Dalam dunia musik, kita mengenal drummer yang diakui hebat baik di kancah lokal seperti Gilang Ramadhan, Echa Soemantri, dan Aksan Sjuman hingga kancah internasional seperti Buddy Rich, Travis Barker, dan Mike Portnoy. Sebagai drummer, mereka biasa memainkan drum set dalam format band sebagai beat-maker sekaligus garda terdepan perihal tempo dalam sebuah musical performance.
Di antara banyaknya drummer hebat yang sering saya cari-cari videonya di YouTube dan Instagram, entah bagaimana tiba-tiba algoritma platform tersebut menyajikan saya video seorang drummer yang sedang memukuli snare drum seperti orang kesurupan. Namanya adalah Ryosuke Kiyasu, seorang drummer asal Jepang. Penampilan snare drum solonya telah membawa dirinya keliling dunia. Di Prancis, Italia, Jerman, Indonesia, dan puluhan negara lainnya, penampilan Kiyasu selalu hanya dengan peralatan yang sangat sederhana: satu snare drum yang diletakkan di atas meja dan stik drum.
Meskipun peralatannya sederhana, penampilan Kiyasu sangatlah kaya akan kejutan-kejutan. Terkadang, ia menabuh snare-nya dengan lembut, penuh kasih sayang, lalu, tiba-tiba ia memukul dengan penuh amarah. Meja tempat duduk snare ia koyak-koyakkan, snare drum ia injak-injak dengan kaki, ia teriyaki membran snare drum, memukul snare drum dengan microphone, memukul snare drum sambil berguling-guling, dan masih banyak lagi hal aneh dan ganjil yang ia lakukan dalam penampilan solonya sehingga suara yang ia hasilkan pun bisa dibilang chaos.
Baca juga:
Kontroversi Penampilan Kiyasu
Meskipun penampilan solo Kiyasu seperti asal-asalan, sebenarnya ia adalah seorang drummer yang juga memiliki karier dalam beberapa band seperti Sete Star Sept, The Endless Blockade, Kiyasu Orchestra, dan Fushitsusha. Kiyasu memulai kariernya sebagai seorang solois snare drum sejak tahun 2003. Ketika bersama band, ia bermain drum dengan teknik yang umum dimainkan oleh seorang drummer hardcore. Namun, ketika tampil sebagai seorang solois, ia bermain secara aneh dan seenak jidat.
Penampilan solo snare drum Kiyasu banyak mengundang kontroversi. Seorang penulis bernama Dylan dalam ulasannya yang berjudul Ryosuke Kiyasu: Redefining the Drum Solo with a Singular Snare menulis, “Kiyasu, with his single snare drum, creates an intimate experience and a shared journey of sonic exploration. It’s a brave exploration of uncharted territories, a bold redefinition of what a drum, a drummer, and a drum solo can be. One can only anticipate what new sonic frontiers Kiyasu and his snare will conquer next.” Dylan memaknai penampilan Kiyasu sebagai upaya mendefinisikan ulang apa yang telah dipahami secara umum tentang apa itu drum, drummer, dan solo drum.
Lucunya, ulasan Dylan mendapat respons negatif dari beberapa pembacanya. Seorang netizen berkomentar, “…This is some of the most pretentious bullshit in the world.” Ulasan Dylan hanyalah omong kosong, katanya. Ada juga yang menganggap ulasan Dylan hanyalah upaya pseudo-intelektual untuk terlihat seolah-olah penulisnya paham betul kedalaman makna suatu musik.
Fenomena cacian terhadap ulasan Dylan ini membuat saya heran karena bagi saya tulisan Dylan sudah cukup membuat saya merasa lebih paham dengan penampilan Kiyasu. Akan tetapi, mungkinkah saya sendiri yang terkena bias? Hal ini membuat saya berupaya mencari informasi lebih lanjut tentang Ryosuke Kiyasu.
Lebih Dekat dengan Kiyasu
Dalam proses pencarian lanjut, saya menemukan video wawancara Kiyasu yang memuat ceritanya bahwa ia mengetahui banyak orang membenci penampilannya. Namun, ia tidak mempermasalahkannya sama sekali. Meskipun tak disukai dan banyak dicemooh, Kiyasu mengatakan ia akan tetap melakukan penampilan solonya.
