Sebelum era media sosial, kebanyakan orang mendapat pasangan melalui interaksi langsung di lingkungan sekitar. Terjalinnya sebuah hubungan berlangsung secara organik berkat kesamaan ruang dan waktu, serta aktivitas yang dilakukan bersama. Bahkan, berkenalan dengan seseorang yang sering berpapasan di gang atau komplek depan rumah hingga akhirnya menikah bukanlah sesuatu yang aneh pada masa itu. Mungkin, inilah yang dikatakan sebagai “sering jumpa timbul rasa”.
Berdasarkan cerita yang diperoleh dari kedua orangtuaku, cara apel pada masa itu pun sangat berbeda dengan zaman sekarang. Alih-alih ngopi cantik di coffee shop instagrammable, mereka apel dengan mengunjungi rumah pasangannya saat akhir pekan. Dengan begitu, bonding antara pihak laki-laki dengan keluarga sang perempuan pun otomatis ikut terbangun dengan baik.
Baca juga:
Belakangan ini, aku merasakan adanya pergeseran pola perilaku dalam mencari pasangan, terutama sejak kehadiran aplikasi-aplikasi kencan seperti Bumble, Tinder, Badoo, dan lain sebagainya. Sekarang, orang-orang dapat memilih calon pasangan yang mereka inginkan hanya dengan menggeser-geser (swipe) layar. Setiap manusia di dalamnya seakan diperlakukan seperti komoditas dan pilihan produk dalam sebuah katalog dagangan.
Fenomena ini memantik perenungan yang membuatku bertanya-tanya. Tampaknya, budaya serbacepat seperti kehadiran fitur swipe di media sosial adalah hal yang tanpa disadari telah membuat manusia menjadi pribadi yang mudah jenuh, tidak pernah puas, dan kurang menghargai proses. Sadarkah kita bahwa kebiasaan swipe di media sosial telah membentuk kebiasaan kita dalam menjalani hubungan romantis?
Napas untuk menikmati suatu informasi menjadi sangat pendek dan tidak benar-benar mendalam. Lihat saja, suatu tren baru dapat dengan instan menjadi viral melalui media sosial. Namun, sering kali corak yang terjadi hanya berumur pendek dan cepat meredup kembali.
Jangan-jangan, meningkatnya angka perceraian dari tahun ke tahun pun merupakan salah satu dampak tidak langsung dari pola perilaku yang selama ini terbentuk dari penggunaan media sosial?
Berapa banyak orang yang merasa tertekan ketika jumlah like-nya menurun? Berapa banyak orang yang merasa cemas ketika jumlah follower-nya berkurang? Berapa banyak orang yang merasa cemas ketika tidak ada yang memberi komentar pada postingan yang baru saja mereka bagikan?
Lalu, bagaimana dengan kehadiran aplikasi kencan yang saat ini sedang marak? Apakah ia benar-benar sebuah solusi atau malah bagaikan ranjau yang mampu merenggut kebahagiaan seseorang?
Apa sebenarnya tujuan dibuat aplikasi ini? Mungkinkah karena banyak orang merasa kesepian? Jika tujuan aplikasi adalah menyatukan yang jauh menjadi dekat, lantas mengapa kehadiran aplikasi ini tampaknya malah membuat manusia semakin berjarak dengan interaksi di dunia nyata?
Nyatanya, potensi kemunculan stres dan cemas dari penggunaan aplikasi ini selaras dengan studi yang dilakukan oleh Western Sydney University. Perilaku mencari pasangan melalui aplikasi kencan malah membuat seseorang semakin merasa “needy“. Konstruksi sosial yang dihasilkan aplikasi semacam ini seakan-akan membuat seseorang merasa tidak utuh menjadi dirinya sendiri dan merasa bahwa dirinya belum berhasil menjadi manusia jika belum memiliki pasangan.
Apakah rasa ingin memiliki pasangan pada diri kita benar-benar kebutuhan yang saat ini diperlukan? Bagaimana jika ternyata perasaan itu hanyalah konstruksi sosial yang terjadi ketika melihat teman-teman sudah memiliki pasangan dan kita merasa kesepian karenanya?
Lagi-lagi, pandangan ini memantikku untuk bertanya kembali. Jika jumlah manusia dewasa di dunia ini saja tidak selalu genap, lantas apakah semua manusia harus memiliki pasangan? Atas dasar apa memiliki pasangan romantis dijadikan standar tunggal hidup manusia? Alih-alih berambisi mencari pasangan dengan menggebu-gebu, mengapa tidak menikmati saja diri sendiri sebagaimana adanya secara utuh?
Pandangan ini tidaklah bermaksud mengajak kita untuk anti hubungan romantis atau hidup selibat. Sebaliknya, pandangan ini mengajak kita untuk merenungkan kembali konstruksi sosial tentang pasangan yang selama ini mendoktrin kita. Kita perlu merefleksikan ulang pertanyaan-pertanyaan seperti “kapan nikah?” yang kerap menghujani kita saat kumpul keluarga.
Baca juga:
Jika salah satu penyebab rasa ingin memiliki pasangan adalah adanya hasrat, Freud berpandangan bahwa hasrat memang merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihilangkan. Meskipun demikian, hasrat dapat tergantikan oleh hal lain yang sama-sama membawa kebahagian.
Katakanlah, alih-alih merasa cemas karena belum mendapat pasangan, mengapa kita tidak menunggunya sambil memperluas pertemanan dan persahabatan saja? Bukankah hal itu juga sama-sama berpotensi untuk mendatangkan kebahagiaan bagi kita, para kawula muda? Bukankah dengan begitu, kita bisa menjalani hidup secara lebih utuh tanpa dihantui oleh bayang-bayang kecemasan yang mengganggu usia produktif kita?
Editor: Emma Amelia