalam nada sumbang saat rekaman. Cukup gunakan fitur autotune, jadilah nada kita akurat dengan sendirinya. Risiko tetap ada karena hasil akhir yang terdengar adalah suara vokal robotik tak natural.

Bisa disimpulkan, paranoia segelintir musisi akan AI sejujurnya kurang berdasar. Toh, kelimbungan mereka dalam mengeksekusi suatu produksi musik juga terbantu sepenuhnya dengan adanya AI. Kini, yang menjadi masalah adalah bagaimana jika AI mengambil alih posisi para komposer.

Hasilnya kurang-lebih akan sama dengan apa yang dilakukan Polyphia di album terbarunya. Sifat sejati musik sebagai wujud eskapisme bagi para manusia kelelahan di luar sana akan sepenuhnya sirna.

Kelak, kekalahan musik organik bukan disebabkan oleh tergusurnya para pelaku industri terkait, melainkan oleh hilangnya peran musik sebagai bentuk ekspresi jiwa dari riang gembira hingga murka.

Melalui Playing God, Polyphia adalah corong Tuhan untuk menyiarkan kabar duka ini.

 

Editor: Emma Amelia

Risang Parandika

One Reply to “Polyphia, Math Rock, dan Ketakutan akan AI”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email