Dalam wawancara itu, Kiyasu juga menjelaskan apa yang sebenarnya ia lakukan ketika menampilkan solo snare drum liarnya. Dalam penampilannya, Kiyasu mengaku bahwa ia tidak berpikir sama sekali. Semua yang terjadi dalam penampilannya adalah manifestasi dari hasrat dan perasaannya pada momen itu. Ketika sedang merasa marah, ia pukul snare drum-nya dengan keras. Ketika ingin rileks, ia bermain dengan penuh ketenangan. Ia membiarkan apa pun yang muncul dalam penampilannya terjadi secara mengalir dan natural.
Dari penjelasannya, saya menyimpulkan bahwa Kiyasu sama sekali tidak memikirkan teknik-teknik perkusi dalam penampilannya. Ketika beberapa orang menyebut musik Kiyasu bergenre noise, avant-garde, atau apa pun, saya curiga bahwa ia juga tak terlalu mempedulikannya. Kiyasu mengatakan, “People say that my music is extreme, but I never think about it.” Ia hanya berfokus pada emosi dalam dirinya, lalu mengekspresikannya dengan jujur dan apa adanya.
Secara musikal, metode yang digunakan Kiyasu bisa disebut improvisasi. Pada umumnya, improvisasi biasa kita temukan pada musik jazz. Namun, saya pikir improvisasi Kiyasu tidaklah sama dengan improvisasi pada musik jazz. Improvisasi pada musik jazz biasanya masih memiliki koridor-koridor konseptual atau attitude yang memberi semacam batasan kebebasan improvisator. Sementara itu, improvisasi Kiyasu tidak memiliki batasan apa pun selain emosi dan alat yang tersedia di hadapannya. Kiyasu bahkan ingin menembus batasan-batasan tersebut dalam tiap penampilannya dengan selalu menghadirkan sesuatu yang baru dan mengejutkan.
Menempatkan Ryosuke Kiyasu
Perdebatan sejak penampilan kontroversial Kiyasu mencuat membawa pertanyaan apakah penampilan Kiyasu adalah seni yang tinggi (high art) atau hanyalah banyolan orang gila dengan gimmick solo snare drum. Namun, saya merasa perdebatan itu tidak produktif dan tak ada habisnya.
Perdebatan tersebut justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya lebih menggelitik. Mengapa harus ada kategori seni yang tinggi atau rendah? Siapa yang berhak menentukan standar yang tinggi ataupun yang rendah? Siapa yang memiliki otoritas untuk mengatakan mana yang seni dan mana yang bukan?
Tulisan ini tidak akan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sesederhana melihat penampilan Kiyasu yang bermain-main dengan berekspresi lewat gerak-gerik tubuh dan menciptakan suara-suara darinya, tidaklah sulit bagi saya untuk mengakui bahwa Ryosuke Kiyasu adalah seorang performing-artist dan sound-artist.
Di sisi lain, upaya pengkategorian genre musik Kiyasu oleh beberapa orang mungkin hanyalah upaya untuk menjadikannya familiar dengan referensi musik yang sudah ada. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, mengapa tak membiarkannya menjadi “ganjil” saja? Toh, setiap karya seni, meskipun telah dikategorisasikan, tetap memiliki keunikan, ciri khas, karakter, bahkan keanehannya sendiri-sendiri—apalagi, seni ala Kiyasu yang tidak berpola layaknya seni-seni industrial.
Namun, apabila memang perlu mengategorikan genre apa yang tepat dengan tidak menolak keganjilan seni Kiyasu, saya lebih suka menyebutnya sebagai genre “improvisasi Kiyasu”. Sebenarnya, penamaan genre improvisasi Kiyasu masih terasa tidak begitu tepat di benak saya. Sebab, improvisasi hanyalah metode yang digunakan Kiyasu dalam mengupayakan percobaan musikalnya.
Baca juga:
Seiring dengan berkembangnya zaman, batasan seni akan selalu didobrak. Hal tersebut wajar kiranya karena seni sarat dengan kreativitas. Kemunculan gelombang musisi eksperimental dan para pengulasnya adalah gerakan membebaskan diri dari stagnasi kreativitas dan gejala perlawanan terhadap rezim-rezim kesenian yang mencekiknya.
Editor: Emma Amelia